![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHftDdRGGddCA0j7ynx2WCG0Yj4FxoQaA58MC4zTBNoEqN8iQxqCvhVkehDTiCRJKAmpb2AOG8miRDTPUzkVI5DAaM76tt-KQpuc9wi4mp5rp2U9XabCy9YR3VmCnUJmXe_v2jeZR9kHU/s1600/almutanabbi1.jpg)
BAB I
A. Pendahuluan
Study tokoh sastra arab merupakan sebuah study sastra yang pembahasanya memusatkan pada biografi kehidupan tokoh-tokoh sastra arab, baik itu melingkupi pemikirannya, karya-karyanya, kontibusi keilmuanya dan pengaruhnya terhadap sastrawan yang hidup sejaman maupun generasi berikutnya. Dalam preodesasinya study tokoh bahasa arab tidak terlepas dari catur sejarah sastra dan peradaban arab itu sendiri. Pada masa pra islam kita mengenal ilmu ini dengan sebutan study tokoh sastra arab jahili karena membahas biografi kehidupan tokoh-tokoh sastra arab pada masa itu, selanjutnya pada masa Islam melalui beberapa masa perkembangan yakni masa Rasuluah sampai Khulafaurasidin, masa Daulah Bani Umayah, masa keemasan Daulah Abbasiah dan masa Turki Usmani disebut dengan study tokoh sastra arab klasik. Setelah runtuhnya masa kesultanan Turki Usmani dan masuknya ekspansi Napoleon Bonaparte ke Mesi, makar pada masa ini sydah menjajaki era modern sampai sekarang dan kita mengenalnya dengan study tokoh sastra arab modern.
Pada paper ini penulis akan memaparkan study tokoh sastra arab klasik yang hidup pada masa keemasan Islam yakni masa Daulah Abbasiyah. Pada masa ini hidup seorang tokoh sastra yang bernama Ahmad bin Khusain bin Khasan al-Jufi atau dunia lebih mengenalnya dengan sebutan al-Muatanabbi. Penulis menekankan pada study biografinya dan perjalan kehidupan pengembaraannya yang selalu berpindah-pindah tempat dalam rangka mencari kehidupan. Untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya Ia hanya mengandalkan puisi-puisinya dan pekerjaannya sebagai penyair.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Biografi al-Mutanabbi
Al-Mutanabbi merupakan salah satu penyair besar yang hidup pada masa dinasti Abbasiyah. Nama aslinya adalah Ahmad bin Khusain bin Khasan al-Jufi. Beliau lahir tepatnya pada tahun 303H/915M. Ia lahir dari kalangan keluarga miskin didaerah Kindah, Kufah. Ayahnya bernama Khusain bin Khasan bin Abdul al-Shamad, tetapi ada riwayat lain yang mengatakan bahwa namanya ayahnya adalah Muhamad bin Murrah bin Abdul Jabbar. Sementara Ibunya seorang Hamdzaniyyah yang namanya tidak diketahui secara jelas. Ayahnya bekerja sebagai penjual air keliling di kampungnya, sehingga tidak aneh kalaui mendapat gelar Abd al- Saqa.
Melihat dari keadaan ekonomi keluarganya yang miskin, saat masih kecil Al-Mutanabi mempunyai bakat kepenyairan yang hebat dan sudah terlihat. Melihat itu ayahnya sangat bersih keras membanting tulang bekerja untuk membiayai masalah pendidikannya dan berusaha mencarikan ulama yang mashur untuk dijadikan guru dalam mendidik anaknya. Ia belajar bahasa dan sasta arab di Kuttab al-Awaliyyin, itu tidak berlangsung lama karena ayahnya harus membawanya pergi disebabkan terjadi pemberontakan Qaramithah pada 316 H/ 928 M. Setelah itu kemudian ayahnya bersama al-Mutanabbi kecil pindah kedaerah Syam pada 321 h/ 933 M. di daerah Syam tersebut al-Mutanabbi tumbuh dan berkembang, ia banyak belajar ilmu pengetahuan terutama bahasa dan sastra arab kepada para ulama seperti Ibnu Siraj, Abu al-Hasan al-Akhfasy, al-Zajjaj, Abu Bakar Muhamad bin Duraid dan Abu Ali al-Farisi. Ia bersama ayahnya tinggal di Syam selama 15 tahun. Setelah tinggal cukup lama di Syam al-Mutanabbi kemudian pindah ke Aleppo pada tahun 337H/948M. dan setelah beberapa tahun tinggal di sana ia pindah ke daerah Fusthat/Mesir tahun 346H/957M. dan terakhir ia pindah ke Irak dan Persia pada tahun 350H/962M, sampai sang ajal mencabutnya pada 354H/965M.
Melihat dari aspek kehidupannya yang sering pindah tempat, dapat dipastikan ia merupakan penyair yang suka mengembara. Pada waktu itu mengembara merupakan suatu fenomena yang sangat lumrah dalam rangka mencari ilmu pengetahuan. Tidak hanya dilakukan oleh al-Mutanabbi tetapi para penyair dan para ulama terdahulu dapat dipastikan pernah melakukan perjalanan pengembaraan dalam mencari ilmu pengetahuan. Fenomena tersebut terjadi, seiring dengan banyaknya dilakukan ekspansi dan perluasan wilayah yang menyebabkan terjadinya penyebaran para ulama di berbagai wilayah yang ditaklukan, konsekuensi logisnya pernyebaran ilmu pengetahuan di tiap daerah sudah menjadi hal yang lazim. Disamping itu sarana prasarana dan komunikasi pengetahuan tidak sepesat zaman modern ini, pengetahuan bisa diakses dimanapun akan tetapi tradisi pengetahuan klasik seperti riwayat sangat dominan saat itu. Sehingga saat itu solusi yang konkret untuk belajar dan mencari ilmu pengetahuan adalah dengan mengembara untuk menemui para ulama.
Setelah dewasa bakatnya dalam bersyair sudah tak terejawantahkan lagi, ia bergumam untuk menjadi seorang penyair sejati, dan bertekad untuk mencari penghidupan sebagai seorang penyair dan menjual syair-syairnya kepada para penguasa dan orang-orang kaya yang berduit. Sejak saat itu ia berusaha keras untuk mendekati para penguasa untuk membacakan syair madhnya, ataupun membacakan syair hijanya yang sangat kuat dan luar biasa agar merah simpati penguasa itu, sehingga ia mencapai puncak kejayaannya sebagai penyair resmi istana pada masa Sayf al-Daulah dari dinasti Khamdan di Aleppo, Syiria. Sepanjang karirnya, al-Mutanabbi dikenal sebagai penyair handal dalam bidang puisi pujian (madh), yakni satu ragam puisi pujian yang digunakan untuk menyanjung seseorang. Selain itu ia handal di bidang puisi istidraz, ia juga sangat piawai dalam bidang puisi satire (hija) dan eulogy (ratapan). Oleh karena itu, Toha Husen, seorang kritikus sastra Arab modern, mengatakan bahwa kedudukan al-Mutanabbi layaknya pemimpin para penyair pada zamannya karena ketajaman puisinya.
Al-Mutanabi sebagai seorang penyair yang mashur, memiliki watak dan kepribadian jelek, pemikiranya keras, suka berubah-ubah tak tentu arah, tidak mudah tunduk pada penguasa manapun, sombong dan suka bertualang. Ia dikenal sebagai pemberontak mungkin karena banyak dari syair-syair hija’nya yang keras secara blak-blakan mengkritisi penguasa setempat, terlebih lagi ia pernah terlibat dalam gerakan politik Syiah Qaramatihah yang ekstrim. Akibatnya ia tidak saja keluar masuk istana para penguasa akan tetapi ia juga keluar masuk penjara.
Di dalam literatur sastra Arab disebutkan bahwa al-Mutanabbi menjalani karirnya sebagai penyair madh dengan mencari perlindungan kepada penguasa dalam lingkungan dinasti Abbasiyah. Pada awalnya ia masuk dalam klan Tannukh dan keluarga Taghj mempersembahkan puisi madhnya, kemudian ia memuji Badr bin Amar dan Abu al-‘Asyair, berikutnya adalah Saif al-Daulah, penguasa dinasti Hamdaniyah; Kafur, penguasa dinasti Ikshidiyah, dan Adad ad-Daulah, penguasa sentral dinasti Abbasiyah dari keluarga Buwaih. Semua itu dilakuakan semata matu bukan untuk mencari perlindunga akan tetapi untuk mencari penghidupan dengan membacakan dan menjual syair pujiannya itu.
C. Fase-fase perjalanan kepenyairannya
Sebagai seorang penyair yang mashur, kehidupan al-Mutanabbi menjalani beberapa fase penting dalam kepenyairannya; fase pertama atau lebih dikenal dengan fase Al-Shaba Wa Asy-Syabab, fase kedua atau disebut sebagai fase A-Azamah, Fase ke tiga dalam kehidupanya sebagai penyair disebut sebagai fase ghayah al Nudji dan fase ke empat merupakan pase terakhir kehidupannya sebagai penyair sampai wafat.
1. Fase pertama; Petualangannya di Syam (321-336 H / 933-948 M)
Pada fase ini yakni memaparkan kehidupannya yang dimulai setelah di keluar dari penjara dan mulai mengembara di Syam untuk memuji para penguasa dan pembesar saat itu. Di Syam al-Mutanabi belajar ilmu bahasa dan retorika kepada para ahlinya sehingga kepiawaianya dalam berbahasa dan berretorika sangat terkenal dan suit dicari tandingannya. Ada yang menarik pada fase ini ia dua kali keluar masuk penjara dikarnakan keserakahannya akan kekuassan. kemampuan retorika dan bahasanya yang terkenal menjadikan ia seorang pemimpin dalam bidang puisi dan adab pada waktu itu, tidak puas dengan hal itu ia menyerukan kepada para pendukungnya dari kalangan pemuda untuk membaiatnya. Akan tetapi sebelum pembaiatan terjadi langkahnya itu sudah tercium oleh pemerintahan setempat, al-Mutanabi kemudian ditangkap dan dijebloskan kepenjara. Karena kecerdikannya al-Mutanabi dalam penjara mengubah puisi I’tidzarnya yakni puisi yang isinya memohon belas kasihan dan permintaan maafnya. Kemudian ia dibebaskan.
Tidak jera dengan hal itu sekeluar dari penjara al-Mutanabi menginginka sesuatu yang lebih dari itu; yakni menjadi seorang Nabi. Ia berdakwah di daerah Samawah dan sekitarnya dan mengklaim dirinya sebagai keturunan ‘Alawi, kemudian mengaku dirinya sebagai nabi dan membuat ungkapan kalimat-kalimat yang mirip dengan bahasa Al-Quran seperti ungkapan tersebut;
"والنجم السيار، والفلك الدوار، والليل والنهار، إن الكافر لفى أخطار، امض على سنتك وافق أثر من قبلك من المرسلين، فإن الله قامع بك زيغ من الحد فى دينه وضل عن سبيله"
“ Demi bintang yang berpindah, demi falak yang beredar, demi malam dan siang, sesungguhnya orang kapir berada dalam bahaya, tetaplah dalam tradisimu dan ikutilah As/Ar para rasul sebelummu. Sesungguhnya allah melarangmu dari pelanggaran batas agama dan dari jalan yang sesat.”
Mendengar hal itu Gubernur Emisa, Lu’lu’ al-Ikhsidi geram, dan memerangi, memenjarakan al-Mutanabi dan para pengikutnya dalam waktu yang cukup lama. Sekali lagi karena kepintaran al-Mutanabi dalam berpuisi, dan bersilat lidah ia memohon belas kasihan yang terus menurus, kemudian ia di bebaskan dengan syarat ia mencabut kembali dakwahnya dan kembali pada Islam. Semenjak peristiwa itulah ia mendapatkan julukan al-Mutanabbi.
Sekeluarnya dari penjara untuk kedua kalinya, al-Mutanabbi semakin mashur dan produktif mengubah puisi. Sejarah mencatat bahwa jumlah orang yang menjadi objek kajian puisinya adalah tidak kurang darri 30 orang yang paling mashur dari orang-orang tersebut adalah Badr bin Amar, Abu al-‘Asyair, Saif ad-Daulah, Kafur al-Ikhsyidi, dan Adad ad-Daulah.
Secara totalitas puisinya pada zaman ini masih terpengaruh oleh tiruan dan kelanjutan dari puisi masa sebelumnya dan tampak sekali unsur keterpengaruhannya tersebut baik oleh pendahulunya ataupun penyair yang sejaman dengannya. Melihat keistiewaan puisi al-Mutanabi ini terletak pada kemampuannya memadukan style baru yang lebih bebas dan style lama yang lebih terikat pada wazan dan qafiah tertentu. Ia sangat mengagumi Abu tamam dan Al-Buchturi sebagai pendahulunya dalam puisi madhnya dan ia juga terpengaruh oleh kebebasan puisinya Abu Nawas.
2. Fase kedua menjadi penyair istana di Aleppo (337-334 H / 948-957 M)
Pada fase kedua atau disebut sebagai fase al-Azamah yang dimuali sejak pertemuannya dengan Sayf Ad-Daulah di Antiokia melalui prantara Abu al-Asyair pada tahun 337H/948M. pada pertemuan itu Sayf Ad-Daulah sangat terkesan dengan syair yang dibacakan al-Mutanabbi kemudian ia memintanya untuk pergi bersamanya ke Aleppo agar menjadi penyair istananya. Al-Mutanabbi memenuhi permintaan itu dengan beberapa syarat yakni; pertama ia membawakan puisinya tidak dalam keadaan berdiri. Kedua, ia tidak mau bersujud kepada Sayf Ad-Daulah dan ketiga Sayf Ad-Daulah harus membayar 3000 dinar pertahun. Akhinya Sayf Ad-Daulah ketiga persyaratan tersebut dan sejak saat itu ia resmi menjadi penyair istana.
Pada fase ini merupakan fase kejayaannya sebagai penyair, disamping al-Mutanabi sebagai penyair kesayangan Sayf Ad-Daulah dan selalu pergi bersamaan kemanapun mereka pergi. Ia hidup selama Sembilan tahun disisi Sayf Ad-Daulah yang puisinya dikhususkan untuk memujinya dan mencaci para musuhnya. Namun puisi yang dibuatnya pada fase ini sangat banyak dan temanya sangat beragam. Thaha Husain mencatat kenapa pada masa ini dijadikan masa produktifitasnya tinggi sehingga di jadikan kejayaan kepenyairanya. Pertama paktor figure pemimpin Sayf Ad-Daulah sebagai amir yang menuntutnya untuk bertindak cepat, tegas dan tepat terhadap hal-hal yang mengancam kekuasaannya. Hal ini membuat reaksi sepontan untuk al-Mutanabi dalam membuat syair madhnya. Kedua factor alamiah sebagai manusia biasa. Banyak dari kalangan istana yang iri akan kedekatanya dengan Sayf Ad-Daulah, untuk membela diri dari semua itu ia membuat syair hija’. Tidak hanya itu kuatnya daya khayal dan athifahnya untuk mengubah semua puisinya. Singkatnya kehidupan al-Mutanabbi bersama Sayf Ad-Daulah berpengaruh terhadap karya-karya puisinya seakan-akan ia menemukan jati diri dan orisinilitas karyanya. Maka tidak aneh jika tahun-tahun kehidupannya bersama Sayf Ad-Daulah menjadi masa kejayaan dan keemasannya sebagai penyair. Disamping itu Aleppo pada masa itu tumbuh sebagai kota tempat bersemayamnya sastra dan ilmu pengetahuan. Sayf Ad-Daulah sebagai seorang keturunan arab asli sangat gemar dengan syair-syair arab, itu membuat produktifitas al-Mutanabbi dalam menciptakan puisi dan membuat inovasi baru terhadap tema, style, dan wasf pada puisi-puisinya menjadi segar.
3. Fase ketiga bersama Kafur di Mesir (346-350 H / 947-962 M)
Fase ke tiga dalam kehidupanya sebagai penyair disebut sebagai fase Ghayah al- Nudji. Ini dimuali sejak kedatangannya ke Mesir lebih tepatnya Iskandariyah untuk memuji penguasa yang ada disana yakni Kafur al-Ikhsyidi. Di sana ia tinggal cukup lama membacakan puisi madehnya untuk Kafur dengan harapan ia memperoleh imbalan yang sama seperti yang di berikan Sayf Ad-Daulah.
Setelah al-Mutanabbi meninggalkan Saif ad-Daulah dalam perjalanannya ke Mesir, ia sempat pergi ke Damaskus. Gubernur Ibnu Malik sangat menginginkan agar al-Mutanabbi mau menggubah puisi pujiaannya untuknya, tetapi dengan angkuh ia menolak tawaran tersebut. Ia juga menolak tawaran serupa ketika gubernur Hasan bin Thugdh di Ramalah menyambut kedatangannya dengan hangat dan hadiah-hadiah. Kedatangannya diramlah terdngar oleh Kafur, lalu kafur mengundangnya ke Mesir. Setibanya disana Kafur memberikannya sebuah rumah lengkap dua penjaga bersenjata dan dua orang penngawal yang siap mengiringinya kemanapun.
Di Mesir al-Mutanabbi banyak sekali membuat puisi madh yang ditujukan untuk Kafur al-Ikhsyidi dengan harapan dapat meluluhkan hatinya dan dapat memberikan semua janjinya yang menjadi ambisi almutanabbi. Setelah beberapa tahun tinggal di Mesir dengan tangan hampa al-Mutanabi merasa kecewa, sedih dan putus asa sehingga memutuskan untuk berperang dengan Kapur dengan cara membuat puisi Hija’. Melihat dari itu semua wajar sekali bagi al-Mutanabbi untuk kecewa saat menghadapi kenyataan itu tidak sesuai dengan harapannya. Karena ia menaruh harapan besar kepada Mesir setelah ia memutuskan pergi dari Aleppo karena sakit hati oleh Sayf Ad-Daulah. Pada tahun 350 H/950M al-Mutanabbi pergi meninggalkan Kafur karena putus asa menuju pelindung berikutnya.
Kendati ia kecewa pada Kafur al-Ikhsyidi, selama di Mesir ada perkembangan positif dalam karya puisinya, mungkin karena kondisi dan situasinya yang mengajarkan dan menancapkan kesedihan panjang yang dalam, mengajarkannya berpikir dan merenung, mempertajam lisannya sehingga puisinya itu lebih mengena di hati para pendengarnya. Disamping itu ia menggubah puisi hija yang halus dengan banyak mengandung hikmah dan nasehat. Ditangannya hija’ bisa diramu menjadi amsal dan puisi hikmah. Pada masa ini jiwanya semakin matang dan lambat laun ia mencapai tahap meremehkan segalanya dan itu di ungkapkan dalam puisi hijanya.
Pada masa ini al-Mutanabi mencapai puncak kematangannya sebagai penyair (Ghayah al-Nudji), berbeda saat bersama Sayf Ad-Daulah di Aleppo, ia selalu disibukan dengan kehidupan yang hedonis dan hal-hal lain yang bersifat material di lingkungan istana. Di Mesir sebaliknya kehidupannya yang tentram dan aman membuatnya menjadi banyak merenung dan sadar diri akan keberadaannya. Seperti syair berikut ini yang ungkapannya berupa perasaan putus asa dan merasa lelah akan penantiaannya yang hampa, ia menghibur dirinya dengan bait syair dibawah ini:
كل يوم لك ارتحال جديد وميرللمجد فبه مقام
وإذاكانت النفوس كبارا تعبت فى مرادها الأجسام
“Setiap dari kamu memiliki petualangan baru dan perjalanan menuju suatu tempat kemulyaan. Jika keinginan menjadi semakin besar badan akan lelah untuk mencapainya.”
4. Fase ke empat di Irak dan di Persia (350-354 H / 962-965 M.)
Pada fase ini ia sudah mencapai puncak dari kemashuran, memperoleh harta benda dan segala hadiah hadiah dari berjualan puisi-puisinya kepada para pembesar dan penguasa. Namun dalam hatinya yang terdalam selalu ada perlawanan dan ada gejolak jiwa yang membuatnya selalu merasa tidak puas dan merasa cukup. Ia selalu merasa ingin lebih dan lebih dari apa yang di dapatnya.
Dari Mesir al-Mutanabi menuju Kufah, disana Ia singgah sebentar dan turut serta dalam peperangan melawan pemberontak Qaramithah dan bani Kilab. Dari sana ia menuju Bagdad yang ketika itu dikuasai bani Buwaih dengan wazirnya al-Muhalabi. Disana ia sempat membuat puisi madh untuk wazir dan hal ini membuat penyair istana lainnya cemburu dan menghatamnya dengan puisi hija’. Sadar dan merasa tidak nyaman tinggal di Bagdad ia kembali lagi ke Kufah untuk sekaligus menemui utusan Sayf Ad-Daulah yang membawa banyak hadiah serta undangan untuk kembali ke Aleppo tetapi ditolaknya dengan halus. al-Mutanabi malah pergi ke Arrijan memenuhi undangan Ibnu al-Amid, kemudian ke Syiraz memenuhi undangan Adlid al-Daulah al-Buwaihi.
Setelah tinggal lama di Syiraz dan memperoleh hadiah banyak harta dari Adlid al-Daulah al-Buwaihi, al-Mutanabi meminta izin untuk berjiarah ke Bagdad bersama anaknya Muhsid dan budaknya Muflih yang membawa seluruh hartanya. Dalam perjalanan ia dicegat oleh Fatik bin abi al Jahl al-Asadi bersama rombongan 70 orang, yang sakit hati karena keponakannya Dlabah bin Yazid al A’yni dihina oleh puisi hijanya dan dideskriditkan oleh itu. Dan mereka bertempur di sebuah daerah beernama shafiyah dekan Nu’maniyah. Lalu al-Mutanabbi meninggal pada pertempuran itu pada tahun 354H/965M.
BAB III
PENUTUP
D. Simpulan
Al-Mutanabbi merupakan penyair besar yang hidup di zaman ke emasan Islam pada masa Daulah Abbasiah. Ia merupakan penyair yang memiliki kemampuan yang khas dibandingkan dengan para penyair yang hidup pada masa ini. Pada masa kematangannya sebagai penyair dia sudah mempunya style, tema dan wasf baru yang khas dan diidentikan dengannya. Terlebih lagi kelebihannya dalam puisi madeh dan memoles puisi hija’ dengan minyisipkam amsal dan hikmah didalamnya. Itu merupakan sebuah inovasi yang baru dan mengesankan dalam khazanah puisi Arab setelah dilakukan oleh pendahulu-pendahulunya seperti Abu Tamam, al-Buhturi dan Abu Nawas.
Kesuksesannya itu ditopang oleh perjalanan pengembaraannya dalam mencari ilmu pengetahuan, pengalaman dan materi dalam kehidupan kepenyairannya. Bakatnya dalam bersyair yang sulit di cari tandingannya di manapun membuat ia dekat dan banyak dikenal oleh penguasa dan pembesar negeri saat itu*seperti Sayf Ad-Daulah di Aleppo, Kafur al-Ikhsyidi di Iskandariah, Mesir dan lainnya. Disamping itu prilakunya yang cendrung memberontak terhadap segala sesuatu yang tidak sejalan dengan nalarnya membuat ia sering pindah tempat dan mencari penguasa baru untuk dijadikan tempat perlindungan dan menjual syair-syairnya untuk kepentingan penguasa itu.
Daftar Pustaka
Kadir Abdul, Muzakkirah fi at-Tarikh al-Adab al-‘Araby, Kuala Lumpur: DBP, 1987
Khusain Thoha, Ma’al-Mutanabbi, Kairo; Dar al-Ma’arif
Nura’in, al-Mutanabbi sebuah Biografi, Jurnal Adabiyyat vol. 3, no. II juli 2004, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Jogjakarta;
Subaiti, Mustofa, Syarah Diwan Abi at-Tayyib al-Mutanabbi, juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986
terimaksih telah publikasikan tulisan saya tp alangkah baiknya alamat blog/tulisan saya di catat
ReplyDeleteterimaksih telah publikasikan tulisan saya tp alangkah baiknya alamat blog/tulisan saya di catat alamt blog ataupun webnya.
ReplyDelete