1. Sinopsis
Novel “Bukan Pasar Malam” ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1951. Hal ini menunjukkkan bahwa novel “Bukan Pasar Malam” ditulis sebelum tahun 1951, lima atau enam tahun pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Novel “Bukan Pasar Malam” menceritakan seorang tokoh “Aku” yang merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Ia pernah ikut bertempur melawan Belanda namun pertahanannya berhasil ditaklukkan sehingga timbul korban yang sangat banyak, baik dari kalangan tentara maupun rakyat sipil. Ia kemudian dipenjara karena ikut terlibat dalam gerakan revolusi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Setelah keluar dari penjara, ia menerima surat dari pamannya yang memberitahukan bahwa bapaknya sakit keras dan memintanya untuk pulang. Ia sangat terpukul saat membaca surat tersebut. Kemudian ia bersama istrinya berangkat menuju Blora dengan susah payah karena tidak memiliki cukup uang sehingga harus meminjam uang kepada temannya.
Sesampainya di Blora, ia melepas rindu kepada saudara-saudaranya lalu pergi ke rumah sakit untuk menemui bapaknya yang terkena penyakit TBC akut. Ayahnya adalah salah seorang pegawai pemerintah Belanda yang ikut berjuang melawan pemerintah di bawah tanah. Ia mengeluarkan sebagian besar gajinya untuk membiayai pergerakan perlawanan. Bahkan ia merupakan pemimpin para gerilyawan sebagimana dituturkan oleh sang dukun kepada tokoh “Aku”. Kemudian ia diangkat sebagai pengawas sekolah dan tidak berselang lama ia mengabdikan sisa hidupnya sebagai guru. Namun ia tertangkap oleh pasukan merah saat gerakan revolusi Pesindo dan dipenjara selama dua minggu yang membuatnya jatuh sakit.
Sang ayah sebagai seorang pejuang nasionalis tulen yang seharusnya mendapatkan perawatan yang layak di sanatorium saat kemerdekaan tercapai, malah membuat ia dan keluarganya menderita dan tinggal di rumah yang mau runtuh. Namun, ia menerima keadaan seperti itu dengan lapang dada bahkan jiwa sosialnya lebih besar daripada interest pribadi. Ia menyuruh anaknya agar memperbaiki sumur yang sering dipakai orang-orang sekitar dibanding memperbaiki rumahnya yang sudah tua. Meskipun ditekan terus oleh tokoh “Aku” agar menyuruhnya untuk merenovasi rumah, sang ayah tetap pada pendiriannya. Perawatan seadanya yang disediakan oleh rumah sakit ditambah ketidakpedulian para perawat terhadap pasiennya, menambah penyakit TBC yang dideritanya.
Setelah lama tinggal di Blora, istrinya yang berasal dari Jawa Barat menyuruhnya agar segera pulang karena persediaan keuangan yang semakin menipis. Namun, anjuran istri tidak membuatnya hengkang dari Blora karena tidak tega meninggalkan ayahnya yang terkujur kaku digerogoti TBC yang semakin menjadi-jadi. Bapaknya bahkan memberi pesan kepadanya agar ia memahami betul adat istrinya yang berasal dari tempat di luar Jawa Tengah.
Pada saat ayahnya dipindahkan dari rumah sakit ke rumah, sakitnya bertambah parah. Kedatangan para tetangga yang semakin banyak telah membuatnya sang bapak terganggu sehingga setelah ia memberi nasihat kepada keluarganya, ia menyuruh mereka ke luar dari kamar. Setelah itu, ia meninggal dunia dan membuat gempar seisi rumah.
2. Analisis Novel “Bukan Pasar Malam” dengan Pendekatan Sosiologi Sastra
Tercatat dalam surat yang dikirim oleh sang bapak kepada tokoh Aku, Blora 17 Desember 1949. Kemudian tahun penerbitan novel oleh Balai Pustaka, yaitu tahun 1951 menambah kuat dugaan novel ini ditulis sebelum tahun 1951. Itu artinya, novel ini ditulis setelah lima tahun Indonesia merdeka. Tentu saja, kondisi sosial masyarakat saat itu sangat mempengaruhi pengarang dalam penulisan novel “Bukan Pasar Malam”.
Terkait judul novel “Bukan Pasar Malam” mengindikasikan kondisi di luar suasana pasar malam saat novel ini ditulis. Pasar malam yang sering dikunjungi banyak orang silih berganti, datang dan pergi. Keramaian di pasar malam menambah hidupnya malam yang gelap gulita sehingga pengunjung tidak merasa kesepian. Penjelasan ini membantu kita membuat penafsiran judul novel “Bukan Pasar Malam”, kondisi di mana seseorang merasa sendiri dan tidak ada orang yang memperhatikan sehingga manusia dianggap hidup sendiri, senang sendiri, sakit sendiri, bahkan mati pun sendiri. Begitulah suasana di masa pasca kemerdekaan di Indonesia pada umumnya. Para pejuang kemerdekaan yang berusaha mewujudkan impian untuk merdeka, saling memperhatikan satu sama lain dan saling mengerti terhadap kemampuan masing-masing. Mereka bersatu padu, menyeragamkan barisan, dan mencegah segala bentuk perpecahan. Namun, setelah kemerdekaan tercapai, para elit politik dan orang-orang yang merasa berkedudukan sebagai borjuis saling memperebutkan kekuasaan tanpa memperhatikan kondisi rakyat yang sangat terpuruk. Mereka individualistis tidak merasa peduli dengan kondisi orang lain yang membutuhkan uluran tangan. Bahkan mereka berani dengan lancang mengabaikan para pejuang kemerdekaan, salah satunya yang digambarkan dalam tokoh bapak yang sama sekali tidak mendapatkan penghidupan yang layak dan perawatan yang baik saat ia sakit. Bahkan, istilah perwakilan rakyat yang secara eksplisit memberi arti penyampai aspirasi rakyat, oleh bapak tokoh “Aku” dianggap sebagai panggung sandiwara. Lain di hati, lain di mulut. Ia lebih memilih profesi yang langsung terjun ke lapangan, yaitu sebagai guru di sekolahan. Ia menekankan bahwa dirinya tidak bertempat di kantor tapi di sekolahan.
Pelayanan para pejabat penting sangat terjamin dan mudah didapat. Presiden, menteri, dan pejabat-pejabat terkait saat akan melakukan perjalanan, transportasi telah tersedia plus pelayanan lainnya di tengah perjalanan. Sedangkan kaum proletar ketersidaan uang untuk ongkos pun sangat susah. Inilah salah satunya yang disesalkan oleh kaum sosialis.
Kepedulian sosial para nasionalis sebenarnya denga para sosialis tidak ada perbedaan. Hal ini dapat diambil dari perbandingan sikap kawula muda yang diwakili oleh tokoh Aku dan ayahnya sebagai nasionalis. Nilai kemanusiaan sama-sama dijunjung tinggi oleh mereka berdua. Di antara keistimewaan lain yang dimiliki oleh sang ayah adalah kesabarannya dalam menghadapi tekanan demi tekanan dari masyarakat yang menganggapnya sebagai anjing Belanda. Padahal, walaupun ia bekerja di instansi pemerintahan Belanda, sebagian besar gajinya digunakan untuk kepentingan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Memang, sikap masyarakat seperti ini disebabkan karena faktor ketidaktahuan, namun sangat disesalkan kenapa mereka tidak berbaik sangka dan mencari kejelasan sehingga tidak menzalimi orang yang sebenarnya sangat berjasa atas mereka. Inilah fenomena masyarakat Brola saat itu yang mudah terbawa berita angin tanpa melihat lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi.
Fenomena sosial seperti disinggung diatas menimbulkan klasifikasi kelas sosial, kaum borjuis dan proletar. Kaum proletar tidak mendapatkan hak-hak mereka sebagaimana apa yang didapatkan oleh kaum borjuis. Kecemburuan sosial seperti ini menimbulkan keinginan sebagian orang untuk mengadakan gerakan revolusi dengan tujuan menyamaratakan pemenuhan hak-hak semua warga sehingga terhapuslah pengkelasan sosial tersebut. Tujuan baik ini kemudian disalahartikan oleh para penguasa yang didorong oleh kekhawatiran mereka terlepasnya kedudukan yang telah mereka kuasai, sehingga berusaha memadamkan gerakan yang dianggap sebagai pemberontakan terhadap pemerintah. Padahal jika dilihat lebih seksama, justru gerakan muda sosialis inilah yang langsung terjun ke masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Pengikut gerakan ini lebih mengetahui kondisi masyarakat yang sebenarnya dibanding pejabat terkait yang hanya memperkaya diri sendiri.
Dalam novel ini digambarkan para ulama dan pengurus agama terkait kurang memperhatikan sikap nasionalisme sehingga membuat bapak tokoh “Aku” menolak menjadi seorang ulama dan katib walau ia sendiri merupakan keturunan ulama, namun ia berkeinginan menjadi seorang nasionalis yang dapat mengingatkan kepada rakyat waktu kelahiran sesuatu yang diperjuangkan oleh para putera bangsa terbaiknya, yaitu kemerdekaan Republik Indonesia.
Budaya dalam dunia politik pada saat itu berbeda dengan kebiasaan sebelumnya di zaman kolonial Belanda. Sebelumnya, penghormatan terhadap penguasa dengan cara membungkuk dan ritual-ritual lainnya, sangat diperhatikan bahkan menjadi sebuah keharusan. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia tercapai, adat yang diberlakukan pada masa penjajahan Belanda resmi dihapuskan.
Sistem demokrasi memang indah karena semua hak rakyat terjamin selama tidak keluar dari jalur hukum. Semua orang dapat menikmati apapun, dengan syarat memiliki alat yang dapat mencapai kenikmatan tersebut, yaitu uang. Tanpa uang, semua lumpuh. Hal inilah yang dikritik oleh tokoh Aku sehingga membuatnya masuk ke barisan Pesindo untuk melakukan gerakan revolusi sebagai amanat 17 Agustus 1945 bahwa kemerdekaan Indonesia belum berarti kemakmuran tetapi langkah pertama kepada perjuangan mencapai kemakmuran bagi tiap-tiap warga negara Indonesia.
Di tengah perjalanan memakai kereta api, terlihat banyak kaum papa yang mengais rezeki dari uluran tangan penumpang kereta. Ini merupakan sebuah fenomena yang lumrah, para penumpang yang memiliki sisa makanan, melemparkannya ke luar yang kemudian dipungut oleh anak-anak dengan berebut. Suasana lebih menyayat hati saat melewati semak-semak yang penuh kijang dan di sekelilingnya terdapat rumah-rumah sempit masyarakat miskin.
Masyarakat di sekitar rumah keluarga tokoh Aku di Blora sangat menghormati orang yang memiliki sumur. Kondisi seperti ini sama halnya dengan kebudayaan Arab yang menghormati pemilik sumur. Sikap masyarakat seperti ini cukup beralasan karena kebutuhan mereka terhadap air adalah kebutuhan primer. Tidak setiap orang mampu membuat sumur sehingga pemiliknya berusaha keras mempertahankan eksistensi sumur untuk menjaga kehormatannya di mata masyarakat sekitar. Selain itu, tujuan menjaga sumur agar tetap ada ditujukan agar masyarakat tetap tercukupi kebutuhan airnya tanpa mengharapkan imbalan. Inilah yang terjadi pada diri bapak tokoh “Aku” yang lebih mementingkan kepentingan umum, yaitu memperbaiki sumur, daripada memperbaiki rumahnya yang sebentar lagi akan roboh karena selama 2o tahunan tidak pernah direnovasi.
Begitupun sebaliknya, jika sumur yang dimiliki sebuah keluarga hanya untuk mencukupi kebutuhan pribadi, masyarakat sekitar akan membecinya dan menjauhinya. Mereka menganggapnya orang kedecut (kikir).
Realitas sosial selanjutnya, kepedulian masyarakat di Blora terhadap sesamanya sangat besar. Hal ini ditunjukkan pada saat mereka sama-sama datang ke rumah bapak tokoh Aku untuk menjenguknya. Memang, sikap peduli seperti ini secara selintas pandang sangat baik, namun kerumunan orang yang ramai dan bersuara malah akan mengganggu orang sakit. Bahkan membuat sang bapak merasa terganggu dan membuat sakitnya bertambah parah yang membutnya meninggal dunia. Perintahnya agar sanak keluarga keluar sebagai isyarat agar para tetangga yang menjenguk segera meninggalkan ruangan. Inilah sikap negatif para pelayat selama ini yang tidak memahami keadaan. Seharusnya mereka menyempatkan diri untuk tidak berbicara hal-hal yang tidak perlu. Bahkan, di dalam cerita novel ini, para tetangga menjenguk ayah tokoh “Aku” hanya untuk mengobrol di depannya bahkan tidak terlibat dalam pembiayaan perawatan sang bapak di rumah sakit. Sikap ini dianggap wajar berhubung kondisi ekonomi masyarakat Blora yang memprihatinkan termasuk keluarga tokoh “Aku”. Di samping alasan logis kenapa mereka tidak memberikan sumbangan materi kepada keluarga yang terkena bencana, ternyata mereka juga memiliki sifat negatif yang logis juga, seperti sifat individualitis yang dominan. Mereka hanya memperdulikan dirinya sendiri, keluarga sendiri, dan lingkungannya. Saat orang lain mendapatkan kenikmatan, rasa dengki tumbuh subur dan semakin menjadi-jadi. Mereka berusaha menurunkan pamor dan kehormatannya sehingga saat keluarga yang mendapatkan kenikmatan tersebut runtuh, mereka bersorak sorai dan ikut serta meruntuhkannya.
Fenomena negatif di atas yang sudah lumrah pada saat itu ketika melawat orang sakit, membuat sang ayah gusar dan tidak mau dijenguk oleh siapapun keculai oleh keluarga. Begitu pun orang lain yang sedang menderita sakit parah. Teman bersenang-senang bagi kaum laki-laki saat itu, seperti berjudi, tidak memberikan perhatian terhadapnya. Fenomena perjudian di Blora merupakan hal yang lumrah. Mereka yang memberikan perhatian terhadap perjudian adalah kaum Tionghoa. Mereka bahkan sangat kehilangan saat mendengar ayah tokoh “Aku” meninggal dunia. Kemudian mereka berusaha mencari pengganti lain yang sepadan dengannya.
Saat di antara warga Blora menderita sakit, kebanyakan mereka berobat kepada seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dalam bidang penyembuhan penyakit meskipun tidak berlisensi. Mereka menyebutnya sebagai dukun. Dukun yang dihadirkan di dalam novel ini merupakan seorang guru sekolah rakyat yang mengabdikan dirinya untuk mengajar para generasi muda Blorasekedarnya. Semangat yang tinggi agar menghasilkan guru-guru handal di masa depan tidak pernah surut bahkan ia jadikan motto guru sebagai sebuah pengorbanan demi kebaikan di masa yang akan datang meskipun hanya tiga orang muridnya yang memiliki cita-cita sebagai guru dan yang lainnya melanjutkan ke sekolah menengah. Realita ini menunjukkan minimnya jumlah guru di daerah luar perkotaan. Bahkan tugas sebagai guru bukan profesi utama, namun penjual sate dan profesi-profesi lainnya yang tidak layak menjadi guru adalah fenomena yang tidak asing di perkampungan-perkampungan yang jauh dari perkotaan. Inilah salah satu pernyataan sang dukun kepada para muridnya agar mereka lebih bersemangat untuk menjadi guru yang sebenar-benarnya.
Dukun yang dihadirkan dalam cerita novel menjadi pilihan utama masyarakat untuk berobat walaupun obat dan resep yang diberikan sangat meragukan keampuhannya. Tokoh Aku sendiri, meskipun meragukan keahlian sang dukun ini, tetap meminta bantuannya. Namun, sikap seperti ini menjadi bahan pergolakan batin karena khawatir bertolak belakang dengan agama sehingga dianggap musyrik. Meskipun pada akhirnya, ia benar-benar menghiraukan resep dari dukun karena sedikitpun tidak memberikan efek positif bagi kesembuhan sang ayah.
Kondisi murid yang beraneka ragam latar belakang, ikut menentukan hasil belajar di sekolah. Seorang anak yang berasal dari keluarga terhormat cenderung bersikap yang tidak sesuai dengan aturan sehingga perlu diberi peringatan. Tindakan preventif guru terhadap murid seperti ini sangat terpuji bahkan didukung oleh para keluarganya. Mereka sendiri mengakui tidak dapat mengurus anaknya dengan baik sehingga menyerahkan semua urusan pendidikan anak kepada guru. Realita ini sangatlah layak menjadikan guru sebagai orang tua kedua selain orang tua di rumah. Guru adalah pendidik akal dan moral. Realita sekarang sangat kurang layak menghubungkannya dengan prinsip guru sebagai orang tua ke dua karena mereka di sekolah hanya memberikan kepedulian terhadap kecerdasan kognitif, bukan afektif. Memang tidak semua, tapi hanya sebagian kecil saja pengajar yang layak menyandang gelar orang tua ke dua.
Pengadaan sarana belajar seperti sekolahan tidak mudah direalisasikan, terutama pada masa penjajahan Jepang. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa penjajahan Jepang hanya akan membodohkan rakyat Indonesia karena setiap ada pembelajaran, bom sering mengguncang. Kondisi ini pernah terjadi pada diri dukun yang berprofesi sebagai guru. Pada pertama kali mendirikan sekolah, ia diancam bahwa sekolahnya akan dibakar. Namun, karena ada sokongan dan dukungan dari belanda, akhirnya sekolah rakyat tersebut tetap eksis.
Hubungan keluarga yang kuat sebagaimana digambarkan dalam keluarga tokoh Aku menjadi ciri kondisi sosial saat penulisan novel “Bukan Pasar Malam”. Hubungan ayah dan anak meskipun bertolak belakang dalam ideologi tetap terjaga harmonis. Bahkan, penyakit yang diderita sang ayah membuat luluh hati anak yang keras kepala. Sang ayah menasehati tokoh Aku yang terlibat dalam gerakan revolusi Pesindo, namun ia hiraukan. Ideologi sang ayah sebagai muslim sejati yang nasionalis bertolak belakang dengan tokoh Aku yang sosialis. Fenomena tersebut tidak mengganggu hubungan keluarga mereka bahkan seperti seiya sekata saat melihat suasana haru di rumah sakit. Sang ayah merasa sangat bahagia saat bertemu anaknya. Tidak ada kenikmatan bagi sang ayah kecuali bertemu anaknya yang telah lama tidak bertemu.
Perkawinan lintas suku merupakan fenomena biasa di saat penulisan novel ini. Tokoh Aku dari Blora, Jawa Tengah menikah dengan seorang wanita Sunda cantik dari Pasundan meskipun setelah beberapa tahun menikah, kecantikannya tidak lagi membuatnya kagum dan tertarik. Norma yang ditanamkan para sesepuh terhadap pasangan yang berbeda suku, menggambarkan sikap toleransi dan sikap saling memahami satu sama lain. Misalnya, sang ayah tokoh Aku memberikan nasehat kepada tokoh Aku agar berhati-hati dalam bersikap terhadap orang Sunda yang berbeda adat istiadatnya dengan Blora sehingga tidak menyinggungnya. Ia harus bisa memahami semua bentuk adat kebiasaan istrinya yang merupakan wanita Sunda asli. Namun, dalam cerita novel ini, wanita Sunda lebih bersikap materialistis dalam pernyataannya kepada sang suami agar segera pulang karena ketersediaan uang sudah menipis padahal kondisi mental dan keluarga tidak mendukung untuk pulang ke Jakarta. Anjuran istrinya ini sangat memberikan pengaruh terhadap tokoh Aku sehingga kegundahan hatinya dapat ditebak oleh sang ayah.
Fenomena sosial lain yang terungkap dalam novel “Bukan Pasar Malam”, kalangan anak-anak tidak diperbolehkan ikut bercengkrama dengan para orang dewasa. Mereka disuruh pergi ke ruangan lain untuk bermain dan belajar. Kondisi seperti ini bisa dianggap bijak berhubung anak kecil belum siap mendengarkan dan memahami apa yang dibicarakn orang dewasa. Bahkan dikhawatirkan akan terbawa ke suasana kelam saat membincangkan masalah yang tidak disukai.
Dalam setiap obrolan, kopi dan rokok selalu menjadi sajian utama demi kelancaran perbincangan di antara para orang dewasa. Biasanya, sebelum membincangkan masalah inti, dibincangkan dahulu hal-hal yang bisa menghangatkan suasana, seperti keadaan keluarga, kabar kota tempat mencari mata pencaharian, dan lain-lain. Di tengah obrolan terkadang terjadi senyap sepi karena kehabisan bahan pembicaraan. Namun, setelah kembali mereguk kopi dan menghisap rokok, suasana kembali cair dan ramai.
No comments:
Post a Comment