Pages

Sunday, October 9, 2011

ANTARA FIQH AL- LUGHAH DAN ILMU AL- LUGHAH

  1. Definisi Bahasa
  • Bahasa adalah Bunyi yang digunakan oleh setiap bangsa atau masyarakat untuk mengemukakan ide.
  • Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer digunakan untuk saling bertukar pikiran dan perasaan antar anggota kelompok masyarakat dan bangsa.
  • Bahasa adalah sistem mental/dalam pikiran yang membentuk suatu ikatan atau aturan pada unsur-unsur bahasa, baik pada tataran fonologi, morfologi, maupun sintaksis.
  1. Hakikat Bahasa
  • Satu sistem lambing bunyi yang bersifat arbitrer ( Antara Labang yang berupa Bunyi tidak memiliki hubungan wajib dengan konsep yang dilambangkannya )
  • Bersifaf dinamis dan interaksi atau alat berkomunikasi di dalam masyarakat.1

  1. Asal-Usul Bahasa 
Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang kelahiran bahasa itu sendiri antara lain:
  • F.B. Condilac. ( Filosuf Prancis ) Bahasa berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerik badan yang bersifat naluri yang dibangkitkan oleh perasaan atau emosi yang kuat. Kemudian teriakan itu berubah menjadi bunyi-bunyi yang bermakna.
Menurutnya pula bahwa : Bahasa Berasal dari Tuhan. Tuhan telah melengkapi kehadiran pasangan adam dan hawa dengan kepandaian berbahasa.
  • Von  Herder; ( Filosuf German ) : Bahasa itu tidak mungkin datang dari Tuhan karena bahasa itu sedemikian buruknya dan tidak sesuai dengan Dzat Tuhan yang sempurnah. Menurutnya: Bahasa terjadi dari proses onomatope. Yaitu peniruan bunyi alam. Bunyi-bunyi alam yang ditiru ini merupakan benih yang tumbuh menjadi sebagai akibat dari dorongan hati yang sangat kuat untuk berkomunikasi.

  • Von Schlegel: ( Filosif German ) : Bahasa yang ada di bumi ini tidak mungkin berasal dari satu bahasa, ada yang berasal dari onomatope, lahir dari kesadaran manusia, atau dari mana pun bahasa itu manusialah yang membuatnya sempurnah..

  • Brooks; Bahasa Itu lahir pada waktu yang sama dengan kelahiran manusia. Artinya manusia telah diciptakan menjadi makhluk berbahasa.

  • Phlip Liberman : Bahasa lahir secara evolusi sebagaimana teori ovolusinya Darwin.
  1. Linguistik
Istilah linguistik secara etimologis diambil dari kata  Latin lingua ‘bahasa’. Menurut sebagian pakar bahasa, istilah linguitik terdiri atas dua morfem: lingua dan etik. Lingua berarti ‘bahasa’ dan etik berarti ‘melihat’. Dengan pendekatan etik, pola-pola fisik bahasa digambarkan tanpa menghubungkannya dengan fungsinya dalam sistem bahasa (Kridalaksana, 1993; 52). Sedangkan menurut Sudaryanto (1996: 10), akhiran -ik, -ics,  dan -ique sepadan dengan -logi yang berarti ‘ilmu’. Dengan akhiran –ik yang berari ‘ilmu’, kata linguistik bisa diartikan ilmu bahasa. Sedangkan pakar Linguistik disebut “ Linguis . -Linguis : Orang yang mahir menggunakan beberapa bahasa. -Linguis : Orang yang mempelajari bahasa bukan hanya bertujuan untuk mahir menggunakan bahasa, melainkan untuk mengetahui secara mendalam aspek dan segi yang menyangkut bahasa itu. - Poliglot : Orang yang mahir dan lancar dalam menggunakan beberapa bahasa namun tidak mendalami teori tentang bahasa.- Monoglot ;  Orang yang mahir dan lancar menggunakan hanya satu  bahasa dan  tidak mendalami teori tentang bahasa.

A. Bidang Linguistik 
 
- Linguistik Makro : Bahasa hubungannya dengan faktor Luar
- Sosiologis;
- Psikologis;
- Antropologis;
- Neorologis;
- Linguistik Mikro :  Bahasa yang hubungnnya dengan Faktor Dalam;
- Fhonology;
- Morfologi;
- Sintaksis;
- Semantik.

B. Objek Kajian Linguistik
Linguistik Teoritis : Bertujuan untuk mencari atau menemukan teori – teori / kaidah-kaidah  Linguistik
Linguistik Terapan : Bertujuan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis ( Pengajaran / Penerjemahan / Penyusunan Kamus )
Linguistik Sejarah : Bertujuan Untuk mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa / sejulah bahasa baik dengan memperbandingkannya ataupun tidak.
Sejarah Linguistik : Bertujuan untuk mengkaji perkembangan ilmu linguistik baik mengenai tokoh-tokohnya, aliran-aliran teorinya maupun hasil-hasil kerjanya.
C. Pembagian  Linguistik
  1. Comparative Linguistics;
  2. Descriptive Linguistics;
  3. Historical Linguistics;
  4. Contrastive Linguistics.
Istilah linguistik dikenal juga oleh orang Arab, tapi mereka tidak menggunakan istilah linguistik dalam mengkaji bahasa mereka, linguis Arab identik menggunakan istilah  ‘ilmu al-lughah, fiqh al-lughah, lisaniyat, alsuniyah, atau lughawiyat. Banyaknya istilah yang mereka gunakan telah menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tentang istilah mana yang tepat untuk menamai ilmu yang di Barat dan juga di Indonesia disebut dengan istilah linguistik ini. 
  1. Ilm al-Lughah, dan Fiqh al-Lughah.


A. Ilm al-Lughah
Frase ‘ilmu al-lughah (علم اللغة), terdiri dari dua kata; ‘ilm (علم) dan lughah (اللغة). Secara etimologis, ‘ilm (علم) berarti ‘ilmu’, dan lughah (لغة) berarti ‘bahasa’. Jadi secara etimologis ‘ ilmu al-lughah (علم اللغة) = ilmu bahasa = linguistik = linguistics = linguistique = linguistiek. Istilah lisaniyat (اللسانيات)dan alsuniyah (الألسنية)masing-masing diderivasi dari nomina lisan (لسان) ‘lidah’ atau ‘bahasa’. Sedangkan istilah ‘lughawiyat(اللغويات) , diderivasi dari nomina lughah (لغة) ‘bahasa’. Morfem (sufiks) –yat (يات) yang melekat pada akhir kata-kata itu bermakna ‘mengenai/tentang’ dan menunjukkan makna ‘ilmu’ (keilmuan) sebagai akibat dari penisbatan. Ketiga istilah terakhir (lisaniyat, alsuniyah, dan lughawiyat) merupakan istilah lain yang maknanya dan pemakaiannya sepadan dengan istilah ilm al-lughah.

Secara terminologis, term ilmu al-lugah, oleh linguis Arab didefinisikan sebagai berikut.
  1. hua al-ilmu al-ladzi yabhatsu fi al-lughah. wa yattakhidzuha maudu’an lahu fayadrusuha min naahiyat wasfiyyah wa tarikhiyah wa muqaranah….(Tawab 1982: 7)
Ilmu al-lughah adalah ilmu yang mengkaji bahasa, baik secara sinkronis, diakronis, maupun komparatif”.
2.(Al-‘ilmu al-ladzi yadrusu al-lughah al-insaniyyah dirasatan ilmiyyatan taqumu ‘ala al-washfi wa mu’aayanati al-waqa’i, ba’iidan ‘an al-naz’ah al-ta’limiyyah wa al-ahkam al-mi’yaariyyah)” (Qadur (1996: 11)

Ilmu al-lughah adalah ilmu yang mengkaji bahasa secara ilmiyah dan berdasar pada metode deskriptif guna mengungkap fakta kebahasaan secara apa adanya tanpa melibatkan unsur preskriptif.”
Dalam refrensi lain disebutkan ada tiga mazhab tentang perkembangan bahasa:

- Mazhab Tauqif, menurut mazhab ini bahwa bahasa tumbuh karena adanya wahyu dari Tuhan kepada Adam a.s, ketika mengajarkan tentang nama- nama dari segala sesuatu.

- Mazhab Istilah atau Penetapan, menurut mazhab ini bahwa bahasa berasal dari isyarat- isyarat yang disepakati sebagai alat berkomunikasi.

- Mazhab Peniruan, menurut mazhab ini bahwa bahsa adalah hasil tiruan dari alam atau suara- suara alam.
B.Fiqh al-Lughah
 
Secara harfiah fiqh al- lughah yaitu al- fiqhu yang artinya memahami secara mendalam,dan al- lughah yang artinya ucapan- ucapan yang dimengerti oleh sekelompok manusia dan dengan itu juga mereka melahirkan maksud dan kehendaknya.

Sedangkan pengertian fiqh al- lughah secara umum yaitu kaidah- kaidah dan hukum- hukum umum tentang kehidupan bahasa- bahasa sejak pertumbuhanya dan masa- masa yang dilaluinya, factor- factor yang menyebabkan bercabangnya dari pokok awalnya hingga hubungan dan kaitanya dengan aspek- aspek yang berbeda- beda dan bermacamm- macam.2

C. Antara Fiqh al- Lughah dan Ilm al- Lughah
Polemik panjang telah terjadi sekitar istilah fiqh al-lughah dan ilm al-lughah. Apakah ilmu al-lughah identik dengan fiqh al-lughah atau tidak. Ada yang menyamakan ada pula yang membedakan antara keduanya. Hingga dewasa ini perdebatan mengenai kedua istilah itu masih berlanjut. Polemik ini muncul karena di Barat selain istilah linguistics, terdapat juga istilah philology yang diserap oleh sebagian ahli ke dalam bahasa Arab menjadi al-filulujiya. Lalu apakah ilmu al-lughah sama dengan linguistik, dan fiqh al-lughah sama dengan al-filulujia?

Polemik ini terjadi karena ketika term linguistik yang secara harfiyah dapat diterjemahkan menjadi ilm al-lughah- dikenal oleh para linguis Arab, mereka sudah terlebih dahulu mengenal term fiqh lughah. Fiqh lughah sebagai sebuah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, telah muncul di dunia Arab sejak abad ke-4 H. atau sekitar abad ke 10 M. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat mengenai identik atau tidaknya antara ilmu lughah dengan fiqh lughah.

Kamal Basyar membedakan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah. Sedangkan  Subhi Shalih menyamakan kedua istilah itu. Sementara Abduh al-Rajihi, yang juga termasuk linguis Arab modern, membedakan antara kedua istilah itu. Al-Rajihi  menukil apa yang dikatakan Juwaidi (Guidi), bahwa kata filologi sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab..
Kata al-fiqh (الفقه) = al-’ilm (العلم) dan kata  faquha (فقه) = ‘alima (علم). Hanya saja pada penggunaannya kemudian, kata al-fiqh lebih didominasi oleh bidang hukum. Dengan demikian frase ilm lughah sama dengan frase fiqh lughah.

Secara terminologis, ilmu al-lughah (علم اللغة)  adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau telaah ilmiah mengenai bahasa seperti yang telah dikemukaan di atas. Sedangkan filologi “hubbub al-kalam li ta’miq fi dirasatihi min haistu qawaidihi wa usulihi wa tarikhihi. (Subhi Shalih) “manhajun li al-bahsti istiqraiyun washfiyun yu’rafu bihi ashlu al-lughah allati yurodu darsuha wa mauthinuha al-awal wa fashilatuha wa ‘alaqotuha bi al-luughat al-mujawirah au al-baidah, al-saqiqah au al-ajnabiyyah, wa khasaisuha wa uyubuha wa lahjatuha wa ashwatiha wa tathawwuru dilalatiha wa madaa namaaiha qiraatan wa kitaabatan.
  1. Objek Kajian
Objek kajian keduanya sama, yaitu bahasa. Kesamaan objek kajian kedua istilah di atas terbukti dengan adanya beberapa buku yang menggunakan judul fiqh lughah yang isinya membahas masalah bahasa. Di antara buku dimaksud adalah ‘Asshaiby fi fiqh al-lughah wa sunani al-Arab fi kalamiha karya Ahmad Ibnu Faris (395 H),  ‘fiqh al-lughah wa sirru al-Arabiyyah karya Assa’alaby (340 H), fiqh al-lughah karya Ali Abdul Wahid Wafi (1945), buku ‘Dirasaat fi Fiqh al-Lughah’ karya Muhammad Almubarak (1960) dll.

Ada beberapa alasan yang mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah yaitu:
      • Ibnu Faris, Tsa’alabi, dan Ibnu Jinni walaupun nampaknya mereka mempelajari bahasa sebagai alat, tetapi pada akhirnya studi mereka diarahkan untuk mengkaji bahasa Alqur’an.
      • Dalam fiqh al-Lughah, orang Arab tidak membahas masalah asal-usul bahasa. Lain halnya dengan para filolog Barat dalam filologinya.
      • Filologi lebih cenderung bersifat komparatif, sedangkan orang Arab dengan fiqh al-lughahnya, tidak pernah melakukan pembandingan bahasa.
      • Filologi lebih cenderung membahas bahasa yang sudah mati, sedangkan fiqh al-lughah tidak pernah membahas bahasa demikian.
      • Para filolog mengkaji dialek-dialek Indo-Eropa, sedangkan orang Arab mengkaji bahasa Alqur’an.3
Dari beberapa alasan di atas, maka disimpulkan bhawa fiqh al-lughah sama dengan ilmu al-lughah, dan tidak sama dengan filologi yang dipelajari di Barat. Karena mempunyai karakter (1) menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, (2) menggunakan metode deskriptif, (3) menganalisis bahasa dari empat tataran, dan (4)  bersifat ilmiah, 
 
Adapun alasan kelompok yang membedakan antara fiqh al-lughah dengan ilmu al-lughah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ya’qub (1982: 33-36) adalah sebagai berikut.
  1. Cara pandang ilm al-lughah terhadap bahasa berbeda dengan cara pandang fiqh al-lughah. Yang pertama memandang/mengkaji bahasa untuk bahasa, sedangkan yang kedua mengkaji bahasa sebagai sarana untuk mengungkap budaya.
  2. Ruang lingkup kajian fiqh al-lughah lebih luas dibanding ilmu al-lughah. Fiqh luggah ditujukan untuk mengungkap aspek budaya dan sastra. Para sarjananya melalukan komparasi antara satu bahasa dengan bahasa lain. Bahkan membuat rekonstruksi teks-teks klasiknya guna mengungkap nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Sedangkan ilmu al-lughah hanya memusatkan diri pada kajian struktur internal bahasa saja.
  3. Secara historis, istilah fiqh al-lughah sudah lebih lama digunakan dibanding istilah ilmu al-lughah.
  4. Sejak dicetuskannya, ilmu al-lughah sudah dilabeli kata ilmiah secara konsisten, sedangkan fiqh al-lughah masih diragukan keilmiahannya.
  5. Mayoritas kajian fiqh al-lughah bersifat historis komparatif, sedangkan ilmu al-lughah lebih bersifat deskriptif sinkronis.4
Atas dasar tersebutlah, dalam beberapa kamus bahasa Arab, kedua istilah itu penggunaanya dibedakan.

Ada linguis yang mengatakan bahwa ilmu al-lughah mengakaji bukan saja bahasa Arab, tetapi juga bahasa lain (ini yang disebut linguistik umum). Sedangkan fiqh al-lughah hanya mengakaji bahasa Arab. Oleh sebab itu, di antara para linguis Arab ada yang mengatakan bahwa fiqh lugah adalah ilmu al-lughah al-arabiyyah (linguistik bahasa Arab)
 
Ramdlan Abdut Tawab dalam Fushul fi Fiqh al-Arabiyyah (1994) mengatakan “Term Fiqh al-Lughah sekarang ini digunakan untuk menamakan sebuah ilmu yang berusaha untuk mengungkap karakteristik bahasa Arab, mengetahui kaidah-kaidahnya, perkembangannya, serta berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa ini baik secara diakronis maupun sinkronis.” 5

Secara terminologis,istilah Filologi muncul kira- kira adab 3 SM, oleh sekelompok ahli dari iskandariyah, pencetusnya adalah Eratosthenes. Filologi adalah ilmu yang menyelidiki masa kuno dari suatu bahasa berdasarkan dokumen-dokumen tertulis.” Pernyataan Verhaar ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Tamam Hasan. Menurut Hasan, filologi adalah ilmu yang mengkaji serta mengkritisi teks-teks klasik dari berbagai aspeknya. Menurutnya, ciri khas filologi adalah berorentasi pada bahasa kuno. Secara istilah ilmu yang digunakan untuk mengkaji tulisan yang menyimpan informasi dengan bentuk yang bermacam- macam dimana pada fisiknya terdapat sejumblah bacaan yang rusak.

Pada perkembangan berikutnya, selain berorientasi pada bahasa kuno, filologi juga bersifat komparatif. Hal ini terjadi ketika para filolog Eropa menemukan adanya beberapa persamaan antara bahasa Eropa dengan bahasa Sansekerta. Sampai pase ini, filologi mendapat label baru yaitu komparatif.

Pada akhir masa renaisan, para filolog mulai menjamah bahasa Arab, mereka mengadakan perbandingan antara bahasa Arab dngan bahasa Ibrani. Lambat laun, filologi tidak lagi mengkaji bahasa-bahasa kuno, melainkan mengakaji bahasa yang masih hidup.6

Daftar Pustaka 
 
Asy’ari,Drs. Hasim, Fiqh al- Lughah, IKIP Semarang Press.
Djojosuroto Kinayati, Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Cet.II, Pustaka Book Publisher, 2007.
Kaelan, M.S. Filsafat Bahasa- Masalah dan Perkembanganya. Yogyakarta: Paradigma,1998.
Kaelan, Drs, M.S. Filsafat Analitis Menurut Ludwing Wittgenstein. Yogyakarta: Paradigma, 2004.
Dayudin, blog. Fiqh Lughah Versus Ilmu Lughah, pada 27 April, 2010.
Zulkifli, blog. Linguistik Arab, pada 29 Maret 2010.
            Alsahbi, Fiqh al- Lughah, Donlowad 11 Mei 2010.
            Pateda, Mansur  Linguistik (Sebuah Pengantar). Bandung: Angkasa, 1988.
            Mustafa, Drs. Handout Materi Kuliah Filologi, Dosen Fakultas Adab UIN Jogja.2005




1 Djojosuroto Kinayati, Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Cet.II, Pustaka Book Publisher, 2007.Hal.45- 65.

2 Asy’ari,Drs. Hasim, Fiqh al- Lughah, IKIP Semarang Press, hal. 2-3.

3 Dayudin, blog. Fiqh Lughah Versus Ilmu Lughah, pada 27 April, 2010

4 Ibid.

5 Zulkifli, blog. Linguistik Arab, pada 29 Maret 2010.

6 Mustafa, Drs. Bahan Ajar Mata Kuliah Filologi,Bahasa Sastra Arab Fakultas Adab.2005.

Friday, October 7, 2011

PENGARUH PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM DI JAWA



Kedatangan bangsa-bangsa Barat ke kawasan Asia telah dimulai sejak permulaan abad ke-16. Pada 1511 Portugis menduduki Malaka, lalu tahun 1522 mendirikan benteng di Ternate. Tahun 1611 Belanda mendirikan bennteng di Jakarta ( Batavia ), namun dalam penjajahan yang berlangsung dua setengah abad, rakyat pribumi dibiarkan tetap bodoh agar bias di perbudak dan dikeruk kekayaan negerinya. Barulah pada separoh akhir pertengahan abad ke-19 Belanda mau membuka sekolah model Barat bagi kaum pribumi. Semula sekolah semacam itu hanya di khususkan bagi golongan priyayi dan anak-anak orang Kristen untuk mendidik kacung-kacung mereka dalam berbirokrasi, tetapi kemudian ada juga anak-anak wong cilik berduit dapat mengenyam pendidikan model Barat. Bahkan banyak pula yang berkesempatan melajutkan pendidikan mereka din Belanda. Pendidikan model Barat ini berpengaruh terhadap munculnya golongan terpelajar pribumi. Golongan inilah yang kemudian meniupkan semangat untuk berjuang melawan penjajah.


Pengaruh pendidikan Barat modern sendiri terhadap masyarakat pesantren ( agama ) adalah munculnys gerakan permurnian pemgamalan syari’at dan modernisasi pemikiran Islam, yaitu gerakan kembali ke budaya progresif seperti yang berlangsung di zamannya Nabi Saw, dan zaman p0emikiran ilmiah pada peradaban Bagdad dan Kordova. Hal itu berarti menjauhkan diri dari setiap bentuk bid’ah dan khurafat. Dalam budaya Jawa , hal itu membebaskan diri dari bentuk sinkretik slamatan-slamatan dan tahlilan yang selama berabad-abad telah mentradisi dikalangan masyarakat pesantren.

Melalui kaca mata Islami, gerakan kebangkitan agama ternyata menyadarkan umat Islam kepada empat lanngkah perkembangan pemikiran Islam, yakni :

Pertama langkah kembali ke syar’I yaitu kembali kepancaran budaya Islam syar’I yang progresif dan rasional ilmiah dengan seruan untuk membuka pintu ijtihad kembali ( kembali ke Al-Quran dan Sunnah ) yang mewajibkan ijtihad dan menghargai ulama yang bias mencapai derajat mujtahid. Kembali ke Al-Qur’an dn Sunnah bukan berarti mengabaikan dan meremehkan pendapat mazhab-mazhab terdahulu. Akan tetapi justru memandang produk-produk mazhab-mazhab itu amat penting dan tidak mungkin diabaikan bagi calon ahli agama.

Menjadi pemikir agama tidak mungkin dicapai tanpa mengkaji penmdapat mazhab-mazhab terdahulu dalam kitab kuning. Pentingnya pengkajian kitab kuning ditunjukan oleh Muhammadiyah di Indonesia,yang pada muktamarnya di Pekalongan pada 1927 memutuskan untuk mendirikan Majelis Tarjih sebagai tulang punggung dalam mengatasi persoalan agama. Tarjih artinya mempertimbangkan pendapat mazhab yang lebih kuat atau kemingkinan menemukan pandangan batu dalam menghadapi perubahan zaman. Fatwa-fatwa Majelis Tarjih memang menjadi bahan pertimbangan bagi pengikut Muhammadiyah, tetapi sifatnya tidak mengikat, sebab keadaan lingkungan mungkin saja membutuhkan kearifan lain. Misalnya Majelis Tarjih belum berani member keputusan halal terhadap bunga bank. Tetapi tokoh-tokoh Muhammadiyah banyak yang menabung dan meminjam uang dari bank.

Kedua, gerakan pembaruan pemikir dan pemahaman agama. Gerakan ini dipelopori oleh Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Berbeda dengan gerakan pemurnian agama kaum Wahabi, gerakan pembaharuan pemikir Islam merupakan reaksi terhadap kejumudan dan keterbelakangan umat Islam. Keterbelakangan ini telah mengakibatkan umat Islam diinjak-injak oleh penjajah Barat. Dari reaksi dan keprihatinan akan ketertinggalan umat dari bangsa-bangsa Barat, yang menjadi pokok pemikiran gerakan ini adalah upaya menganalisis sebab-sebab yang melemahkan umat Islam, untuk kemudian mengobatinya. Timbullah ide untuk merekontruksi ajaran Islam dengan memanfaatkan unsur0-unsur dinamis sains yang bersumber dari peradaban Barat.

Di Indonesia upaya modernisasi pemikiran Islam ini sering disebut dengan istilah aktualisasi Islam dan umat Islam.Muncullah berbagai macam konsep yang terkadang kurang jelas maksutnya. Misalnya, Sekularisasi Islam, membumikan Islam, tafsir konteksual dan sebagainya. Kelamahan mendasar kaum modernisasi sudah menjadikan pemikir Islam sebagai sesuatu yang transendem ( melanggit ). Jadi masih bersifat fisofos-spekulatif seperti halnya pemikiran ulama abad pertengahan ( zaman kebesaran Bagdad ). Yakni masih terpaku pada cara berfikir keIslaman yang normative. Arah pemikiran ini akhirnya mandul dan tidak banyak menghasilkan pembaruan. Pemikir dalam bidang akidah ataupun hukum Islam tetap berjalan di tempat. Tetapi dewasa ini para cendekiawan muslim yang menguasai ilmu umum jauh lebih maju dan progresif daripada para ulama yang tradisional-normatif. Keadilaninilah ynng memicu munculnya ide baru, yaitu penelitian agama.

Ketiga, membumikan wawasan dan pemikiran Islam , yaitu mengembangkan wawasan positivism Islam, yang berarti menggali ilmu baru Islam yang bersifat hisyoris.. Zaman modern ini , ahli agama tidak cukup mengkaji kitab kuning semata, melainkan juga harus megkaji ilmu kehidupan di tengah masyarakat dan budaya lokalnya. Oleh sebab itu ilmu agama tidak cukup dikaji secara deduktif, melainkan dikaji secara analisis empiric.. Pengulatan Islam dan budaya Jawa merupkan bidang ilmu yang masih dlam penelitian, ilmu keislaman yang empiric ini diperlukan pendekatan secara positivistic.

Kempat , beupaya menjadikan agama sebagai moral power. Agama sebagai kekuatan moral merupakan sebuah keharusan. Oleh sebab itu Nabi Muhammad Saw diutus untuk menyempurnakan akhlak. Di Indonesia, agama perlu mendukung penjabaran dan pengamalan falsafah kenegaraan pancasila. Tuntutan agama Islam menjadi bentenmg bagi moral power semakin kuat. Akan tetapi, dominasi rasionalitas teori ilmiah atau kemajuan peradaban dunia telah mengarah kepada system kapitalisme dan membuat dunia kemanusiaan seakan tenggelam oleh moralitas serba sekuler dan materialis. Misalnya Agama Kristen Barat, ternyata tidak mampu memoderalisasi arus sekularisme dan materialism, bahkan terpinggirkan.

Kembali kepada masalah produk sejarah interaksi Islam dan budaya Jawa. Kebudayaan Islam kejawen didukung oleh pra priyayi yang termasuk golongan cendekiawan masa itu. Karena itu, para pendukung lingkungan budaya Islam-Kejawen ini berwawasan indidual, mandiri dan dinamis. Apalagi paham patheisme dalam tasawuf tidak terikat pada syari’at yang terpilih, tetapi pada konsepsinya bahwa Tuhan dan mmanusia adalah kesatuan . Dengan demikian, filsafat mistik ini memitoskan Sang Raja sebagai pengejawantahan Tuhan ( God- King ) . Jadi mistisme dijadikan alat untuk memperkuat kekuasaan, sehingga menjauh dari eskapisme paham tererat dalam pesantren. Dlam lingkungan budaya priyai ( Islam-Kejawen ), nilai kekuasaan merupakan segala-galanya. Yakni moralitas kekuasaan yang berprinsip bahwa “ kebenaran politik memiliki logika dan pembenaran berdaasarkan analisi atas ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan bagi kelangsungan kekuasaan politik itu “. Dalam ungkapan Jawa, “ kedudukan itu adalah kebahagiaan “ dikarenakan kedudukan dipandang sebagai kebahagiaan, orang mudah tergoda untuk melakukan tindak korupsi dan kolusi.

Hal yang menarik dengan masuknya budaya Barat, para pendukung budaya Islam-Kejawen cepat menyesuaikan diri terhadap pendidikan model Barat. Karena golongan proyayi lebih dipriyoritaskan oleh Belanda sebagai pembatu birokrasi pemerintahannya, maka golongan ini mudah menyesuaikan diri dengan kemajuan peradaban Barat, sehingga dalam masa kemerdekaan merekalah yang memegang tampuk pimpinan Negara. 
 
Adapun lingkungan budaya Islam pesantren besifat sangat ekspresif dan mengarah pada mitologisasi para wali yang konon menguasai berbagai macam il,u ghoib ( krtamat ). Lingkungan budaya Islam pesantren di Jawa pada dasarnya bersifat tradisional dan lamban dalam menerima pengharuh budaya Barat. Apalagi system guruisme didalamtradisi terekat lebih menomorsatuka ilmu ghoib, sehingga sulit untuk mengembangkan daya kritis seperti dalam pendidikan model Barat. Belum lagi naluri kepribumian yang anti-Barat, membuat mereka enggan memasukkan anak mereka kesekolah-sekolah Belanda. Bahkan ada anggapan bahwa menyekolahkan anak ke sekolah Belanda sama saja dengan membiarkan anak menjadi penganut agama Kristen. Akan tetapi, karena penyebaran Islam zaman penjajahan itu cukup luas,tentu ada sejumlah santri yang ikut mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah umum. Apalgi banyak juga diantara mereka yang termasuk golongan priyayi. Misalnya, menjabat sebagai penghulu keratin ( kesultanan ) atau pegawai jabatan agama.

Di Jawa gerakan reformasi Islam dilakukan dengan penuh kearifan. Mungkin Muhammadiyah, Persatuan Islam ( Persis ) dan Partai Serika Islam Indonesia ( P S I I ) menyadari kemustahilanmengubah dengan seketika para penganut Islam tradisional menjadi Islam syar’I, karena itu patra pembaru menempuh jalan melalui perubahan system pendidikan. Merka lebih mengedepankan amar ma’ruf dari pada nahi mungkar.





Ritual Penti manggarai Nusa Tenggara Timur .



Banyak masyarakat dari berbagai suku di Indonesiayang mewujudkan rasa syukur mereka dalam bentuk upacara adat. Rasa syukur ini mereka panjatkan atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada mereka seperti panen yang berlimpah, kelahiran anak, rumah baru, dan lain sebagainya. Masyarakat Desa Goloni di kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur juga punya satu tradisi pengucapan rasa syukur, yaitu ritual penti. Ritual penti di flores merupakan pesta upacara sebagai wujud syukur atas hasil panen yang berlimpah. Hasil panen masyarakat Desa Goloni di Flores berupa kopi, vanili, cengkeh, dan juga padi. Ritual penti pada masyarakat Goloni di Flores NTT diselenggarakan setiap tahun. Ritual penti terus dipertahankan sampai sekarang. Masyarakat di Flores percaya jika mereka lalai menyelenggarakan penti, mereka akan terkena suatu musibah atau nasib buruk.


Ritual penti pada masyarakat Desa Goloni di Flores NTT juga digelar sebagai wujud rasa syukur manusia kepada Tuhan atau wujud tertinggi yang mereka sebut Mori Keraeng, penghormatan kepada empo atau leluhur, alam, dan sesama manusia. Pesta adat penti ini biasanya diselenggarakan setiap tahun antara bulan Juli, Agustus, September, atau sebelum Desember. Masyarakat Goloni percaya pesta penti diselenggarakan antara bulan ketujuh, kedelapan, atau kesembilan karena pada bulan-bulan itulah keberhasilan panen di tahun selanjutnya ditentukan.

Ada cerita menarik dibalik ritual adat penti. Konon ritual penti bermula dari kepercayaan pada roh nenek moyang yang tinggal di kawasan Danau Ranamase. Dikisahkan dahulu kala ada dua danau keramat yang merupakan tempat tinggal makhluk halus. Dua danau itu adalah Danau Ranamese yang artinya danau kecil dan Danau Ranahenbok yang artinya danau besar.  Danau Ranamase terletak di Kampung Lerang sedangkan Danau Ranahenbok terletak di Desa Golorutuk. 
 
Suatu saat terjadi perang antara makhlus halus penghuni Danau Ranamase dan Danau Ranahenbok. Ketika para makhluk halus penghuni Danau Ranamase hampir kalah, mereka meminta bantuan manusia yang memang sudah bersahabat lama dengan mereka. Para manusia yang membantu menggunakan parang dalam peperangan untuk menebas belut-belut yang digunakan sebagai senjata oleh para makhluk halus dari Danau Ranahenbok. 
 
Peperangan akhirnya dimenangkan oleh makhlus halus dari Danau Ranamase. Karena menang, para penghuni dari Danau Ranamase berhak memperluas wilayah danau. Dan para manusia yang pernah membantu makhlus halus dari Danau Ranamase dipercaya sebagai nenek moyang masyarakat Desa Goloni. Selain itu, belut-belut yang hidup di kawasan Danau Ranamase juga dipercaya sebagai belut yang pernah menjadi senjata perang pada masa lalu. Legenda ini sangat dipercaya oleh masyarakat Desa Goloni di Kampung Lerang, Flores. Itulah kenapa penghormatan kepada nenek moyang orang Goloni juga dilakukan dalam upacara penti.
Ada lagi hal yang menarik dari ritual penti di Desa Gololoni, Flores. Dalam pesta syukuran ini masyarakat juga akan melakukan ritual pemanggilan arwah nenek moyang yang tinggal di Danau Ranamase. Arwah nenek moyang diundang untuk datang ke Kampung Lerang. Caranya, seorang wakil atau utusan dari Kampung Lerang mengundang arwah dengan memberikan sesajian berupa ayam merah. Ayam merah ini disembelih ke tempat sesajian yaitu Batu Naga yang terletak di salah satu tepi Danau Ranamase. 
 
selain itu masyarakat juga melakukan ritual barong lodok dan barong wae. Ritual barong lodok adalah pemanggilan arwah yang tinggal di ladang sedangkan barong wae adalah ritual pemanggilan arwah yang tinggal di sumber-sumber mata air. Arwah-arwah yang telah datang dari Danau Ranamase, dari ladang, dan dari sumber-sumber mata air disambut di compang di Kampung Lerang. 
 
Compang merupakan tempat sesaji yang diletakan di salah satu batang pohon di tengah kampung. Dibawah pohon tersebut sudah disiapkan sesaji berupa seekor ayam dan tuak, yaitu minuman beralkohol yang terbuat dari beras yang difermentasi. Setelah acara penyambutan, arwah nenek moyang akan masuk kedalam sebuah rumah adat ditemani oleh sang utusan.

Ritual penti dari masyarakat Desa Goloni di Kampung Lerang Flores digelar dari pagi sampai malam hari. Pada sore harinya biasanya digelar tarian adat yaitu tari caci. Tari caci adalah tarian yang menampilakan atraksi mencambuk antara para penari laki-laki. Tari caci biasanya dibawakan oleh dua orang laki-laki. Satu diantaranya membawa tameng yang disebut nggiling. Nggiling adalah semacam perisai yang terbuat dari kulit kerbau. 
 
Sementara itu, penari yang satu lagi membawa larik atau cambuk. Penari yang memegang cambuk akan mencambuk penari yang satunya. Penari yang terkena cambuk akan melindungi dirinya dengan nggiling yang ia pegang. Kedua penari akan menggunakan nggiling dan cambuk itu secara bergantian. Dalam membawakan tari caci para penari mengenakan celana panjang warna putih yang dibalut dengan kain tenun warna hitam. 
 
Mereka juga memakai penutu dahi yang disebut panggal. Panggal berbentuk segi empat menyerupai tanduk kerbau dan berhiaskan bulu binatang. Dalam setiap pertunjukannya tari caci diiringi musik dari gendang dan gong. Gendang yang digunakan adalah gendang khusus yang terbuat dari kulit kambing dan sehari-harinya disimpan di dalam rumah adat. Uniknya, para penabuh gendang ini adalah para ibu dari Desa Goloni..

Dari bentuk kegiatan ritual atau penti diatas ini.dapat kami tarik atau simpulkan dari dua aspek yaitu dari sudut budaya dan sudut normatif. Kegiatan ini dilihat dari sudut budaya yaitu banyak sekali ditemukan beraneka ragam macam-macam bentuk bentda yang mereka gunakan diantaranya yaitu alat music yang dinamakan gong,bambu,kayu,air dan binatang-binatang seperti kerbau,kambing,ayam dan binatang yang lain untuk melakukan kegiatan ritual ini.demi mewujutkan kelancaran ritual mereka. adapun bentuk kegiatan ini dilihat dari sudut pandang normative yaitu kegiatan ini memakai beberapa kitab-kitab,seperti membaca ayat al-quran,maupun buku-buku yang lain yang marupakan bacaan yang menurut tradisi mereka bagus digunakan.