BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Sejarah Islam, dua dinasti besar berhasil membawa Islam ke puncak kejayaannya. Dinasti Abbasiyyah di Baghdad dan Dinasti Umayyah II di Andalusia (sekarang Spanyol) adalah dua dinasti Islam yang saling berlomba meraih kejayaan Islam. Persaingan keduanya menjadikan Islam mencapai masa puncak keemasaannya dalam berbagai bidang, meliputi bidang kebudayaan, sosial, politik, militer, dan ekonomi.
Sastra (al-Adab) merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mencapai masa keemasannya pada masa itu. Sastra adalah salah satu unsur kebudayaan yang paling terkenal dalam Renaisans Andalusia yang diprakarsai oleh Abdurrahman al-Dakhil sehingga mirip dengan tradisi istana Troubadour Perancis (penyair dan penyanyi keliling pada abad ke-11 sampai abad ke-13).
Kebangkitan sastra pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah terkait dengan kemajuan budaya, keadaan politik, ekonomi, dan sosial masyarakat Andalusia. Oleh karena itu, makalah ini akan memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi sastra pada masa Dinasti Umayyah II yang meliputi latar belakang budaya, politik, ekonomi, dan sosial masyarakat Andalusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. AWAL MASUK ISLAM KE ANDALUSIA
Sejarah dinasti-dinasti Islam di Andalusia merupakan sejarah Islam terpanjang jika dibandingkan dengan dinasti-dinasti Islam lainnya.
Wilayah Andalusia yang sekarang disebut Spanyol, terletak di ujung selatan Benua Eropa, masuk ke dalam kekuasaan Dinasti Abbasiyyah semenjak Thariq Bin Ziyad, bawahan Musa Bin Nushair Gubernur Qairuwan, mengalahkan pasukan Gothia tahun 92 H/711 M. Thariq membawa serta 7000 pasukannya melewati lautan luas dengan menumpangi perahu-perahu besar kiriman Ratu Yulian, salah satu penguasa pesisir Maghrib, yang ingin menghukum puterinya yang berpihak kepada Raja Roderick. Kemenangan ini menjadi awal bagi Thariq untuk menaklukkan kota-kota lain di Semenanjung LIberia Peninsula (Andalusia) tanpa banyak kesulitan. Mereka semua di bawah perintah Khalifah al-Walid Bin Abd al-Malik, penguasa Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus.
Saat itu, Andalusia di bawah kekuasaan Raja Roderick yang zalim. Ia memaksa Yahudi agar membantunya dalam ekspansi-ekspansi. Akan tetapi, Yahudi berbalik arah membantu pasukan muslimin dalam penaklukan kekuasaan Roderick di Andalusia.
Secara terperinci, faktor-faktor keberhasilan pasukan muslimin dalam penaklukan Andalusia adalah sebagai berikut:
1. Penduduk Spanyol merasa terzalimi dengan sikap kekuasaan Romawi di sana yang tidak adil, tidak toleran, dan terkesan kasar.
2. Mayoritas penduduk Spanyol beragama watsanîyyah (penyembah berhala). Mereka tidak kerasan dengan agama Kristen yang merupakan agama baru di sana. Mereka hanya menginginkan ketenangan saat melakukan ritual keagamaannya yang saat itu terjadi pemaksaan agama.
3. Para budak kaum Kristiani merasa lebih senang berada di bawah kekuasaan Islam yang memberikan mereka kesempatan untuk bebas. Mereka merasa terkekang bahkan tidak merasakan lagi sekujur tubuhnya karena beratnya beban yang dipikul saat berada di tangan tuan yang Kristen.
B. LATAR BELAKANG POLITIK
Penguasaan umat Islam terhadap Andalusia dapat dibagi menjadi beberapa periode:
1. Periode Pertama
Periode antara tahun 711-755 M, Andalusia diperintah oleh para wali yang diangkat oleh khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Dalam periode ini, Andalusia secara politis belum stabil, masih terjadi perebutan kekuasaan antar elit penguasa dan masih adanya ancaman musuh Islam dari penguasa setempat.
2. Periode ke dua
Perioe antara tahun 755-1013 M pada waktu Andalusia dikuasai oleh Daulah Umawiyyah II. Periode ini dibagi dua:
a. Masa keamiran tahun 755-912 M. Masa ini dimulai ketika Abd Rahman al-Dakhîl berhasil memasuki Andalusia dan menaklukkan penguasanya, yaitu Yusuf al-Fihr.
b. Masa kekhalifahan tahun 1912-1013 M, ketika Abd Rahman III, amir ke-8 Bani Umayyah II, menggelari diri dengan al-Nâshir li Dînillah (912-961 M). Kedudukannya dilanjutkan oleh Hakam II (961-976 M), kemudian oleh Hisyam (976-1007 M).
3. Periode ke Tiga
Periode antara tahun 1031-1492 M,ketika umat Islam Andalusia terpecah dan menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Periode ini dibagi menjdai tiga masa:
a. Masa kerajaan-kerajaan kecil yang sifatnya lokal tahun 1031-1086 M, jumlahnya sekitar 20 buah. Masa ini disebut Muluk al-Thawaif. Mereka mendirikan kerajaan berdasarkan etnis Barbar, Slovia, atau Andalusia yang bertikai satu sama lain sehingga menimbulkan keberanian umat Kristen di Utara untuk menyerang. Ada dua faktor utama yang mengawali penyerbuan Kristen terhadap Islam Spanyol. Pertama, timbulnya perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam ditandai oleh lahirnya imarat-imarat kecil. Kedua, bersatunya umat Kristen di utara Spanyol, terutama di daerah Perancis. Namun dalam bidang peradaban mengalami kemajuan karena masing-masing ibu kota kerajaan lokal ingin menyaingi kemajuan Cordova. Muncullah kota-kota besar Toledo, Sevilla, Malaga, dan Granada.
b. Masa antara tahun 1086-1235 M, ketika umat Islam Andalusia di bawah kekuasaan bangsa Barbar dari Afrika Utara. Mula-mula bangsa Barbar dipimpin oleh Yusuf bin Tasyfin mendirikan Daulah Murabbithun, kemudian datang ke Andalusia untuk menolong umat Islam Andalusia mengusir umat Kristen yang menyerang Sevilla pada tahun 1086. Beliau kemudian menggabungkan Mulûk al-Thawâif ke dalam dinasti yang dipimpinnya sampai tahun 1143 M. Ketika dinasti ini melemah digantikan oleh Dinasti Barbar lain, al-Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti ini datang ke Andalusia dipimpin oleh Abdul Mu‘min. Pada masa puteranya, Abu Ya‘qub Yusuf bin Abd al-mu‘min (1163-1184) Andalus mengalami masa kejayaan. Namun sepeninggal sultan ini, al-Muwahhidun mengalami kelemahan. Paus Innocent III menghasut raja-raja kristen untuk mengadakan penaklukan kembali. Andalusia mengalmi perpecahan kembali di bawah raja-raja lokal, sedangkan umat kristen semakin kuat dan meyerang sehingga Kordoba pun jatuh pada tahun 1236 M. Umat Islam Andalusia jatuh di tangan Kristen kecuali Granada yang dikuasai oleh Bani Ahmar sejak tahun 1232 M.
c. Masa antara tahun 1232-1492 ketika umat Islam Andalusia bertahan di wilayah Granada di bawah kekuasaan Bani Ahmar. Pendiri dinasti ini adalah Sultan Muhammad bin Yusuf bergelar al-Nashr, oleh karena itu kerajaan ini disebut juga Nashriyyah. Kerajaan ini merupakan kerjaan terakhir umat Islam Andalusia yang berkuasa di wilayah Almeria dan Gibraltar, pesisir Tenggara Andalusia. Dinasti ini dapat bertahan karena dilingkupi oleh bukit sebagai pertahanan dan mempunyai hubungan yang dekat dengan negeri Islam Afrika Utara yang waktu itu di bawah kerajaan Marin. Ditambah lagi Granada merupakan tempat berkumpulnya pelarian tentara dan umat Islam dari wilayah selain Andalusia ketika wilayah itu dikuasai oleh Kristen. Namun, pada tanggal 2 Januari 1492, raja terakhir, Abu Abdillah menyerah kepada Raja Ferdinand dengan perjanjian sebagai berikut:
1) Raja Ferdinand akan melindungi umat Islam, baik jiwanya, harta benda, maupun agamanya.
2) Raja Ferdinand membiarkan mesjid-mesjid dan harta wakaf dalam keadaan seperti biasa.
Jabatan penting kekhalifahan diwariskan secara turun temurun, kendati para perwira dan bangsawan sering memilih orang yang mereka sukai. Jabatan seorang hâjib (pengurus rumah tangga) berada di atas kedudukan para wazîr (menteri). Ia menjadi perantara komunikasi antara wazîr dengan khalifah. Setiap wazîr disertai kâtib (sekretaris). Provinsi-provinsi diperintah oleh seorang gubernur sipil dan militer yang disebut wâlî. Beberapa kota penting juga diperintahkan oleh wâlî. Peradilan dijalankan langsung oleh khalifah, kemudian mewakilkan wewenangnya kepada para qâdhî yang dipimpin oleh qâdhî al-qudhât yang berkedudukan di Kordoba. Kasus-kasus kriminal domestik diadili oleh seorang hakim khusus, shâhib al-Syurthah. Sedangkan pengaduan warga atas ketidak puasannya terhadap pelayanan pemerintah diselesaikan oleh hakim khusus, shâhib al-Mazhâlim. Hukuman yang biasanya dikenakan kepada para tersangka adalah denda, skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh, dan hukuman mati.
Jabatan penting lainnya yang bertugas mengarahkan kepolisian, mengawasi perdagangan dan pasar, dan ikut serta mengurus masalah amoral dan kriminal adalah muhtasib.
Situasi politik pemerintahan tergantung penguasa yang menduduki singgasana kekhalifahan. Khallifah yang memiliki kecakapan dalam mengelola pemerintahannya, seperti Khalifah al-Manshur mampu mengatasi permusuhan dan mengendalikan pemerintahan sehingga seluruh daerah Andalusia menjadi aman, sepanjang hidupnya tidak terjadi gejolak karena kebesaran posisi dan kekuatan politiknya. Berbeda dengan Khlaifah Hisyam sebagai pengganti Khalifah al-Hakam al-Mustanshir. Ia sosok yang tidak cerdas, kurang cekatan, dan lemah pendirian.
C. LATAR BELAKANG BUDAYA
Masa Abbasiyah dan Umayyah di Andalusia adalah masa puncak kejayaan peradaban Islam. Di masa inilah berkembang dan memuncak ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Sejarah mencatat masa ini disebut The Golden Age of Islam yang memberikan pengaruh terhadap tercapainya kemajuan dan peradaban modern di Barat sekarang. Pada masa ini, London dan Paris adalah kota kecil. Tidak ada seni, kesusastraan, atau diskusi yang menonjol di semua tempat Eropa.
Penduduk Andalusia sangat menyukai budaya dan pemikiran sehingga kedudukan para cendikiawan di mata mereka tinggi sekali. Oleh karena itu, banyak karya yang dihasilkan oleh para ilmuwan dalam berbagai bidang.
Di samping itu, mereka juga gemar mengoleksi buku sehingga muncul statement di kalangan mereka bahwa semua rumah di Andalusia pasti terdapat perpustakaan di dalamnya meskipun rumah orang awam.
Dinasti ini sangat terkenal dalam mengembangkan sejarah bidang kesusastraan dan ilmu pengetahuan di Kordoba dan Granada. Kesusastraan, perpustakaan, dan tempat pemandian di Andalusia merupakan simbol keagungan peradaban muslim. Dalam bidang kesusastraan, Abdurrahman sebagai seorang yang mencintai syair Arab, sangat mendorong berkembangnya bidang ini sehingga bermunculanlah ahli-ahli sastra Arab yang diilhami oleh kemajuan kesusastraan di dunia Islam bagian Timur. Tokoh penyair istana adalah Abu al-Makhsyi, sedangkan tokoh sastrawan lainnya, di antaranya Abu Umar Ahmad Bin Muhammad bin Abd Rabih yang menulis karya sastra al-Iqd al-Farid.
Abdurrahman II dan puteranya al-Hakam II, mendirikan sebuah perpustakaan besar di Kordoba yang menjadi kebanggaan Andalusia dan perpustakaan paling terkenal di dunia Islam. Al-Hakam II mencari dan membeli buku-buku yang menarik dan sulit diperoleh. Ia sendiri menulis surat kepada penulis kenamaan untuk memperoleh naskah dari karya-karya penulis tersebut dan membayarnya dengan harga tinggi. Sehingga perpustakaan ini berisikan 400.000 jilid buku lebih dan 40 jilid katalog berisi 50 lembar yang dalam setiap jilid dialokasikan khusus untuk puisi sebanyak 20 halaman.
Bidang ilmu ke-Islaman yang berkembang saat itu adalah fikih, hadis, tafsir, ilmu kalam, sejarah, tata bahasa Arab dan filsafat. Hal terpenting dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini adalah perhatian penuh pemerintah terhadap pendidikan. Secara umum, pendidikan dibagi ke dalam tiga kelas: rendah, menengah, dan tinggi. Pendidikan rendah dilaksanakan di mesjid-mesjid. Pada tingkat ini diajarkan cara baca tulis, membaca al-Qur’an dan tata bahasa Arab. Pada tingkat menengah dilakukan secara perorangan tergantung kemampuan pelajar. Karena itu, pada umumnya, materi pelajaran yang dipelajari pada tingkat ini adalah fikih, tata bahasa Arab, matematika, sejarah, dan hadis. Pendidikan tingkat tinggi mulai diadakan zaman al-Hakam II. Institusi ini berpusat di Kordoba dan dipegang serta dikendalikan secara informal oleh sekelompok profesor. Perguruan tinggi ini menjadi model bagi perguruan tinggi di Oxpord dan Cambridge. Oleh karena itu, selama setengah abad (969-1027 M), Kordoba menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia selain Baghdad.
Manajemen pendidikan yang berkualitas ini telah menghasilkan banyak sarjana muslim yang jenius. Empat orang cendekiawan sangat menonjol pada kurun ini. Mereka adalah Abu Bakar al-Râzî, seorang spesialis farmakologi, filofof Abu Nasr al-Farabî, filosof Ibnu Sina, dan al-Ghazzali yang dianggap sebagi puncak pemkiran intelektual Arab.
Sejumlah pelajar Andalusia mengadakan rihlah ilmiyyah ke Dunia Timur dengan tujuan mempelajari budaya Timur dan memperkenalkannya kepada penduduk Andalusia supaya ditiru. Diantaranya Yahya Bin Yahya al-Laitsî yang berguru kepada Imam Malik di Madinah dan Yahya Bin al-Hakam al-Ghazzâl, seorang penyair ulung alumnus Baghdad.
Di samping mengirim sejumlah pelajarnya ke Dunia Timur, Dinasti Umayyah II meminta para cendikiawan Dunia Timur agar berkenan datang ke Andalusia untuk mengajarkan ilmunya di sana, diantaranya Abu ‘Alî al-Qâlî, pengarang Kitab al-Amâlî, dan Abû al-‘Alâ Shâ‘id Bin al-Hasan al-Baghdâdî. Di samping itu, banyak pelajar dari Barat yang belajar ke Andalusia karena merupakan bagian dari Benua Eropa.
Dalam bidang arsitektur, pada tahun 786 H, Abdurrahman al-Dakhil merintis membangun kota Kordoba lengkap dengan istana, taman, dan mesjid. Kemudian mesjid Kordoba diperbesar oleh Abdurrahman II dan Hakam II sehingga menjadi sangat indah. Perluasan mesjid Kordoba pada masa Al-Hakam II telah menghabiskan biaya sebesar 261.537 dinar dan 1 ½ dirham. Selain itu, pada saat kota-kota di Eropa masih tenggelam dengan jalan-jalan yang becek dan gelap, jalanan kota Kordoba penuh dengan lampu-lampu yang menerangi di saat malam dan menambah kesempurnaan keindahan kota. Pada masa Abdurrahman III, dibangun pula sebuah istana hasil perpaduan arsitektur Byzantium dan Islam yang dilengkapi dengan air mancur dan patung manusia yang indah. Istana ini diberi nama al-Zahra, isteri Abdurrahman III tercinta, yang runtuh pada tahun 1013 karena serangan kaum Barbar. Tempat istana ini diberi nama oleh Abdurrahman III sebagai “Madînat al-Zahrâ”. Selain itu, 12 buah patung singa di istana Lions di al-Hambra sebagai bentuk kerja sama yang solid antara penguasa Muslim dan Kristen.
D. LATAR BELAKANG SOSIAL
Penduduk Andalusia terdiri dari banyak ragam suku bangsa. Selain penduduk asli dari bangsa Spanyol, mereka juga terdiri dari bangsa Arab yang memasuki Andalusia, baik dengan cara perang maupun imigrasi setelah Andalusia dikuasai penuh oleh mereka, bangsa Barbar yang berasal dari Afrika bagian Utara, Slavia, Yahudi, dan bangsa-bangsa lainnya.
Jika kita mendefinisikan suatu masyarakat yang beradab sebagai masyarakat yang mendorong toleransi beragama dan etnis, bebas berdiskusi, dan kemajuan-kemajuan dalam banyak bidang, maka umat Islam Spanyol adalah suatu contoh yang baik.
Mereka hidup rukun walupun berbeda agama. Pemerintahan Islam saat itu, sangat memperhatikan toleransi beragama dan menjaga persatuan rakyatnya dengan cara menyamaratakan antara pemeluk agama, baik umat Islam, Yahudi, maupun Kristiani. Para pemeluk Yahudi dan Kristen dibebani jizyah namun disesuaikan dengan kadar kemampuan finansial mereka. Nominal jizyah mulai dari 12 dirham sampai 48 dirham. 12 Dirham diperuntukkan bagi mereka yang hidup pas-pasan. Agar tidak memberatkan, pemerintah menyuruh mereka yang kurang mampu, membayar jizyah secara berkala, yaitu satu dirham pertahun. Adapun pajak bumi disesuaikan dengan kesuburan tanahnya. Yahudi, Kristiani, dan Muslimin disamaratakan. Di samping itu, pemerintah tidak mengganggu tanah penduduk asli Andalusia. Mereka dibiarkan mengolahnya sendiri-sendiri.
Bercampur-baurnya ras dan agama di Andalusia menghasilkan suatu budaya yang kaya dan dinamis. Perkawinan lintas agama antara Yahudi, Kristen, dan Muslim menghasilkan banyak penguasa muslim berambut pirang dan bermata biru. Ada aliansi-aliansi antara penguasa Muslim dan Kristen karena satu sama lain saling membutuhkan.
Antara tahun 1604-1614, kira-kira setengah juta orang Islam di semenanjung Iberia Peninsula, salah satu kawasan Granada, bermigrasi ke Maghrib, Afrika Utara. Ini merupakan perpindahan terakhir setelah sebelumnya mereka menyembunyikan keyakinannya (Taqiyyah) terhadap kerajaan Kristen yang memaksa mereka untuk memilih dua pilihan pahit: beralih ke agama Kristen atau melakukan migrasi. Daerah Sale di Maroko adalah tempat mereka tinggal setelah terusir dari kampung halamannya di Andalusia. Keturunan mereka masih menyimpan kunci rumah mereka sebagai kenangan pengusiran tersebut. Peristiwa ini menimbulkan sindrom Andalusia yang hingga kini masih menghantui orang muslim.
E. LATAR BELAKANG EKONOMI
Negara pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah II menggantungkan sebagian besar pendapatannya dari bea ekspor dan impor. Seville, salah satu pelabuhan terbesar, mengekspor kapas, zaitun dan minyak. Di samping itu, mengimpor kain dan budak dari Mesir serta para biduanita dari Eropa dan Asia. Barang-barang yang diekspor dari Malaga meliputi kunyit, daun ara, marmer, dan gula.
Negeri Andalusia menjadi salah satu daratan di Eropa yang paling makmur dan paling padat penduduknya. Ibukota dipadati oleh sekitar 13.000 tukang tenun dan sebuah industri kulit. Dari Andalusia, kerajinan seni hias timbul dengan media kulit di bawa ke Maroko. Kemudian dibawa ke Perancis dan Inggris.
Wol dan sutera tidak hanya ditenun di Kordoba, tetapi juga di Malaga, Almeria, dan pusat-pusat kerajinan lainnya. Kerajinan tembikar, yang awalnya dikuasai Cina diperkenalkan oleh kaum muslimin ke daratan Spanyol. Almeria juga memproduksi barang pecah belah dan kuningan. Paterna di Valencia terkenal sebagai produsen tembikar. Jane dan Algave terkenal sebagai produsen emas dan perak, Kordoba sebagai produsen besi dan timah, dan Malaga sebagai produsen batu merah delima.
Selain dunia industri, kemajuan dalam bidang pertanian merupakan salah satu sisi keagungan umat Islam Andalusia dan menjadi hadiah abadi yang diberikan orang Arab karena sampai sekarang taman-taman yang ada di Spanyol melestarikan jejak Orang Moor.
Dalam kaitannya dengan alat bertransaksi jual-beli, pemerintah mendirikan lembaga pembuat mata uang. Model koin logamnya meniru motif-motif Timur, dengan Dinar sebagai satuan emas, dan Dirham sebagai satuan perak.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dinasti Umayyah II yang diproklamirkan oleh Abdurrahman al-Dakhîl di Andalusia merupakan salah satu dari dua Dinasti Islam selain Dinasti Abbasiyyah di Baghdad, yang membuat peradaban Islam mencapai puncaknya.
Namun, sebelum diproklamirkan, terjadi pengusiran penguasa yang kalah perang dan tinggal di tempat yang dianggap strategis untuk kembali merebut daerah kekuasaannya. Maka terjadilah pengkhianatan sebagian pembesar kerajaan dari keturunan penguasa Andalusia sebelumnya.
Selain itu, timbul keinginan orang Kristiani untuk kembali menguasai Andalusia yang telah direbut oleh kaum muslimin dari tangan mereka ketika ditaklukkan oleh Thariq Bin Ziyad sehingga sering terjadi peperangan antar mereka.
Dinasti Abbasiyyah yang merasa tersaingi dan ingin menaklukkan Dinasti Umayyah II di Andalusia, terdorong melakukan ekspansi ke sana. Oleh karena itu, mereka mengirim 7000 tentara yang dipimpin oleh al-‘Allâ Bin Bin Mughîts.
Meskipun dalam dunia politik terjadi kekacauan luar biasa karena banyaknya gangguan dari luar, Dinasti Umayyah mengalami kemajuan pesat dalam bidang kebudayaan. Keadaan sosial masyarakat yang beraneka ragam suku,--meskipun sering terjadi perselisihan akibat persaingan dan fanatisme suku, menjadi penyebab kemajuan kebudayaan Islam karena satu sama lain ingin mengungguli.
B. SARAN
Pemaparan penulis tentang latar belakang budaya, politik, ekonomi, dan sosial masyarakat Andalusia pada masa Dinasti Umayyah II ini, berupa kutipan-kutipan dari beberapa referensi yang dapat dipertanggungjawabkan dengan perubahan seperlunya. Oleh karena itu, jika ditemukan kejanggalan di dalamnya, penulis mengharapkan kritik pembaca demi peningkatan kualitas makalah dan kredibilitas penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Akbar S., Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi. Penerjemah: Nunding Ram dan Ramli Yakub. Jakarta: Erlangga, T.t.
Ahmed, Akbar S. Rekonstruksi Sejarah Islam di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban. Penerjemah: Amru Nst. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Armstrong, Karen. Sepintas Sejarah Islam. Penerjemah: Ira Puspito Rini. Surabaya: Ikon Teralitera, 2004.
Hamur, Ahmad Ibrahim. Al-Hadhârah al-Islâmiyyah. T.tp: T.pn, 2002.
Himayah, Mahmud Ali. Ibnu Hazm: Biografi, Karya, dan Kajiannya Tentang Agama-agama. Jakarta: Lentera Basritama, 2001.
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Penerjemah: Cecep Lukman Ysin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Khalîfah, Muhammad Muhammad dan Zaki Ali Suwailim. Al-Adab al-‘Arabî wa Târikhuh. Kairo: al-Ma‘âhid al-Azhariyyah, 1977.
Lubis, Nabilah. al-Mu‘ayyan fi al-Adab al-‘Araby wa Târikhu. Ciputat: Fakultas Adab dan Humaniora, 2005.
Syalbî, Ahmad. Mausû‘ah al-Târikh al-Islâmî wa al-Hadhârah al-Islâmiyyah. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1979.
Sunanto, Musrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Urvoy, Dominique. Perjalan Intelektual Ibnu Rusyd. Penerjemah: Achmad Syahid . Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
Utsman, Ahmadi dan Cahya Buana. al-Adab al-‘Arabî fî al-‘Ashr al-‘Abbâsî wa al-Andalûsî wa ‘Ashr al-Inhithâth. Ciputat: Fakultas Adab dan Humaniora, 2010.
PENDAHULUAN
Dalam Sejarah Islam, dua dinasti besar berhasil membawa Islam ke puncak kejayaannya. Dinasti Abbasiyyah di Baghdad dan Dinasti Umayyah II di Andalusia (sekarang Spanyol) adalah dua dinasti Islam yang saling berlomba meraih kejayaan Islam. Persaingan keduanya menjadikan Islam mencapai masa puncak keemasaannya dalam berbagai bidang, meliputi bidang kebudayaan, sosial, politik, militer, dan ekonomi.
Sastra (al-Adab) merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mencapai masa keemasannya pada masa itu. Sastra adalah salah satu unsur kebudayaan yang paling terkenal dalam Renaisans Andalusia yang diprakarsai oleh Abdurrahman al-Dakhil sehingga mirip dengan tradisi istana Troubadour Perancis (penyair dan penyanyi keliling pada abad ke-11 sampai abad ke-13).
Kebangkitan sastra pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah terkait dengan kemajuan budaya, keadaan politik, ekonomi, dan sosial masyarakat Andalusia. Oleh karena itu, makalah ini akan memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi sastra pada masa Dinasti Umayyah II yang meliputi latar belakang budaya, politik, ekonomi, dan sosial masyarakat Andalusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. AWAL MASUK ISLAM KE ANDALUSIA
Sejarah dinasti-dinasti Islam di Andalusia merupakan sejarah Islam terpanjang jika dibandingkan dengan dinasti-dinasti Islam lainnya.
Wilayah Andalusia yang sekarang disebut Spanyol, terletak di ujung selatan Benua Eropa, masuk ke dalam kekuasaan Dinasti Abbasiyyah semenjak Thariq Bin Ziyad, bawahan Musa Bin Nushair Gubernur Qairuwan, mengalahkan pasukan Gothia tahun 92 H/711 M. Thariq membawa serta 7000 pasukannya melewati lautan luas dengan menumpangi perahu-perahu besar kiriman Ratu Yulian, salah satu penguasa pesisir Maghrib, yang ingin menghukum puterinya yang berpihak kepada Raja Roderick. Kemenangan ini menjadi awal bagi Thariq untuk menaklukkan kota-kota lain di Semenanjung LIberia Peninsula (Andalusia) tanpa banyak kesulitan. Mereka semua di bawah perintah Khalifah al-Walid Bin Abd al-Malik, penguasa Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus.
Saat itu, Andalusia di bawah kekuasaan Raja Roderick yang zalim. Ia memaksa Yahudi agar membantunya dalam ekspansi-ekspansi. Akan tetapi, Yahudi berbalik arah membantu pasukan muslimin dalam penaklukan kekuasaan Roderick di Andalusia.
Secara terperinci, faktor-faktor keberhasilan pasukan muslimin dalam penaklukan Andalusia adalah sebagai berikut:
1. Penduduk Spanyol merasa terzalimi dengan sikap kekuasaan Romawi di sana yang tidak adil, tidak toleran, dan terkesan kasar.
2. Mayoritas penduduk Spanyol beragama watsanîyyah (penyembah berhala). Mereka tidak kerasan dengan agama Kristen yang merupakan agama baru di sana. Mereka hanya menginginkan ketenangan saat melakukan ritual keagamaannya yang saat itu terjadi pemaksaan agama.
3. Para budak kaum Kristiani merasa lebih senang berada di bawah kekuasaan Islam yang memberikan mereka kesempatan untuk bebas. Mereka merasa terkekang bahkan tidak merasakan lagi sekujur tubuhnya karena beratnya beban yang dipikul saat berada di tangan tuan yang Kristen.
B. LATAR BELAKANG POLITIK
Penguasaan umat Islam terhadap Andalusia dapat dibagi menjadi beberapa periode:
1. Periode Pertama
Periode antara tahun 711-755 M, Andalusia diperintah oleh para wali yang diangkat oleh khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Dalam periode ini, Andalusia secara politis belum stabil, masih terjadi perebutan kekuasaan antar elit penguasa dan masih adanya ancaman musuh Islam dari penguasa setempat.
2. Periode ke dua
Perioe antara tahun 755-1013 M pada waktu Andalusia dikuasai oleh Daulah Umawiyyah II. Periode ini dibagi dua:
a. Masa keamiran tahun 755-912 M. Masa ini dimulai ketika Abd Rahman al-Dakhîl berhasil memasuki Andalusia dan menaklukkan penguasanya, yaitu Yusuf al-Fihr.
b. Masa kekhalifahan tahun 1912-1013 M, ketika Abd Rahman III, amir ke-8 Bani Umayyah II, menggelari diri dengan al-Nâshir li Dînillah (912-961 M). Kedudukannya dilanjutkan oleh Hakam II (961-976 M), kemudian oleh Hisyam (976-1007 M).
3. Periode ke Tiga
Periode antara tahun 1031-1492 M,ketika umat Islam Andalusia terpecah dan menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Periode ini dibagi menjdai tiga masa:
a. Masa kerajaan-kerajaan kecil yang sifatnya lokal tahun 1031-1086 M, jumlahnya sekitar 20 buah. Masa ini disebut Muluk al-Thawaif. Mereka mendirikan kerajaan berdasarkan etnis Barbar, Slovia, atau Andalusia yang bertikai satu sama lain sehingga menimbulkan keberanian umat Kristen di Utara untuk menyerang. Ada dua faktor utama yang mengawali penyerbuan Kristen terhadap Islam Spanyol. Pertama, timbulnya perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam ditandai oleh lahirnya imarat-imarat kecil. Kedua, bersatunya umat Kristen di utara Spanyol, terutama di daerah Perancis. Namun dalam bidang peradaban mengalami kemajuan karena masing-masing ibu kota kerajaan lokal ingin menyaingi kemajuan Cordova. Muncullah kota-kota besar Toledo, Sevilla, Malaga, dan Granada.
b. Masa antara tahun 1086-1235 M, ketika umat Islam Andalusia di bawah kekuasaan bangsa Barbar dari Afrika Utara. Mula-mula bangsa Barbar dipimpin oleh Yusuf bin Tasyfin mendirikan Daulah Murabbithun, kemudian datang ke Andalusia untuk menolong umat Islam Andalusia mengusir umat Kristen yang menyerang Sevilla pada tahun 1086. Beliau kemudian menggabungkan Mulûk al-Thawâif ke dalam dinasti yang dipimpinnya sampai tahun 1143 M. Ketika dinasti ini melemah digantikan oleh Dinasti Barbar lain, al-Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti ini datang ke Andalusia dipimpin oleh Abdul Mu‘min. Pada masa puteranya, Abu Ya‘qub Yusuf bin Abd al-mu‘min (1163-1184) Andalus mengalami masa kejayaan. Namun sepeninggal sultan ini, al-Muwahhidun mengalami kelemahan. Paus Innocent III menghasut raja-raja kristen untuk mengadakan penaklukan kembali. Andalusia mengalmi perpecahan kembali di bawah raja-raja lokal, sedangkan umat kristen semakin kuat dan meyerang sehingga Kordoba pun jatuh pada tahun 1236 M. Umat Islam Andalusia jatuh di tangan Kristen kecuali Granada yang dikuasai oleh Bani Ahmar sejak tahun 1232 M.
c. Masa antara tahun 1232-1492 ketika umat Islam Andalusia bertahan di wilayah Granada di bawah kekuasaan Bani Ahmar. Pendiri dinasti ini adalah Sultan Muhammad bin Yusuf bergelar al-Nashr, oleh karena itu kerajaan ini disebut juga Nashriyyah. Kerajaan ini merupakan kerjaan terakhir umat Islam Andalusia yang berkuasa di wilayah Almeria dan Gibraltar, pesisir Tenggara Andalusia. Dinasti ini dapat bertahan karena dilingkupi oleh bukit sebagai pertahanan dan mempunyai hubungan yang dekat dengan negeri Islam Afrika Utara yang waktu itu di bawah kerajaan Marin. Ditambah lagi Granada merupakan tempat berkumpulnya pelarian tentara dan umat Islam dari wilayah selain Andalusia ketika wilayah itu dikuasai oleh Kristen. Namun, pada tanggal 2 Januari 1492, raja terakhir, Abu Abdillah menyerah kepada Raja Ferdinand dengan perjanjian sebagai berikut:
1) Raja Ferdinand akan melindungi umat Islam, baik jiwanya, harta benda, maupun agamanya.
2) Raja Ferdinand membiarkan mesjid-mesjid dan harta wakaf dalam keadaan seperti biasa.
Jabatan penting kekhalifahan diwariskan secara turun temurun, kendati para perwira dan bangsawan sering memilih orang yang mereka sukai. Jabatan seorang hâjib (pengurus rumah tangga) berada di atas kedudukan para wazîr (menteri). Ia menjadi perantara komunikasi antara wazîr dengan khalifah. Setiap wazîr disertai kâtib (sekretaris). Provinsi-provinsi diperintah oleh seorang gubernur sipil dan militer yang disebut wâlî. Beberapa kota penting juga diperintahkan oleh wâlî. Peradilan dijalankan langsung oleh khalifah, kemudian mewakilkan wewenangnya kepada para qâdhî yang dipimpin oleh qâdhî al-qudhât yang berkedudukan di Kordoba. Kasus-kasus kriminal domestik diadili oleh seorang hakim khusus, shâhib al-Syurthah. Sedangkan pengaduan warga atas ketidak puasannya terhadap pelayanan pemerintah diselesaikan oleh hakim khusus, shâhib al-Mazhâlim. Hukuman yang biasanya dikenakan kepada para tersangka adalah denda, skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh, dan hukuman mati.
Jabatan penting lainnya yang bertugas mengarahkan kepolisian, mengawasi perdagangan dan pasar, dan ikut serta mengurus masalah amoral dan kriminal adalah muhtasib.
Situasi politik pemerintahan tergantung penguasa yang menduduki singgasana kekhalifahan. Khallifah yang memiliki kecakapan dalam mengelola pemerintahannya, seperti Khalifah al-Manshur mampu mengatasi permusuhan dan mengendalikan pemerintahan sehingga seluruh daerah Andalusia menjadi aman, sepanjang hidupnya tidak terjadi gejolak karena kebesaran posisi dan kekuatan politiknya. Berbeda dengan Khlaifah Hisyam sebagai pengganti Khalifah al-Hakam al-Mustanshir. Ia sosok yang tidak cerdas, kurang cekatan, dan lemah pendirian.
C. LATAR BELAKANG BUDAYA
Masa Abbasiyah dan Umayyah di Andalusia adalah masa puncak kejayaan peradaban Islam. Di masa inilah berkembang dan memuncak ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Sejarah mencatat masa ini disebut The Golden Age of Islam yang memberikan pengaruh terhadap tercapainya kemajuan dan peradaban modern di Barat sekarang. Pada masa ini, London dan Paris adalah kota kecil. Tidak ada seni, kesusastraan, atau diskusi yang menonjol di semua tempat Eropa.
Penduduk Andalusia sangat menyukai budaya dan pemikiran sehingga kedudukan para cendikiawan di mata mereka tinggi sekali. Oleh karena itu, banyak karya yang dihasilkan oleh para ilmuwan dalam berbagai bidang.
Di samping itu, mereka juga gemar mengoleksi buku sehingga muncul statement di kalangan mereka bahwa semua rumah di Andalusia pasti terdapat perpustakaan di dalamnya meskipun rumah orang awam.
Dinasti ini sangat terkenal dalam mengembangkan sejarah bidang kesusastraan dan ilmu pengetahuan di Kordoba dan Granada. Kesusastraan, perpustakaan, dan tempat pemandian di Andalusia merupakan simbol keagungan peradaban muslim. Dalam bidang kesusastraan, Abdurrahman sebagai seorang yang mencintai syair Arab, sangat mendorong berkembangnya bidang ini sehingga bermunculanlah ahli-ahli sastra Arab yang diilhami oleh kemajuan kesusastraan di dunia Islam bagian Timur. Tokoh penyair istana adalah Abu al-Makhsyi, sedangkan tokoh sastrawan lainnya, di antaranya Abu Umar Ahmad Bin Muhammad bin Abd Rabih yang menulis karya sastra al-Iqd al-Farid.
Abdurrahman II dan puteranya al-Hakam II, mendirikan sebuah perpustakaan besar di Kordoba yang menjadi kebanggaan Andalusia dan perpustakaan paling terkenal di dunia Islam. Al-Hakam II mencari dan membeli buku-buku yang menarik dan sulit diperoleh. Ia sendiri menulis surat kepada penulis kenamaan untuk memperoleh naskah dari karya-karya penulis tersebut dan membayarnya dengan harga tinggi. Sehingga perpustakaan ini berisikan 400.000 jilid buku lebih dan 40 jilid katalog berisi 50 lembar yang dalam setiap jilid dialokasikan khusus untuk puisi sebanyak 20 halaman.
Bidang ilmu ke-Islaman yang berkembang saat itu adalah fikih, hadis, tafsir, ilmu kalam, sejarah, tata bahasa Arab dan filsafat. Hal terpenting dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini adalah perhatian penuh pemerintah terhadap pendidikan. Secara umum, pendidikan dibagi ke dalam tiga kelas: rendah, menengah, dan tinggi. Pendidikan rendah dilaksanakan di mesjid-mesjid. Pada tingkat ini diajarkan cara baca tulis, membaca al-Qur’an dan tata bahasa Arab. Pada tingkat menengah dilakukan secara perorangan tergantung kemampuan pelajar. Karena itu, pada umumnya, materi pelajaran yang dipelajari pada tingkat ini adalah fikih, tata bahasa Arab, matematika, sejarah, dan hadis. Pendidikan tingkat tinggi mulai diadakan zaman al-Hakam II. Institusi ini berpusat di Kordoba dan dipegang serta dikendalikan secara informal oleh sekelompok profesor. Perguruan tinggi ini menjadi model bagi perguruan tinggi di Oxpord dan Cambridge. Oleh karena itu, selama setengah abad (969-1027 M), Kordoba menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia selain Baghdad.
Manajemen pendidikan yang berkualitas ini telah menghasilkan banyak sarjana muslim yang jenius. Empat orang cendekiawan sangat menonjol pada kurun ini. Mereka adalah Abu Bakar al-Râzî, seorang spesialis farmakologi, filofof Abu Nasr al-Farabî, filosof Ibnu Sina, dan al-Ghazzali yang dianggap sebagi puncak pemkiran intelektual Arab.
Sejumlah pelajar Andalusia mengadakan rihlah ilmiyyah ke Dunia Timur dengan tujuan mempelajari budaya Timur dan memperkenalkannya kepada penduduk Andalusia supaya ditiru. Diantaranya Yahya Bin Yahya al-Laitsî yang berguru kepada Imam Malik di Madinah dan Yahya Bin al-Hakam al-Ghazzâl, seorang penyair ulung alumnus Baghdad.
Di samping mengirim sejumlah pelajarnya ke Dunia Timur, Dinasti Umayyah II meminta para cendikiawan Dunia Timur agar berkenan datang ke Andalusia untuk mengajarkan ilmunya di sana, diantaranya Abu ‘Alî al-Qâlî, pengarang Kitab al-Amâlî, dan Abû al-‘Alâ Shâ‘id Bin al-Hasan al-Baghdâdî. Di samping itu, banyak pelajar dari Barat yang belajar ke Andalusia karena merupakan bagian dari Benua Eropa.
Dalam bidang arsitektur, pada tahun 786 H, Abdurrahman al-Dakhil merintis membangun kota Kordoba lengkap dengan istana, taman, dan mesjid. Kemudian mesjid Kordoba diperbesar oleh Abdurrahman II dan Hakam II sehingga menjadi sangat indah. Perluasan mesjid Kordoba pada masa Al-Hakam II telah menghabiskan biaya sebesar 261.537 dinar dan 1 ½ dirham. Selain itu, pada saat kota-kota di Eropa masih tenggelam dengan jalan-jalan yang becek dan gelap, jalanan kota Kordoba penuh dengan lampu-lampu yang menerangi di saat malam dan menambah kesempurnaan keindahan kota. Pada masa Abdurrahman III, dibangun pula sebuah istana hasil perpaduan arsitektur Byzantium dan Islam yang dilengkapi dengan air mancur dan patung manusia yang indah. Istana ini diberi nama al-Zahra, isteri Abdurrahman III tercinta, yang runtuh pada tahun 1013 karena serangan kaum Barbar. Tempat istana ini diberi nama oleh Abdurrahman III sebagai “Madînat al-Zahrâ”. Selain itu, 12 buah patung singa di istana Lions di al-Hambra sebagai bentuk kerja sama yang solid antara penguasa Muslim dan Kristen.
D. LATAR BELAKANG SOSIAL
Penduduk Andalusia terdiri dari banyak ragam suku bangsa. Selain penduduk asli dari bangsa Spanyol, mereka juga terdiri dari bangsa Arab yang memasuki Andalusia, baik dengan cara perang maupun imigrasi setelah Andalusia dikuasai penuh oleh mereka, bangsa Barbar yang berasal dari Afrika bagian Utara, Slavia, Yahudi, dan bangsa-bangsa lainnya.
Jika kita mendefinisikan suatu masyarakat yang beradab sebagai masyarakat yang mendorong toleransi beragama dan etnis, bebas berdiskusi, dan kemajuan-kemajuan dalam banyak bidang, maka umat Islam Spanyol adalah suatu contoh yang baik.
Mereka hidup rukun walupun berbeda agama. Pemerintahan Islam saat itu, sangat memperhatikan toleransi beragama dan menjaga persatuan rakyatnya dengan cara menyamaratakan antara pemeluk agama, baik umat Islam, Yahudi, maupun Kristiani. Para pemeluk Yahudi dan Kristen dibebani jizyah namun disesuaikan dengan kadar kemampuan finansial mereka. Nominal jizyah mulai dari 12 dirham sampai 48 dirham. 12 Dirham diperuntukkan bagi mereka yang hidup pas-pasan. Agar tidak memberatkan, pemerintah menyuruh mereka yang kurang mampu, membayar jizyah secara berkala, yaitu satu dirham pertahun. Adapun pajak bumi disesuaikan dengan kesuburan tanahnya. Yahudi, Kristiani, dan Muslimin disamaratakan. Di samping itu, pemerintah tidak mengganggu tanah penduduk asli Andalusia. Mereka dibiarkan mengolahnya sendiri-sendiri.
Bercampur-baurnya ras dan agama di Andalusia menghasilkan suatu budaya yang kaya dan dinamis. Perkawinan lintas agama antara Yahudi, Kristen, dan Muslim menghasilkan banyak penguasa muslim berambut pirang dan bermata biru. Ada aliansi-aliansi antara penguasa Muslim dan Kristen karena satu sama lain saling membutuhkan.
Antara tahun 1604-1614, kira-kira setengah juta orang Islam di semenanjung Iberia Peninsula, salah satu kawasan Granada, bermigrasi ke Maghrib, Afrika Utara. Ini merupakan perpindahan terakhir setelah sebelumnya mereka menyembunyikan keyakinannya (Taqiyyah) terhadap kerajaan Kristen yang memaksa mereka untuk memilih dua pilihan pahit: beralih ke agama Kristen atau melakukan migrasi. Daerah Sale di Maroko adalah tempat mereka tinggal setelah terusir dari kampung halamannya di Andalusia. Keturunan mereka masih menyimpan kunci rumah mereka sebagai kenangan pengusiran tersebut. Peristiwa ini menimbulkan sindrom Andalusia yang hingga kini masih menghantui orang muslim.
E. LATAR BELAKANG EKONOMI
Negara pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah II menggantungkan sebagian besar pendapatannya dari bea ekspor dan impor. Seville, salah satu pelabuhan terbesar, mengekspor kapas, zaitun dan minyak. Di samping itu, mengimpor kain dan budak dari Mesir serta para biduanita dari Eropa dan Asia. Barang-barang yang diekspor dari Malaga meliputi kunyit, daun ara, marmer, dan gula.
Negeri Andalusia menjadi salah satu daratan di Eropa yang paling makmur dan paling padat penduduknya. Ibukota dipadati oleh sekitar 13.000 tukang tenun dan sebuah industri kulit. Dari Andalusia, kerajinan seni hias timbul dengan media kulit di bawa ke Maroko. Kemudian dibawa ke Perancis dan Inggris.
Wol dan sutera tidak hanya ditenun di Kordoba, tetapi juga di Malaga, Almeria, dan pusat-pusat kerajinan lainnya. Kerajinan tembikar, yang awalnya dikuasai Cina diperkenalkan oleh kaum muslimin ke daratan Spanyol. Almeria juga memproduksi barang pecah belah dan kuningan. Paterna di Valencia terkenal sebagai produsen tembikar. Jane dan Algave terkenal sebagai produsen emas dan perak, Kordoba sebagai produsen besi dan timah, dan Malaga sebagai produsen batu merah delima.
Selain dunia industri, kemajuan dalam bidang pertanian merupakan salah satu sisi keagungan umat Islam Andalusia dan menjadi hadiah abadi yang diberikan orang Arab karena sampai sekarang taman-taman yang ada di Spanyol melestarikan jejak Orang Moor.
Dalam kaitannya dengan alat bertransaksi jual-beli, pemerintah mendirikan lembaga pembuat mata uang. Model koin logamnya meniru motif-motif Timur, dengan Dinar sebagai satuan emas, dan Dirham sebagai satuan perak.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dinasti Umayyah II yang diproklamirkan oleh Abdurrahman al-Dakhîl di Andalusia merupakan salah satu dari dua Dinasti Islam selain Dinasti Abbasiyyah di Baghdad, yang membuat peradaban Islam mencapai puncaknya.
Namun, sebelum diproklamirkan, terjadi pengusiran penguasa yang kalah perang dan tinggal di tempat yang dianggap strategis untuk kembali merebut daerah kekuasaannya. Maka terjadilah pengkhianatan sebagian pembesar kerajaan dari keturunan penguasa Andalusia sebelumnya.
Selain itu, timbul keinginan orang Kristiani untuk kembali menguasai Andalusia yang telah direbut oleh kaum muslimin dari tangan mereka ketika ditaklukkan oleh Thariq Bin Ziyad sehingga sering terjadi peperangan antar mereka.
Dinasti Abbasiyyah yang merasa tersaingi dan ingin menaklukkan Dinasti Umayyah II di Andalusia, terdorong melakukan ekspansi ke sana. Oleh karena itu, mereka mengirim 7000 tentara yang dipimpin oleh al-‘Allâ Bin Bin Mughîts.
Meskipun dalam dunia politik terjadi kekacauan luar biasa karena banyaknya gangguan dari luar, Dinasti Umayyah mengalami kemajuan pesat dalam bidang kebudayaan. Keadaan sosial masyarakat yang beraneka ragam suku,--meskipun sering terjadi perselisihan akibat persaingan dan fanatisme suku, menjadi penyebab kemajuan kebudayaan Islam karena satu sama lain ingin mengungguli.
B. SARAN
Pemaparan penulis tentang latar belakang budaya, politik, ekonomi, dan sosial masyarakat Andalusia pada masa Dinasti Umayyah II ini, berupa kutipan-kutipan dari beberapa referensi yang dapat dipertanggungjawabkan dengan perubahan seperlunya. Oleh karena itu, jika ditemukan kejanggalan di dalamnya, penulis mengharapkan kritik pembaca demi peningkatan kualitas makalah dan kredibilitas penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Akbar S., Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi. Penerjemah: Nunding Ram dan Ramli Yakub. Jakarta: Erlangga, T.t.
Ahmed, Akbar S. Rekonstruksi Sejarah Islam di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban. Penerjemah: Amru Nst. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Armstrong, Karen. Sepintas Sejarah Islam. Penerjemah: Ira Puspito Rini. Surabaya: Ikon Teralitera, 2004.
Hamur, Ahmad Ibrahim. Al-Hadhârah al-Islâmiyyah. T.tp: T.pn, 2002.
Himayah, Mahmud Ali. Ibnu Hazm: Biografi, Karya, dan Kajiannya Tentang Agama-agama. Jakarta: Lentera Basritama, 2001.
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Penerjemah: Cecep Lukman Ysin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Khalîfah, Muhammad Muhammad dan Zaki Ali Suwailim. Al-Adab al-‘Arabî wa Târikhuh. Kairo: al-Ma‘âhid al-Azhariyyah, 1977.
Lubis, Nabilah. al-Mu‘ayyan fi al-Adab al-‘Araby wa Târikhu. Ciputat: Fakultas Adab dan Humaniora, 2005.
Syalbî, Ahmad. Mausû‘ah al-Târikh al-Islâmî wa al-Hadhârah al-Islâmiyyah. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1979.
Sunanto, Musrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Urvoy, Dominique. Perjalan Intelektual Ibnu Rusyd. Penerjemah: Achmad Syahid . Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
Utsman, Ahmadi dan Cahya Buana. al-Adab al-‘Arabî fî al-‘Ashr al-‘Abbâsî wa al-Andalûsî wa ‘Ashr al-Inhithâth. Ciputat: Fakultas Adab dan Humaniora, 2010.
No comments:
Post a Comment