1. Sinopsis
Novel “Salah Asuhan” pertama kali diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1928. Itu artinya novel ini ditulis pada masa penjajahan Belanda. Pramoedya Ananta Toer mengawali ceritanya dengan obrolan seorang wanita Indo-Perancis, hasil perkawinan pria Eropa dengan wanita Bumiputera, bersama seorang pemuda asli pribumi Minangkabau yang meniru semua gaya hidup Eropa. Sejak kecil ia dididik dan diasuh ibunya dengan gaya Eropa atas keinginan anaknya. Mereka berdua telah bersahabat sejak lama dan benih-benih cinta di antara keduanya telah tumbuh. Pemuda pribumi yang bernama Hanafi di sela-sela obrolannya sangat merendahkan kaumnya sendiri dari kalangan pribumi dan memuji-muji gaya Eropa. Sedangkan wanita Indo yang bernama Corrie de Bussie, walaupun ia mendapat kehormatan dari sejak lahir sebagai keluarga orang Eropa, tidak menyetujui sikap Hanafi yang selalu membanding-bandingkan adat dan budaya Eropa dengan pribumi.
Hubungan cinta mereka tersendat-sendat di tengah jalan karena ayah Corrie yang bernama du Bussee, kurang senang jika mereka berdua meneruskan hubungannya ke pelaminan. Ia mengetahui dengan sangat pasti bahwa wanita Eropa yang mengikat tali kekeluargaan dengan pria pribumi, semua hak-haknya sebagai Eropa telah dicabut bahkan dianggapnya telah menghinakan diri sendiri. Oleh karena itu, sebagai rasa sayang sang ayah kepada sangat anak, ia menasehati Corrie agar mengambil keputusan yang tepat, meskipun ia sendiri tidak setuju dengan pandangan orang Eropa umumnya, untuk tidak meneruskan hubungannya dengan Hanafi. Pada awalnya Corrie merasa keberatan bahkan salah tingkah saat berusaha keras menghilangkan rasa cintanya kepada Hanafi. Namun, walaupun pada awalnya tidak tega mengorbankan cintanya, Corrie berhasil berterus terang kepada Hanafi agar menghentikan hubungan di antara mereka. Ia mengirimkan surat kepada Hanafi yang memberitahukannya efek negatif perkawinan campuran.
Hanafi sangat terpukul dengan sikap Corrie. Ditambah lagi keinginan ibunya agar anaknya menikah dengan Rapiah, puteri Sutan Batuah, sebagai bentuk balas budi atas kebaikannya menyisihkan sebagian hartanya untuk membiayai sekolah Hanafi. Meskipun pada awalnya menolak, ia menikah dengan Rapiah tanpa disertai rasa cinta sebagai seorang kekasih. Pernikahannya hampir gagal karena pemberontakan Hanafi terhadap adat istiadat Minangkabau saat melakukan pernikahan dan keinginannya untuk lebih menonjolkan gaya Eropa. Berompi,
Pernikahan mereka tidak membuat Hanafi tenang bahkan menambah dia gusar sehingga menganggap istrinya sebagai pembantu saja yang harus memenuhi semua keinginan majikan. Amarah terhadap istri bertambah-tambah saat mengetahui hanya sedikit orang Eropa yang mengunjunginya. Hal ini membuat Hanafi berkeinginan untuk bertemu dengan Corrie yang sedang berada di Betawi. Dengan alasan berobat karena digigit anjing gila, ia berangkat ke Betawi dan bertemu dengan Corrie pada sebuah insiden kecelakaan dan Hanafi menjadi penolongnya. Keduanya sama-sama bergembira lalu melangsungkan pernikahan dan menceraikan Rapiah di Solok setelah resmi pindah rumah ke Betawi dan mengurus persamaan hak sebagai bangsa Eropa . Namun, hubungan mereka tidak bertahan lama setelah menerima sikap negatif dari teman-teman mereka berdua. Hanafi dianggap tidak menghargai bangsanya sendiri, sedangkan Corrie telah menjauhkan diri dari pergaulan dan kehidupan barat. Efek negatif respon yang mereka terima di luar berimbas pada hubungan rumah tangga mereka. Hanafi menjadi bersifat kasar sendangka Corrie pendiam. Puncaknya, sikap cemburu buta Hanafi terhadap Corrie yang sering dikunjungi seorang mucikari Tante Lien dan dianggap melakukan serong sehingga membuat istrinya sakit hati dan meminta cerai seumur hidup lalu Corrie pergi menuju Semarang dan bekerja di panti asuhan. Ia meninggal di sana disebabkan penyakit kolera yang dideritanya saat Hanafi ingin kembali rujuk .
Berita kematian Corrie, ingat kepada istri, Syafe’i anaknya, dan sang ibu di Solok, dan teman-temannya yang semakin menjauhi membuat Hanafi sangat terpukul sehingga setiap harinya ia hanya termenung. Ia mulai menyadari semua kesalahannya yang tidak bijak dalam memiliki harta paling berharga di dunia, yaitu istri. Wanita Minangkabau yang ia nikahi dengan terpaksa, jika diamati lebih jauh akan membuatnya terkagum-kagum dan menambah cintanya. Namun ia mengabaikannya. Sedangkan, wanita yang sejak awal bertemu telah membuatnya jatuh hati, tidak dijaga dengan baik dan akhirnya hilang selama-lamanya. Kesedihan Hanafi semakin memuncak dan pada akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri dengan minum cairan kimia. Ia meninggal dunia dengan sangat menggenaskan.
2. Analisis Novel Salah Asuhan dengan Pendekatan Teori Postkolonialisme
Novel diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1928 di masa penjajahan Belanda. Tentunya, kondisi sosial masyarakat, politik, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya tidak akan terlepas dari pengaruh penjajah. Novel ini menghadirkan begitu banyak fakta pengaruh Eropa dalam hal ini Belanda terhadap karakter budaya negara Indonesia sebagai negara terjajah. Di awal cerita, Pramoedya Ananta Toer menghadirkan sosok pemuda pribumi yang tergila-gila dengan budaya Barat. Disebut tergila-gila karena ia sendiri buta terhadap kebudayaannya sendiri sebagai seorang pribumi bahkan berani merendahkannya. Corrie sebagai seorang wanita blasteran pria Perancis-wanita Indonesia sehingga dengan sendirinya ia memiliki kehormatan sebagai orang Eropa, mengkritik sikap Hanafi yang membanding-bandingkan budaya Eropa dengan Pribumi bahkan ia lebih mengetahui budaya pribumi daripada Hanafi sendiri sebagai orang bumiputera. Hanafi mengkritik norma-norma yang berlaku di kalangan pribumi seperti hubungan antara seorang gadis dengan bujang. Ia lebih suka gaya Eropa yang tidak mempermasalahkan hal tersebut. Bahkan ia selalu mengantar Corrie pulang. Ia merasa gusar saat Corrie merasa tidak enak berduaan dengan Hanafi di depan umum. Lebih parahnya lagi, kaum pribumi yang tidak mampu berbahasa Belanda selain ibunya tidak masuk bilangan. Ditambah lagi, sikapnya yang terlalu berlebih-lebihan dalam bergaya hidup Eropa, membuatnya anti terhadap kebudayaan Melayu yang kental dengan jaran ke-Islaman sehingga pada puncaknya ia menganggap agam Islam sebagai takhayul yang membuatnya terkucilkan. Di depan Belanda, ia merendahkan bahkan cenderung melenyapkan negerinya sendiri, Minagkabau, dalam pernyataannya, “Seindah-indahnya negeri ini, jika tak ada ibuku, niscaya sudah lamalah kutinggalkan”.
Namun, jika ditinjau lebih jauh, pandangan negatif Barat terhadap Melayu cukup beralasan karena melihat kondisi masyarakatnya yang kampungan, berbadan kotor, berpakaian tidak layak dan kotor, serta tidak berpendidikan. Bahkan ini merupakan jawaban dari seorang anak kecil, Syafe’i di atas pangkuan ibunya, Rapiah, saat ditanya tentang siapakah orang Melayu itu?
Oleh Corrie dijelaskan adat kesopanan pribumi mengenai hubungan antara seorang gadis dan bujang yang sangat terbatas dan dianggap tabu. Seorang gadis tidak boleh berhubungan langsung dengan kaum lelaki di depan umum. Jika hal tersebut dilanggarnya, maka orang-orang akan menganggapnya janggal. Berbeda dengan budaya Eropa yang menganggap hubungan yang erat antara seorang gadis dengan seorang bujang sebagai bentuk tunangan yang nantinya berujung pernikahan yang indah.
Hanafi yang sepenuhnya mengikuti budaya Eropa menegur Corrie yang masih memperhatikan norma-norma adat Minangkabau sehingga saat Corrie mengkritik sikapnya yang dikhawatirkan melanggar adat, Hanafi langsung menyerang balik dengan menghadirkan fakta-fakta budaya Eropa yang menunjukkan batasan undang-undang kesopanan yang gelap karena tidak tertulis.
Hubungan cinta antara Hanafi dengan Corrie ditafsirkan lain oleh Hanafi karena ia kini sudah bukan lagi sebagai “inlander”. Namun, sikap Corrie terhadap Hanafi ibarat pepatah “gayung bersambut kata berjawab” saat mengetahui Corrie ingin menjaga jarak darinya karena dikhawatirkan terjadi pernikahan campuran yang tidak dikehendakinya.
Pandangan buta Hanafi terhadap budaya pribumi telah membuatnya lebih agresif dalam mengkritik dan menghina budaya lokal dibanding sahabatnya sekaligus kekasihnya, Corrie. Bahkan Corrrie mengakui jika penghinaan terhadap bumiputera lebih banyak keluar dari mulut Hanafi. Corrie yang sangat bijak dalam menyikapi perbedaan budaya dan menasehati Hanafi agar menghargai perbedaan yang ada, tidak membuat rasa gengsi Hanafi surut. Bahkan di akhir percakapan, Hanafi geram terhadap Corrie dan menanyainya seputar penyebab Corrie sudi bergaul dengannya.
Dalam percakapan pertama di antara kedua pemuda dan pemudi ini dapat diambil pelajaran bahwa Eropa dan bumiputera memiliki budayanya masing-masing yang tidak perlu dipertentangkan, namun harus disikapi dengan sikap saling menghargai satu sama lain. Perasaan sebagai bagian dari pribumi yang sangat mengakar kuat dalam diri Corrie tidak akan membuatnya dengan begitu mudah mengikuti budaya Eropa yang dianggapnya memang lebih menyenangkan daripada budaya lokal yang sangat mengekang bahkan merendahkan kaum wanita saat terlihat berduaan dengan lain jenis meskipun bersama sanak saudaranya. Tentunya sangat kontras jika dibandingkan dengan Hanafi yang menginginkan dirinya diakui sebagai bagian dari Eropa.
Hanafi adalah seorang pribumi asli Minangkabau. Ia merupakan anak tunggal sebagai tumpuan harapan keluarga sehingga ia disekolahkan oleh sanak keluarganya di sekolah-sekolah Eropa di Jakarta agar menjadi anak yang pandai dan melebihi keluarganya di kampung. Mereka berjuang mati-matian agar Hanafi bisa berpendidikan tinggi. Namun, pengawasan orang tua dan sanak keluarganya melupakan satu hal penting dalam diri Hanafi, yaitu kesadaran sebagai seorang pribumi yang berbeda budaya dengan Barat. Rasa bangga yang menghinggapi Hanafi saat bergaya hidup Eropa terus bersemi dan tumbuh subur. Hal ini disebabkan pengasuhan sang ibu yang berlebihan dalam memanjakan anak, selalu berusaha mewujudkan keinginan sang anak untuk bergaya hidup Eropa, baik dalam masalah pakaian, makanan, perabot rumah tangga, dan interior rumah. Jika sang ibu merubah komposisi perabotan rumah dengan perabotan lokal, maka sanag anak merasa kurang bangga melihatnya, bahkan disuruhnya agar dijauhkan. Terlebih sikap anti Islam dan Melayu serta sifat negatif lainnya sebagaimana telah disinggung di atas, maka pantaslah hal menarik ini menjadi sebuah judul novel yang menjiwai kesuluruhan cerita yang dikandungnya, “Salah Asuhan”.
Berbeda dengan kalangan tetua, meski anaknya berperilaku dan bergaya hidup Eropa, adat istiadat lokal sangat melekat erat dalam diri mereka. Tapi, konsistensi mereka dalam melestarikan dan mempertahankan eksistensi budaya lokal tidak sampai kepada pewarisan terhadap anak cucu.
Novel ini menghadirkan sebuah adat Eropa yang sangat menarik sekaligus sedikit membuat mulut pembaca tersungging, yaitu adat orang Perancis dalam penerimaan tamu yang begitu ramah, namun ia segera memuji tamunya saat mereka segera pulang kembali.
Hal positif yang dihadirkan kaum Eropa di Indonesia adalah penanaman kesadaran urgensi pendidikan tinggi bagi kaum wanita. Du Busse terus memaksa anaknya, Corrie untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi meskipun banyak cobaan yang menerpa Du Busse. Kondisi ini sangat kontradiktif dengan budaya bumiputera. Saat itu, wanita hanya dianggap sebagai pelayan suami dan bekerja tidak keluar dari urusan rumah tangga dan mengasuh anak.
Corrie sebagai wanita yang sangat cantik sehingga memukau banyak lelaki menjadi pemicu atau kalau tidak, ia mempertahankan budaya berkirim surat cinta dan bergombal-gombal. Budaya seorang lelaki yang merayu wanita pujannya sangat kontradiktif dengan budaya bumiputera yang hanya cukup mendatanginya secara langsung ke keluarga wanita pujannya tersebut dan meminta agar sudi menikahkannya. Bahkan, isi surat cinta yang dikirim kepada Corrie mencapai klimaknya saat pengirim akan nekad bunuh diri di depannya jika Corrie tidak menanggapi cintanya. Sepertinya, budaya ini menjadi bahan perbincangan kawula muda sampai saat sekarang, bahkan telah menjadi bumbu dalam setiap hubungan cinta antara dua orang kekasih.
Selain berpengaruh terhadap para pemuda yang sedang mencari pujaan hatinya, sikap kaum muda Eropa yang dalam hal ini diwakili oleh sikap Corrie, juga berpengaruh terhadap kepribadian wanita yang merasa dirinya dikejar-kejar kaum lelaki. Mereka mengacuhkan semua bentuk usaha para pemuda yang ingin menarik hatinya sampai benar-benar terbukti salah seorang dari mereka menyatakan cintanya yang tulus. Sikap Corrie yang baik budi terhadap semua kaum lelaki menambah semangat kaum pria untuk mendekatinya, namun jika berani berbuat macam-macam, maka ia tidak segan-segan berbuat sesuatu yang membuat mereka tidak akan berani lagi mendekatinya. Jika ada di antara pria yang mengikat hatinya, tidaklah terkira sukacitanya laksana orang yang sedang menanggung bahaga bertemu dengan minuman lezat. Namun, jika dalam pertemuan pertama langsung menyatakan cinta, tanpa berusaha mengenal lebih dekat dahulu, hatinya langsung dingin dan membencinya seketika itu pula. Fakta dan ritual percintaan seperti ini pun terjadi di masa kita sekarang dan akan terus mengalami peningkatan sebagaimana disiarkan dalam pertelivisian Indonesia beruapa FTV, sinetron, dan media lainnya.
Budaya dalam lingkungan keluarga, yaitu hubungan antara ayah sebagai orang tua dan anak, yang dalam hal ini dicontohkan oleh Du Busse dan Corrie, sangat berbeda dengan adat keluarga pribumi. Keterbukaan sesama anggota keluarga menjadi ciri utama keluarga Eropa, meski antara orang tua sebagai orang dewasa dengan anak. Namun, imbasnya, sikap keterbukaan dan kebebasan berekspresi seperti ini berimbas pada sikap sang anak terhadap orang tuanya yang terkadang kurang mengindahkan perkataan orang tua karena dianggapnya tidak sakral. Corrie saat pulang dari lapangan tenis dan mukanya kemerah-merahan, lalu dikomentari oleh ayahnya, ia tidak menyahut dan tetap tenang meneruskan fokus kegiatannya. Sikap seperti bertolak belakang dengan adat pribumi yang mengaruskan seorang anak merespon semua pembicaraan orang tua saat ditujukan kepadanya. Jika dilanggar, maka anak tersebut dianggap telah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan agama karena tidak berbakti kepada orang tua. Selain itu, sang anak dibiarkan tidak boleh ikut campur urusan orang dewasa. Hal ini membuat efek negatif saat sang anak mulai membicarakan masalah dewasa sehingga orang tua menutup-nutupi informasi tentang hal yang ditanyakan. Berbeda dengan Du Busse, secara panjang lebar dan rinci, ia menjelaskan kepada Corrie rintangan-rintangan yang harus dihadapi saat kawin campuran antara keturuna Eropa terhormat dengan pribumi.
Terkait perkawinan campuran antara wanita bangsa Eropa dengan pria pribumi, sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, hak-hak wanita sebagai bangsa Eropa dicabut dan dijauhi oleh bangsanya sendiri. Namun, alasan ini dibantah oleh Corrie yang menganggap Hanafi sama halnya dengan bangsa Eropa bahkan mereka menyukainya. Watak Hanafi sama halnya dengan watak ibu Corrie yang telah meninggal dunia. Hal ini memperkuatnya untuk menjalin hubungan serius dengannya. Du Busse yang telah banyak makan garam memberikan alasan logis lainnya, ia menghadirkan fakta bahwa pengormatan bangsa Eropa terhadap pribumi hanya sekedar pernghormatan biasa kepada pribumi yang bertingkah laku sopan. Namun, pada saat pribumi tersebut berani menikahi wanita Eropa, mereka menganggapnya besar kepala dan telah lancang sehingga segera mereka jauhi dan kucilkan. Kondisi seperti ini sering terjadi di Indonesia yang diduduki oleh sebagian kecil orang Eropa, akan lebih parah lagi jika di negara Eropa sendiri.
Sikap bangga pribumi terhadap bangsa Eropa, selain meniru gaya hidup mereka, kedatangan mereka untuk berkunjnung merupakan sebuah penghormatan yang diimpi-impikan oleh sebagian besar pribumi. Cara menyambut tamu Eropa berbeda seperti biasanya dengan tradisi lokal, bangsa Eropa dalam hal ini Belanda. Mereka disuruh duduk di atas kursi bukan permadani yang terhampar di atas lantai sebagaimana layaknya adat Minangkabau.
Saat seorang pria keturunan Eropa menikah dengan wanita pribumi, tamu Eropa yang berkunjung hanya memberi hormat kepada keturunan Eropa saja, tidak kepada istrinya. Status pribumi yang melekat pada istri lelaki berkebangsaan Eropa tidak lepas sehingga di manapun tidak mendapatkan penghormatan sebagaimana penghormatan yang didapatkan oleh suaminya. Hal inilah yang menambah tekad Corrie untuk memutuskan hubungannya dengan Hanafi. Bentuk perhatian lebih sang ayah terhadap Corrie dalam hal ini disebabkan faktor traumatis dirinya sat menyaksikan sendiri kondisi istrinya yang selalu terhina di depan mata Barat dan Timur, terutama Barat. Jika seandainya, pernikahan campuran terjadi, perlakuan bangsa Eropa di tempat kerja akan memberi pengaruh buruk terhadap kinerja suami sehingga kepercayaan pemilik perusahaan akan hilang dan akhirnya ia dipecat. Selain itu, pergolakan batin yang disembunyikan karena mendahulukan rasa cinta, suatu saat akan tampak, salah satunya sebagaimana diceritakan oleh Du Busse kepada anaknya, yaitu ketika makanan yang disajikan istri tidak sesuai selera suami yang telah mendapatkan perlakuan buruk dari sesama pegawai kantor. Singkatnya, efek negatif hubungan campuran Eropa dan pribumi lebih besar dibanding keuntungannya sehingga jika dilakukan akan menimbulkan penyesalam yang tak terhingga dan susah dilupakan. Banyak pengorbanan yang dilakukan, mulai dari pengucilan keluarga, masyarakat sekitar, dan bangsa dalam lingkup yang lebih luas.
Hal ini juga lah yang membuat Hanafi bersikap kasar terhadap istrinya, Rapiah saat ia menerima tamu orang Eropa. Ia merasa tidak mendapat kehormatan karena menikah dengan sesama pribumi. Pasca pernikahannya dengan Rapiah, hanya sedikit teman Eropanya yang berkunjung ke rumah.
Sikap yang ditampilkan oleh keluarga De Busse merupakan sikap positif yang ditampilkan sebagian kecil bangsa Eropa saat itu di negara jajahan. Ia sendiri menolak pengklasifikasian manusia berdasarkan keturunan, keturunan terhormat dan tidak terhormat. Ia menganggapnya sebagai salah satu bentuk kesombongan bangsa yang tidak beralasan.
Bangsa pribumi yang dalam hal ini digambarkan dalam tokoh Hanafi, ingin dipersamakan haknya dengan bangsa Eropa. Jika seorang bumiputera meminta dipersamakan haknya dengan bangsa Eropa, maka ia tidak dapat menggurkan dan mencabut kembali permintaan tersebut.
Deskripsi lainnya terkait budaya Eropa di Indonesia, kebiasaan kaum pria Eropa di rumah membaca koran sambil duduk di atas kursi malas. Hal ini menjadi kebiasaan yang dilakukan kaum ningrat pada saat itu, namun pada masa sekarang, aktivitas seperti ini telah membudaya bagi semua kalangan di Indonesia.
Perjodohan masih berlaku di masa Hanafi hidup. Ibunya mennganjurkan agar menikahi Rapiah sebagai bentuk balas budi terhadap jasa Sutan Batuah. Pernikahan yang cenderung dipaksa ini hampir menemui kegagalan karena sikap Hanafi sendiri yang tidak mau mengikuti aturan adat perkawinan Minangkabau, yaitu salah satunya memakai destar saluk, pakaian adat Minagkabau. Setelah dipaksa beberapa kali, baru ia mau memakainya hanya sekedar formalitas selain seragam Eropa yang dipakainya, seperti jas hitam, celana hitam, dengan berompi dan berdasi putih. Suasana yang paling mengharukan dan membuat pembaca naik darah adalah ketika ia dipaksa memakai tanda ke-Mingakabau-an sampai para perempuan pun menangis karenanya.
Terakhir sebagai penutup, alangkah indahnya perkataan sang dokter ketika menasehati Hanafi yang sedang diobatinya, “Tuan Han, bagi Tuan amat melarat, jika berkata-kata panjang. Baiklah Tuan mendengarkan saja apa yang hendak saya tuturkan, sebagai dokter dan sebagai manusia. Kita berhadapan sebagai orang yang sama-sama terpelajar, sopan, muda dan sudah tentu sama-sama pula mengetahui dan menderita akan arti cinta. Dengarlah ! sepanjang pendapat saja, cinta itu akan berbukti benar, bila yang menaruhnya tahu menaruh sabar, tahu menegakkan kepalanya di dalam segala rupa bahaya serta rintangannya. Cinta itu tahu memberi korban, jika perlu.”
maaf mbak sebelumnya. bukankah di gambar cover pengarang dituliskan Abdoel Moeis tetapi kenapa dipembahasan menyangkutpautkan bahwa Pramudya yang menulisnya?
ReplyDelete