Pages

Monday, November 14, 2011

Stilistika Al-Qura’n; Dirasah Fi Uslub Al-Qur’an

Uslub berasal dari kata salaba – yaslubu – salban yang berarti merampas, merampok dan mengupas. Kemudian terbentuk kata uslub yang berarti jalan,[1]jalan di antara pepohonan dan cara mutakallim dalam berbicara (menggunakan kalimat).[2] Jika dikatakan salaktu usluba fulanin fi kaza, maka artinya adalah aku mengikuti jalan dan mazhab fulan. Juga jika dikatakan akhazna fi asaliba minal-qaul,maka artinya aku mengambil seni-seni ucapan yang bermacam-macam.[3]
Sedangkan uslub menurut istilah adalah cara berbicara yang diambil mutakallim dalam menyusun kalimatnya dan memilih lafaz-lafaznya.[4] Dengan demikian, uslub merupakan cara yang dipilih mutakallim atau penulis di dalam menyusun lafaz-lafaz untuk mengungkapkan suatu tujuan dan makna kalamnya. Dan uslub terdiri dari tiga hal, yaitu cara, lafaz dan makna. Sedangkan dalam aspek keilmunya tentang studi ilmu uslub/gaya bahasa disebut uslubiyyah atau kita sering menyebutnya dengan istilah stilistika.

Istilah stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris. Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa.
 Dalam Tifa Penyair dan Daerahnya, Jassin merumuskan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya (1978:127). Dalam Mitos dan Komunikasi, “Strategi untuk Suatu Penyelidikan Stilistika,” Yunus merumuskan stilistika dibatasi kepada penggunaan bahasa dalam karya sastra.
Sedangkan dalam Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman ( 1993:3) berpengertian bahwa stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi lingusitik. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khaspenggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana non sastra, meneliti derivasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literatur, singkatnya stilistika meneliti sastra fungsi fuitik suatu bahasa.
Uslub dalam bahasa Indonesia disebut gaya bahasa, yaitu pemanfaatan  atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, baik itu kaitannya dengan tulisan sastra maupun tulisan kebahasan (linguistik). Demikian pula dapat didefinisikan sebagai cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam  bentuk tulis atau lisan.[5]
Dengan demikian uslub al-Qur’an (stilistika al-Quran) adalah metodenya yang eksellen dalam menyusun kalimat-kalimatnya dan pemilihan lafaz-lafaznya. Maka tidak aneh jika uslub al-Qur’an berbeda dengan uslub  kitab-kitab samawiyah lainnya. Sebagaimana juga uslub yang dipakai manusia berbeda satu sama lain sebanyak kuantitas jumlah mereka, bahkan uslub yang dipakai seorang akan berbeda  sesuai dengan tema dan dan konteksnya.
Namun demikian, uslub al-Qur’an bukanlah mufradat (kosa kata) dan susunan kalimat, akan tetapi metode yang dipakai al-Qur’an  dalam memilih mufradat dan gaya kalimatnya.[6] Oleh karena itu, uslub al-Qur’an berbeda dengan hadis, syi'ir, kalam dan buku-buku yang ada, meskipun bahasa yang digunakan sama dan mufradat (kosa kata) yang dipakai membentuk kalimatnya juga sama.
Untuk dapat mengetahui posisi uslub al-Qur’an, maka harus diketahui klasifikasi uslub yang berlaku di kalangan bangsa Arab. Secara global, uslub dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
  1. Uslub khitaby (gaya bahasa retorika)
Retorika merupakan salah satu seni yang berlaku pada bangsa Arab yang mempunyai karakteristik dengan kandungan makna yang kuat, memakai lafaz} yang serasi, argumentasi yang relevan dan kekuatan IQ oratornya. Biasanya seorang orator berbicara mengenai tema yang relevan dengan realitas kehidupan untuk membawa audiens mengikuti pemikirannya. Uslub yang indah, jelas, lugas merupakan unsur yang dominan dalam retorika untuk mempengaruhi aspek psikis audiens.[7]

2.  Uslub ‘Ilmy (gaya bahasa ilmiah)

Uslub ‘ilmy harus jauh dari aspek subyektif dan emotif penuturnya, karena eksperimen ilmiah itu obyektif dan tidak ada hubungannya dengan aspek psikis, emotif dan kondisi  orang yang melakukannya.[8] Uslub ‘ilmiah membutuhkan logika yang baik, pemikiran yang lurus serta jauh dari imajinasi dan emosi, karena sasarannya adalah pikiran dan menjelaskan fakta-fakta ilmiah.

Karakteristik uslub ‘ilmiah adalah jelas dan lugas. Namun juga harus menampakkan efek keindahan dan kekuatan penjelasan, argumentasi yang kuat, redaksi yang mudah, rasa yang brilian dalam memilih kosa kata dan informasi yang dapat dipahami dengan mudah.[9] Oleh karena itu, uslub ‘ilmiah harus tematik dan terhindar dari majaz, kinayah dan permainan kata-kata lainnya.
3. Uslub Adaby (Gaya bahasa Sastra)
Uslub adaby sangat subyektif, karena ia merupakan ungkapan  jiwa pengarangnya, pemikirannya dan emosinya. Oleh karena itu, uslub adaby sangat spesifik.[10]
Sasaran uslub adaby adalah aspek emosi bukan logika, karena uslub ini digunakan untuk memberi efek perasaan pembaca. Oleh karena itu, temanya mempunyai relevansi yang erat dengan jiwa pengarang dan mengesampingkan teori ilmiah, argumentasi logis, terminologi ilmiah dan penomoran-penomoran.
 Tidak diragukan, bahwa al-Qur’an merupakan mu’jizat yang diberikan Allah SWT  kepada Nabi Muhammad SAW yang abadi. Bahkan ia merupakan mu’jizat yang abadi yang tidak musnah oleh masa yang silih berganti, karena ia mu’jizat ‘aqly, bukan hissy dan mu’jizat ‘aqly diperuntukkan bagi umat yang mempunyai kecerdasan dan pandangan yang mendalam. Menurut Manna’ al-Qaththan, segi-segi i’jaz al-Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu al-i’jaz al-lugawy, al-i’jaz al-‘ilmy dan al-i’jaz at-tasyri‘iy. Dan al-Qur’an mempunyai uslub yang eksellen untuk ketiga bentuk i’jaz itu.  Dengan demikian al-Qur’an memuat ketiga klasifikasi uslub di atas, bahkan al-Qur’an dapat menggunakan uslub interdisiplin, yakni memberi isyarat ilmiah dengan bahasa yang indah.
Sebagai contoh adalah firman Allah SWT:
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلاِسْلاَمِ وَمَنْ يُرِدْ اَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَاَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَآءِ.[11]

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” [12]

Al-Qurtuby menyatakan, bahwa maksud Allah melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam adalah Allah meluaskan hatinya dan memberinya kekuatan untuk memeluk agama Islam serta memberikan pahala kepadanya.[13] Arti harajan (sesak lagi sempit) dalam ayat di atas menurut ibn ‘Abbas adalah tempat pohon yang sangat rapat, maka seolah-olah hati orang kafir tidak dapat tersentuh oleh hikmah, sebagaimana hewan ternak yang tidak dapat sampai ke tempat yang rapat oleh pepohonan. [14] Sedangkan az-Zujaj berpendapat, bahwa haraj adalah adyaqu ad-dayyiq (kesempitan yang paling sempit).[15] Dan kesempitan itu dipersonifikasikan dengan orang yang mendaki ke langit (ka annama yas}aadu fis-sama’).
Pada masa turunnya ayat di atas, kemajuan ilmu pengetahuan untuk menjelajah ke ruang angkasa belum dikenal. Maka tasybih dalam ayat di atas merupakan uslub tasybih yang dikaji keindahannya secara balagy. Namun al-Qur’an di samping indah bahasanya, juga sekaligus mengandung kebenaran ilmiah. ‘Abdul-H{amid Dayyab dan Ah}mad Qurquz menyatakan, bahwa ayat di atas mengandung i’jaz ilmy. Bahwa mendaki ke langit pada saat turunnya ayat  dianggap sesuatu yang khayal. Maka diartikan sebagai kalimat majazi. Namun ternyata sesuai dengan penemuan ilmu pengetahuan modern. Bahwa orang yang naik ke langit akan merasakan sesak nafas dan semakin ke atas semakin sesak hingga tidak dapat bernafas. Hal ini disebabkan dua hal, yaitu menipisnya kadar oksigen dan berkurangnya atmosfer yang menyelimuti bumi.[16]
Demikianlah, satu ayat memakai uslub yang indah untuk berorasi kepada manusia dan juga sekaligus mengandung isyarah ilmiah. Begitulah bahasa al-Qur’a>n yang berbeda dengan bahasa-bahasa yang ada. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
قُرْآنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِىْ عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ.[17]

“(Ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.”[18] 
Imam al-Qurtuby  menafsirkan  firman Allah SWT gairi zi ‘iwaj (tidak ada kebengkokan di dalamnya) dengan menyitir pendapat ad-Dahhak yang  menyatakan, bahwa maksud firman Allah itu adalah tidak kontradiktif.[19] Baik kontradiktif antar ayatnya, maupun kontradiktif dengan ilmu pengetahuan dan fakta. Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan kitab petunjuk bagi seluruh manusia  dan memberi mereka stimulan untuk berpikir, sebagaimana firman Allah SWT:  
اِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ.[20]
“Sesungguhnya Kami menjdaikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.”[21]
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang mempunyai nilai i’jaz (kemukjizatan) yang abadi dari berbagai aspeknya, baik tasyri‘iyy, lugawy maupun ‘ilmy.[22]  Dan i’jaz al-Qur’an sangat  jelas bagi semua orang hingga sekarang mengenai uslubnya, karena ia mampu mengemas ketiga aspek i’jaz (tasyri‘iyy, lugawy dan ‘ilmy) dalam waktu yang bersamaan, sehingga pada satu ayat dapat memberikan inspirasi yang berbeda bagi orang-orang yang berbeda kompetensinya, seperti pada QS al-Anam: 125 di atas. Bagi ahli sastra, maka ayat tersebut mengandung tasybih yang sangat indah, yaitu kondisi sesak yang semakin sesak yang dipersamakan dengan mendaki ke langit. Di samping itu, tekanan intonasinya memberikan nuansa rasa ritmis yang indah ketika dibaca. Bagi ahli teologi, ayat di atas memberi inspirasi, bahwa Allah-lah yang memberi petuntuk kepada hamba-Nya, maka jika seorang dikehendaki mendapat petunjuk, Dia memberikan kecenderungan kepadanya untuk dapat mudah menerima kebenaran Islam dan jika Dia menghendaki kesesatannya, maka Dia memberikan tabir di hatinya yang dapat menutupi petunjuk Islam. Dan bagi ilmuwan, ayat di atas sesuai dengan teori ilmiah modern, bahwa orang akan merasa sesak nafas dan akhirnya tidak lagi bisa bernafas ketika mendaki ke ketingian tertentu, karena menipisnya atmosfer dan oksigen dan kelangkaannya pada batas tertentu.
Jadi Uslub al-Qur’an adalah metode analisis dan pendekatan yang refrensif dalam menyusun kalimat-kalimatnya dan pemilihan lafaz-lafaznya. Uslub al-Qur’an  mempunyai karakteristik, yaitu:  sentuhan lafaz al-Qur’an melalui  keindahan intonasi al-Qur’an dan keindahan bahasa al-Qur’an, dapat diterima semua lapisan masyarakat, al-Qur’an menyentuh (diterima) akal dan perasaan, keserasian rangkaian kalimat al-Qur’an dan kekayaan seni redaksional.

Sebagian besar tulisan di ambil dari;
Mahmudi, Madh Dan Zamm  Dalam  Al-Qur’an, (Tinjauan terhadap Tujuan Madh dan Zamm dalam Al-Qur’an) Skrifsi di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta thn 2004






[1] Munawwir Abdul Fattah dan Adib Bisyri, Kamus al-Bisyri, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 335
[2] Muhammad ‘Abdul-‘Azim az-Zarqany, Mana>hilul-‘Irfan  fi ‘Ulumil-Qur’an  (Mesir: Dar al-Ihya’, t.t.), hlm. 198.
[3] Ibrahim Anis dkk., al-Mu’jam al-Wasit}, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), jilid I, hlm. 4
[4] Muhammad ‘Abdul-‘Azim az-Zarqany, Manahilul-‘Irfan…,hlm. 198.
[5]  Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 297.
[6] Ibid, hlm. 199.
[7] ‘Ali al-Jarim dan MustafaAmin, al-Balagah al-Wadihah, (Mesir: Da>r al-Maarif, t.t.), hlm. 12.
[8] Ibid., hlm 15.
[9] Ibid.
[10] ‘Ali al-Jarim dan Mustafa Amin, al-Balagah…, hlm. 152.
[11] QS al-Ana>m: 125.
[12] Mujamma Khadim al-Haramain asy-Syari>fain, al-Qur’an al-Karim wa Tarjamatu Maanihi ilal-Lugah al-Indunisiyah, (Madinah: tp.,tt.), hlm. 208.
[13] Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtuby, al-Jami’ li Ahkamil-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),  jilid  VII, hlm. 80.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hlm. 81.
[16] ‘Abdul Hamid Dayyab dan Ahmad Qurquz, Ma’at-Tibb fil-Qur’an al-Karim, (Damaskus: Mu’assasatu ‘Ulumil-Qur’an, 1982), hlm. 21.
[17] QS az-Zumar: 28.
[18] Mujamma Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm. 750.
[19] Abu‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtuby, al-Jami’… jilid XV, hlm. 251.
[20] QS az-Zukhruf : 3.
[21] Mujamma Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm. 794.
[22] Manna al-Qattan, Mabahis Fi ‘Ulumil-Qur’an, (Riyad} : Manysurah al-'Asr al-Hadis, 1972), hlm. 264.

No comments:

Post a Comment