Pages

Wednesday, December 28, 2011

TARBIYAH DZATIYAH DAN HALAQAH TARBAWIYAH


Pendahuluan
Dalam menjalani kehidupan ini, manusia tak lepas dari kesalahan. Semua yang mereka lakukan dalam dinamika kehidupan ini adalah untuk mencapai kebahagiaan, karena esensi kehidupan sejatinya adalah mencari kebahagiaan. Tidak ada manusia yang melakukan kesalahan dalam hidupnya demi mencapai kesengsaraan. Semua kesalahan yang dilakukan adalah proses mencari kebahagiaan, karena jalan dan metode yang  dilalui berbeda-beda. Dengan melakukan kesalahan orang bisa belajar untuk memperbaiki kesalahan tersebut (menjadi sebuah kebenaran).
Terkadang kita bisa memberikan solusi terhadap masalah orang lain, kita bisa menyampaikan tausiyah diatas mimbar, kita bisa mengajar murid-murid kita dengan baik, tapi apakah kita bisa mengajar diri kita sendiri?, apakah kita bisa mentausiyahi diri kita sendiri untuk mencapai kebenaran (untuk menuju tuhan)? Didalam ajaran agama islam telah diatur secara elegan bagaimana mendidik diri sendiri.  Metode apa saja yang harus dilakukan dalam mendidik diri sendiri.

Dalam makalah singkat ini, akan membahas cara mendidik diri sendiri(tarbiyah dzatiyah). Kalau kita tidak bisa melakukannya kita juga bisa melakukan mendidik diri sendiri dengan bantuan orang lain (halaqah tarbawiyah).

A.           Rumusan Masalah
1.        Apa pengertian tarbiyah dzatiyah?
2.        Apa saja sarana tarbiyah dzatiyah?
3.        Apa manfaat tarbiyah dzatiyah?
4.        Apa pengertian halaqah tarbawiyah?
5.        Apa saja sarana halaqah tarbawiyah?
6.        Apa manfaat halaqah tarbawiyah?

BAB II
PEMBAHASAN
A.           Tarbiyah Dzatiyah
1.        Pengertian Tarbiyah Dzatiyah
Tarbiyah dzatiyah adalah sarana yang diberikan orang muslim atau muslimah kepada dirinya, untuk membentuk kepribadian islami yang sempurna diseluruh sisinya; ilmiah, iman, akhlak, sosial dan lain sebagainya, dan naik tinggi ketingkatan tinggi kesempurnaan manusia.[1]Pengertian konkritnya adalah pembinaan atau pendidikan seseorang terhadap dirinya sendiri.
Seperti yang sudah saya tuangkan didalam pendahuluan, bahwa mendidik diri sendiri itu lebih sulit dari pada mendidik orang lain. Menanamkan konsistensi terhadap diri sendiri dalam menjalankan suatu ritual untuk proses mendidik diri sendiri ini sangat sulit. Dalam proses mendidik diri sendiri ini suatu ritual (misalnya sholat malam) harus dilakukan secara kontinyu, harus bersifat rutinitas. Nah untuk konsisten dengan suatu amalan itu yang membutuhkan waktu, tidak bisa secara instan harus step by step, secara perlahan-lahan. Dalam “buku metode menjernihkan hati” dikatakan “sikap konsisten itu terbentuk jika seseorang telah melalui kelelahan usaha (usahanya sudah maksimal), seorang yang konsisten punya sikap yang jelas dan mantap keyakinannya dan ada relevansi antara perkataan dan perbuatannya.[2]
Tarbiyah Dzatiyah ini sudah dipraktekan oleh para sahabat nabi ketika nabi masih hidup. Kalau dikorelasikan dengan kontek sekarang saya rasa sudah bearbeda dari segi konsep maupun antusiasme umat jaman sekarang. Kenapa saya mengatakan demikian? Karena saya memiliki asumsi bahwa antusiasme umat islam terhadap nilai-nilai keislaman pada masa nabi masih hidup ataupun pada masa sahabat sangat tinggi, karena mereka memeluk agama islam karena proses pencariannya, bukan secara instan atau turunan. perjuangannya untuk memeluk islam sangat berat. Berbeda dengan umat islam zaman sekarang khususnya di indonesia, mereka memeluk islam secara instan dan mayoritas warisan dari orang tuanya. Untuk itu mari kita tinjau kembali bagai mana cara mendidik diri sendir itu? Mari kita teladani metode-metode yang dilakukan oleh para sahabat agar nilai keislaman kita lebih berkualitas.
2.             Sarana Tarbiyah Dzatiyah
a.       Muhasabah
Muahsabah adalah penyucian atau pembersihan diri sebagai alat untuk mengintrospeksi dirinya sendir. Berarti dalam proses mendidik diri sendiri, yang pertama sekali kita harus melakukan introspeksi (evaluasi) terhadap diri kita sendiri. Yang paling utama kita koreksi tentunya masalah akidah, sejauh mana akidah kita? Seberapa sering kita melakukan kesyirikan, baik sirik kecil maupun syirik besar atau perbuatan-perbuatan syirik yang kita lakukan tanpa kita sadari. Kemudian tentang kewajiban-kewajiab kita, sholat, puasa zakat, mentaati orang tua, hubungan sosial kita (hablum minan nas), kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan yan pernah kita lakukan.
Kita melakukan spekulasi dengan pertanyaan-pertanya tentang apa yang telah kita lakukan selama ini, guna untuk meminimalisir, bahkan meninggalkan segala perbuatan buruk yang telah kita lakukan selama ini dan mengggantinya dengan perbuatan baik dan amalan-amalan sholeh.
b.      Taubat dari segala dosa
Taubat adalah menyesali seluruh  perbuatan dosa, baik kecil maupun besar yang telah kita lakukan dan merjanji dengan sepenuh hati untuk tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut. Dalam al-qur’an diterang bahwa taubat yang bebenar hakiki telah dilakukan oleh seorang hamba yang bernama Nasyuha, itu makanya kalau taubat yang benar-benar itu disebut taubat nasyuhah.
Taubat ini merupakan salah satu cara untuk mentarbiyah diri. Setelah kita melakukan muhasabah (introspeksi), karena kita telah menyadari bahwa betapa sering kita melakukan perbuatan dosa, maka kita menyesali perbuatan dosa yang telah kita lakukan tersebut dan berjanji sepenuh hati untuk tidak melakukannya lagi.
Allah sangat menyukai orang-orang yang bertaubat. Dalam hadits yang diriwayatka oleh Abu Al Mudhaffar As Sam’ani dikatakan bahwa “tidak ada sesuatu yang lebih baik bagi Allah dari pada seorang pemuda yang taubat.[3]
c.       Mencari ilmu dan memperluas wawasan
Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah, sebab tanpa ilmu umat islam akan buta dalam menjalani ibadah, dan ibadah yang dikerjakan tanpa ilmu maka hasilnya (pahala) akan tertolak. Bagai mana mungkin seorang muslim bisa membedakan haram, halal, wajib, sunah dan mubah tanpa menuntut ilmu. Bagaimana mentarbiyah diri sendiri tanpa ilmu?
d.      Mengerjakan amalan-amalan iman
Mengerjakan amalan-amalan iman merupaka sarana penting juga dalam mentarbiyah diri. Kita melatih diri kita sejauh mana keikhlasan kita untuk melakukan amalan-amalan iman (ibadah) kepada Allah Swt. Dengan amalan-amalan imanlah kita bisa menutupi perbuatan-perbuatan dosa yang pernah kita lakukan dahulu. Dapun amalan-amalan iman yang bisa kita lakukan yaitu memaksimalkan ibadah-ibadah wajib, membiasakan melakukan amalan-amalan sunat (sholat sunat, puasa sunat dan lain-lain) secara kontinyu, berdzikir, baca Al-qur’an dan lain-lan.
e.       Memperhatikan aspek akhlak (moral)
Biasanya orang yang religius, sudah melakukan muhasabah, sudah berilmu dan berwawasan yang luas dan rutin mengerjakan amalan-amalan iman, implementasinya dalam kehidupan sosial (hablum minan nas) biasanya ia mampu menjadi teladan bagi individu lain. Prilakunya dalam kehidupan sosial tidak akan betentangan dengan akhlak maupun moral, artinya kalau seseorang mempunyai tinggkat religiusitas yang tinggi akan terceminkan dalam prilakunya keseharian.
Sarana mentarbiyah diri dengan cara memperhatikan aspek akhlak ini, akan menuntut kita untuk tampil selalu baik, karena prilaku kita akan dibatasi oleh nilai-nilai akhlak dan moral.

3.        Manfaat Tarbiyah Dzatiyah
a.         Keridhaan Allah SWT dan Surganya
Kalau kita sudah maksimal dalam mentarbiyah diri, tentunya kita meninggalkan perbuatan-perbuatan jahat (dosa) dan menabur perbuatan-perbuatan baik. Jika ibadah-ibadah wajib sudah dilakukan secara optimal dan ibadah-ibadah sunat juga sudah menjadi rutinitas, dilakukan dengan ilmu dan penuh keikhlasan tentunya maka ganjarannya adalah Ridho dan sorganya Allah Swt.
b.      Kebahagiaan dan ketentraman
Banyak orang yang beranggapan bahwa kebahagiaan dan ketentraman itu diukur dengan harta kekayaan, istri yang cantik dan lain-lain yang bersifat materil. Namun sebernarnya kebahagiaan yang hakiki itu adalah berada dalam agama dan menjalankan nilai-nilai agama secara maksimal.
c.       Terjaga dari keburukan
Setelah kita memuhasabah diri dan melakukan taubatan nasuhah secara otomatis kita akan terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk, karena pola tingkah laku kita akan dibatasi oleh nilai-nilai religiusitas (akhlak) dan moral.
d.         Jiwa merasa aman
Setelah kita mentarbiyah diri, melakukan muhasabah, taubat, berilmu dan melakukan amalan-amalan iman tentunya jiwa kita akan merasa aman, karena kita terhidar dari perbuatan buruk, maksiat dan otomatis kita merasa tidak punya musuh. Mungkin teman-teman bisa melakukan komparasi bagaimana rasanya tidak sholat satu bulan misalnya, dengan melakukan sholat secara khusuk selama satu bulan, yang jelas diri saya pribadi merasakan bagaiman rasanya jiwa ini setelah melakukan sholat pikiran fresh dan perasaan terasa nyaman.
B.                 Halaqah Tarbawiyah
1.         Pengertian Halaqah Tarbawiyah
Halaqah secara lughawi artinya lingkaran dimana orang menghimpun diri didalamnya dengan dipandu oleh seorang murabbi bersama-sama membina diri mereka baik dari segi penambahan ilmu maupun penganmalan[4]. Berarti halaqah tarbawiyah itu adalah membina diri sendiri melalui bantuan orang lain dengan cara membuat suatu kelompok kecil, dengan tujuan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bisa memufuk spiritualitas. Kegiatan halaqah ini berbentuk pertemuan rutin minimal sekali dalam seminggu dengan agenda kegiatan antara lain:
a.         Tadarus Al- Qur’an.
b.        Pemberian materi.
c.         Internalisasi materi dalam pengamalan.
d.        Dialog permasalahan umat.
e.         Evaluasi diri atau muhasabah.
f.         Penutup.[5]
Disamping itu kita bisa melakukan amalan-amalan lain secara bersama-sama misalnya, qiyamul lail secara berjama’ah, renungan suci, buka puasa senin dan kamis bareng-bareng dan lain-lain. Pokoknya forum yang kita ciptakan itu bisa membantu kita dalam proses pembinaan akhlak.
2.      Sarana Halaqah Tarbawiyah
Sarana halaqah tarbawiyah pada dasarnya sama dengan sarana tarbiyah dzatiyah, cuman yang membedakannya adalah halaqah membutuhkan forum untuk mentarbiyah diri, artinya halaqah melibatkan orang lain dalam pembinaan akhlak dan tarbiyah dzatiyah dilakukan sendiri tanpa melibatkan orang lain.

3.      Manfaat Halaqah Tarbawiyah
a.         Tertanamnya keyakinan keimanan yang kuat kepada aqidah dan kebenaran islam.
b.        Terbentuknya akhlak al-karimah secara nyata dalam wujud perbuatan baik dalam ruang lingkup individu, keluarga dan masyarakat termasuk didalamnya dilingkungan kampus.
c.         Terciptanya ruh ukhwah islamiyah didalam kehidupan sosial.
d.        Optimalisasi amal untuk mendakwahkan keislaman khususnya melalui qadwah atau tasawuf.
e.         Terpeliharanya kepribadian dan amal dari pelagai pengaruh yang bisa merusak dan melemahkannya.
f.         Mengkoreksi dan memperbaiki berbagai bentuk kesalahan dan penyimpangan melalui tausiyah dan mau’idzah khasanah.[6]





BAB III
KESIMPULAN
Tarbiyah dzatiyah adalah cara membina atau mendidik diri sendiri, jika kita tidak bisa konsiten, disiplin dan konsekuen dengan diri sendri, kita bisa menggunakan metode halaqah tarbawiyah, yaitu membina diri sendiri dengan melibatkan orang lain. Caranya kita bisa membentuk suatu forum dengan tujuan untuk membina akhlak dan amalan-amalan keimanan.



DAFTAR PUSTAKA
·         Taufik Nasution Ahmad, Metode Menjernihkan Hati: Melenjitkan Kecerdasan Emosi dan Spiritual  Melalui Rukun Iman, PT. Almizan, Bandung: 2005.
·         Khoiri Alwan dkk, Akhlak Tasawuf,  Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, yogyakarta: 2005.
·         Mustofa. H. A., drs., Akhlak Tasawuf untuk fakultas tarbiyah komponen MKDK, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1997
·         Amir An-najar, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf Studi Komparatif Dengan Ilmu jiwa Kontemporer, Pustaka Azzam, Jakarta, 2004.




[1] Alwan Khoiri dkk, Akhlak Tasawuf,  Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, yogyakarta: 2005. Hlm. 148
[2] Ahmad Taufik Nasution, Metode Menjernihkan Hati: Melenjitkan Kecerdasan Emosi dan Spiritual  Melalui Rukun Iman, PT. Almizan, Bandung: 2005, hlm. 211
[3] Amir An-najar, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf Studi Komparatif Dengan Ilmu jiwa Kontemporer, Pustaka Azzam, Jakarta, 2004. Hlm 228
[4] Alwan Khoiri dkk, Akhlak Tasawuf,  Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, yogyakarta: 2005. Hlm. 160
[5] Lbid., hlm. 160
[6] Alwan Khoiri dkk, Akhlak Tasawuf,  Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, yogyakarta: 2005. Hlm. 161

No comments:

Post a Comment