Pages

Friday, September 30, 2011

Mudik Aman, Mudik Nyaman

Bulan Ramadan berjalan tak terasa mendekati hari raya Idul Fitri, lebaran identik dengan silaturrahmi antara keluarga, tetangga, teman dan juga sanak saudara. Hal ini menjadi tradisi yang mengakar di Indonesia sebagai ajang untuk saling meminta maaf atas kesalahan setiap individu masing-masing. Lebaran dipandang sebagai momen yang pas untuk berkumpul dengan keluarga, sehingga kesempatan setahun sekali ini dimanfaatkan bagi sebagian saudara yang tinggal jauh dari keluarganya tuk berkumpul dan mengobati rasa rindu lama tak berjumpa.
Jauh sebelum lebaran tiba, persiapan dilakukan sebagian orang untuk pulang ke kampung halaman alias mudik, dari berburu tiket kereta, bus dan moda transportasi lainnya baik darat maupun laut. Hal ini terjadi hanya disaat menjelang lebaran dan menjadi tradisi tahunan di Indonesia, demi memperoleh kepuasan lebaran di kampung asal. Mudik bukan hal yang mudah dilakukan, banyak rintangan yang akan dilalui, dari kepadatan arus lalu lintas karena secara bersamaan jumlah pemudik menggunakan alat transportasi umum sangat banyak, sehingga menimbulkan kemacetan, terjadi Laka Lantas baik pengguna kendaraan roda dua maupun roda empat. Tingginya angka lakalantas mudik tahun kemarin menjadi pelajaran berharga bagi dinas terkait untuk memperbaiki dan menekan angka laka lantas tersebut. Baik dari aspek sistem penyediaan alat transportasi, infrastruktur, dan juga keselamatan pengguna moda transportasi. Semakin membludaknya jumlah pemudik dan kurang disiplin dalam berkendara menjadi momok menakutkan pada arus mudik. Sehingga butuh persiapan matang demi menjadikan arus mudik lebaran aman dan lancar.
Demi menekan angka Laka Lantas pada arus mudik lebaran kali ini, berbagai pihak berinisiatif melakukan cara aman mudik dengan menyelenggarakan mudik bareng yang bekerja sama dengan beberapa instansi dan juga perusahaan. Dengan begitu arus kepadatan lalu lintas bisa diminimalkan. Hal ini demi antisipasi hal yang tidak diinginkan. Seperti halnya juga rest area atau tempat peristirahatan para pemudik dibangun di sepanjang jalur arus mudik moda transportasi darat, baik oleh perusahaan maupun intansi pemerintah, cara ini untuk membantu para pemudik rehat dari kelelahan berkendara dan agar terhindar dari rasa kantuk berlebihan yang menjadi penyebab laka lantas mudik. Para pemudik patutnya menyadari beban yang akan dihadapi saat mudik lebaran, kesadaran akan keselamatan jiwa diprioritaskan, baik pengguna moda transportasi roda empat maupun roda dua. Panduan dan tip mudik aman yang telah digalakkan pemerintah dan pihak swasta mendapatkan respon positif demi mencegah kejadian laka lantas arus mudik. Ironi jika hasrat dan impian tuk berkumpul sanak keluarga sirna karena menjadi korban laka lantas arus mudik.
Berharap lebaran bisa berkumpul dan berbagi rasa kangen dengan sanak keluarga, teman dan juga kerabat tentunya menjadi keinginan setip pemudik, akan tetapi beban selama menjalani tradisi mudik ke kampung halaman dipersiapkan secara matang agar terhindar dari kejadian yang tidak diinginkan. Sedia payung sebelum hujan menjadi peribahasa yang pas untuk mempersiapkan mudik lebaran, mudik perlu dipersiapkan secara matang dan teliti.

PENGARUH SASTRA ARAB ANDALUS TERHADAP SASTRA BARAT



       Tentang Sastra Andalus

Ada beberapa aspek penunjang yang banyak mempengaruhi kaemajuan sastra Andalus. Pertama, keindahan Alam raya Andalusia, juga cuaca dan udaranya yang sejuk, tanah serta tamannya yang hijau. Pradaban serta alam yang demikian sangat banyak sekali pengaruhnya terhadap sastra Arab di Andalusia, maka terjadilah perubahan corak sastra yang mana sebelumnya menampilkan sifat-sifat padang pasir yang panas dan keras menjadi sastra yang lembut, penuh dengan ungkapan-ungkapan alam mereka, bukan saja pada syair akan tetapi terjadi juga pada prosa.

Kedua, Matangnya pola pikir Arab. Telah datang silih berganti ke tanah Andalusia berbagai macam bangsa. Pada mulanya diperintah oleh bangsaYunani, Romawi, kemudian Qûth,dan akhirnya datang bangsa Arab sehingga beradaptasi dan bercampur baur dengan penduduk asli. Dari sanalah muncul genersi baru yang mempunyai sifat kearaban dan pola pikir Aria.


Ketiga, adanya rasa persaingan dengan timur. Rasa bersaing sedemikianlah yang membuat perkembangan pesat di dalam sastra Andalusia sehingga dapat mempengaruhi keproduktifan penulis-penulis Andalus, juga pesatnya karya-karya sastra. Banyak diantara ulama Andalus yang pergi ke timur untuk menimba ilmu dan mencari buku, dan sebaliknya ulama timur datang ke Andalus untuk mencari tempat dan penghargaan dari kholifah. Jarak yang jauh antara Bagdad dan Qordoba tidak menjadi penghalang bagi safari mereka dalam mencari dan mendalami ilmu pengetahuan. Tak ayal lagi kalau terjadi persaingan ketat antara barat dan timur pada waktu itu dalam pengkodifikasian karya serta penulisan ilmu pengetahuan, walaupun ada kecendrungan ulama Andalusia dalam mencontoh karya-karya ulama timur. Begitu pula hal nya dengan syair-syair, mereka banyak mentransfer dari timur. Kendati demikian mereka tidak menghilangkan identitas serta cirri-ciri khas kesusutraan mereka sehingga apabila dihadapkan pada hasil-hasil karya Andalusia kita akan melihat corak-corak khusus yang ada pada karya-karya tersebut, menunjukkan bahwa banyak penambahan serta pembaharuan yang dihasilkan oleh ulama-ulama Andalusia terhadap karya timur. Dan akhirnya menimbulkan gaya karya baru setelah karya timur, yaitu Arab Andalusia. Salah satu contohnya adalah Ibnu Abdi Rabbih menampilkan pada Al Aqdu Al Farîd beberapa contoh buah karya Abu Tammâm dan penyair-penyair besar lainnya.

Walaupun orang-orang Andalusia banyak terpengaruh oleh pola pikir timur, bukan berarti terpengaruh oleh kebudayaan serta filsafat yang cenderung digandrungi oleh timur. Pada zaman-zaman keemasan Anadalusia mereka lebih condong kepada corak peradaban Islam Arab murni. Dan masih menolak filsafat, juga memusuhi orang yang menggeluti hal tersebut, sampai-sampai menuduhnya sebagai Zindiq, maka dari itu sastra Andalusia tidak mempunyai komposisi filsafat sebagaimana di timur.
Sebuah Bukti atas Transformasi Sastra dan Pradaban

I. Al- Musta’ribûn
Pada dasarnya karya sastra yang dihasilkan oleh kaum Al-Musta’ribûn sangatlah lemah, baik berbahasa latin maupun Arab, kemudian mereka pun mulai terpengaruh oleh kehidupan social Islam yang memberi pencerahan bagi mereka. Salah satu contohnya adalah mereka lebih mengutamakan penggunaan bahasa Arab,juga nama-nama dan pakaian mereka serta berusaha mencontoh peradaban Isalam dalam aspek-aspek kehidupan mereka. Albero Al Qortubi seorang ilmuan sepanyol,pernah memberikan pendapat, tak ada bantahan terhadapnya dan masih sering dikutip oleh banyak pengarang dan penuis barat maupun timur. Dia memberikan kesaksian bahwa orang Nasrani Sepanyol mempunyai kecendrungan yang sangat besar terhadap sastra Arab dalam sebuah ungkapan mereka berkata,” Sesungguhnya saudara-saudara ku seagama menemukan kenyamanan dan sesuatu keindahan ketika membaca syair-syair Orang Arab, dan hikayat kehidupan mereka. Pun mereka berbondong-bondong mempelajari mazhab-mazhab ahli agama, filosouf -filosouf muslim, bukan untuk mengkonternya akan tetapi mencoba mengambil uslub-uslub Arab yang indah dan benar.

Kebanyakan dari buku-buku latin yang ditulis oleh kaum Al- Musta’rbûn mempunyai catatan-catatan kaki, komentar dengan bahasa Arab. Pada dasarnya, ketika zaman keemasan Islam orang-orang sepanyol lebih cakap berbahasa Arab ketimbang bahasa asli mereka, sampai-sampai menyerupai orang Arab dalam kemahiran berbahasa, tak dapat dipungkiri pula bahwa mereka telah memakai bahasa Arab sekian waktu lamanya, yaitu setelah runtuhnya kekuasaan Islam di Jazirah tersebut. Banyak adat-istiadat culture arab yang disadur ke dalam lini kehidupan bangsa sepanyol, sampai kepada penulisan buku-buku dan pemakaian nama-nama Arab, hingga abad keempat belas masehi, bukti-bukti ini masih dapat kita temukan pada dokumentasi-dokumentasi Toledo walaupun tak kita dapatkan hasil karya yang berharga dari mereka.

II. Al-Musta’jimûn
Akhir dari pada bentuk sastra Arab Andalus yang muncul di sepanyol adalah sastra Los Moriscos yaitu sastra yang ditulis dengan bahasa Sepanyol, namun memakai huruf-huruf Arab. Orang Arab menyebutnya Al-Jamîya ” kalimat Arab yang disepanyolkan” kenapa demikian, karena keadaan lah yang memaksa. Kaum Moriscos merasa takut dan khawatir setelah jatuhnya Granada ke tangan orang-orang Nasrani, apalagi ketika mereka dihadapkan kepada kasus-kasus pengkafiran dan pemurtadan, hal demikianlah yang membuat keterputusan mereka dengan khazanah-khozanah sastra dan pemkiran leluhur. Namun mereka tidak meninggalkan huruf-huruf hijâiyyah Dan terus menulis ilmu-ilmu Islam serta warisan leluhur sebagai resistensi serta benteng yang kokoh bagi akidah mereka, untuk kemudian mewariskannya kepada generasi setelahnya. Semua apa yang dapat kita lihat dari bukti-bukti sejarah,bahwa tulisan-tulisan tersebut berasaskan Islam dan belum dpat dipelajari rahasia rumus-rumusnya kecualai pada abad ke sembilan belas masehi.

Ketika orang sepanyol hendak melaksanakan pengusiran besar-besaran terhadap sisa-sisa umat Islam dari negeri mereka, maka kaum Moriscos mencoba untuk menyembunyikan tulisan-tulisan atersebut. Dan memunculkannya kembali secara pelan-pelan. Salah satu penulis besarnya adalah Isa ibnu Jabir seorang faqih masjid Segoviano dalam bahasa sepanyol dikenal denagan nama Isa de Gebir, Ia menulis buku berjudul Al kitâb Al Syaqûbi, di bawah namanya tertulis dengan huruf Arab breviario sunni atau dalam bahasa Arabnya mukhtashar al sunnah. Yaitu tulisan singkat tentang akhlaq dan syariah, buku ini banyak sekali beredar di kalangan Moriscos, dan terdiri dari bab-bab iman, aqidah kemudian wudhu, thoharaoh, air yang suci dan tidak suci. Beliau memakai istilah-istilah ibadah dalam Islam dengan logat Qostilla seperti arraquer atau al rukû’- anafilesa tau al nawâfîl, menjamakannya dengan jama Qostilla.

III. Pendapat Juan Andreas
Juan Andreas seorang tokoh Nasrani Yasûi’ yang dikeluarkan dari kelompok ini kemudian diusir dari sepanyol telah mentransfer bekas kejayaan Andalus Arab kepada kebudayaan Eropa, sebagai pencerahan atasnya, walaupun sangat minim , dikarenakan sedikitnya marâji’ kecuali fihris latin buku-buku klasik Arab Makhthûthât di perpustakaan Iskareal yang ditulis oleh Mikhâil al ghosîrî. Dari maraji’ inilah Juan Andreas menulis buku yang sedikit aneh dengan bahasa Italia antara tahun seribu tujuh ratus delapan dua dan seribu tujuh ratus sembilan puluh delapan berjudul Asal-usul Sastra Secara Umum serta Keadaan dan Perkembangannya diterjemahkan ke dalam bahasa Sepanyol antara tahun 1784-1806, salah satu stressing poin dari buku itu adalah’bahwa sesungguhnya timbulnya pergerakan studi tentang kedokteran adalah kembali kepada jasa bangsa Arab, dimana bangsa barat ketika itu masih terbagi menjadi dua bagian, sebagian berpacu menyusun peradaban sedangkan yang lain masih dalam keterbelakanagan. Kemudian dia juga menyebutkan hasil-hasil terjemahan bangsa Arab dari peninggalan serta buku-buku India, fersi, Mesir, Yunani di samping pengaruh besar yang membias kepada gerakan eskolarialisasi escurialtion dari buku yang ditransfer ke bahasa latin.

Sedangkan pengaruh Arab terhadap sepanyol secara khusus, beliau mengatakan bahwa masyarakat sepanyol telah memakai dua bahasa, pertama, Bahasa Arab, kedua, Bahasa Sepanyol. Sebagaimana diungkapkan oleh Alberto Qurtubi. Dia juga menyebutkan bahwa pada awal mulanya syair Sepanyol banyak mengikuti syair Arab secara corak maupun ma’na, dan itu merupakan sebuah kelaziman sebagai akibat dari pergumulan dua bangsa, Arab dan Sepanyol.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh Arab dan Islam pada Sastra Barat tidak terjadi secara langsung seperti pengaruh Sastra Barat terhadap Sastra Arab. Pengaruh yang tidak langsung ini berupa pengaruh Sejarah Peradaban yang dulu melingkupi Orang Barat yakni berupa pemakaian Bahasa Arab yang banyak mempengaruhi dalam segi corak dan makna dalam karya sastra, dan pengaruh kehidupan social islam yang dahulu memberi pencerahan bagi Orang Barat sehingga menjadikan orang barat lebih suka memakai kosakata dari Arab bahkan mereka lebih mahir memakai bahasa arab dari pada memakai bahasa sendiri (Bahasa Spanyol).






SASTRA ARAB DALAM PRESFEKTIF GOETHE

Sastra arab merupakan sastra yang sangat mendapatkan perhatian luar biasa dari dunia barat, terbukti banyak sastrawan barat yang terilhami dari sastra arab. Disamping itu sastra arab mampu merubah kebudayaan di barat baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan sastra arab memiliki keunikan tersendiri dan memiliki umur yang panjang dalam sejarah sastra didunia. Menurut sejarah, sastra arab sudah lahir sejak zaman jahiliyah, yaitu suatu zaman yang sangat kental dengan dunia sastra terutama puisi-puisi arab. Tercatat pada zaman jahiliyah sering diadakan lomba menulis puisi kemudian siapa yang menang maka tulisannya akan dipajang di dinding ka’bah dengan tinta emas “mu’alaqat”. Sejarah hanya bisa mengungkap manuskrip sastra 2 tahun sebelum masehi sehingga sebetulnya masih banyak karya sastra kun yang belum terungkap.

Beberapa alasan diatas menjadi perhatian khusus terutama sastrawan barat yang mulai berkembang pada abad ke 17 yang saat itu islam yang menjadi basis sastra arab mengalami pengunduran. Salah satu sastrawan arab yang cukup intens memberikan perhatian tershadap sastra arab adalah Goethe. Dai banyak melahirkan karya sastra arab dengan tinta emasnya sehingga menjadi sumbangan berharga bagi dunia sastra terutama di indonesia. Melalui makalah ini, kami akan mencoba memaparkan bagaimana sastra arab dalam karya Goethe.


Tulisan ini ini meliputi pembahasan yang berkaitan dengan perhatian goethe terhadap sastra arab dan permulaan dia mengenal terhadap sastra arab dan sedikit penulis paparkan biografi singkat goethe dalam dunia sastra. Semoga tulisan ini menjadi salah satu bahan bacaan yang menarik terutama bagi mahasiswa dengan jurusan bahasa dan sastra arab dan memperkaya pemahaman mahasiswa tentang sastra arab.


A. BIOGRAFI JOHAN WOLFGANG VON GOETHE
 Johann Wolfgang von Goethe dilahirkan di Frankfurt pada 28 Agustus 1749. Anak tertua dari pasanagan Johann Kaspar Goethe dan Katharina Elisabeth Textor Goethe. Ayah Goethe, asal Thuringian, belajar Hukum di the University of Leipzig. Meskipun ia tak berkarir sesuai ilmunya, namun pada 1742 ia dapat mencapai posisi sebagai kaiserlicher Rat (semacam penasehat pemerintah), yang pada 1748 menikahi putri saudagar Frankfurt. Dari semua anaknya yang lahir, orang tua Goethe hanya mendapati Johann dan saudara perempuannya Cornelia saja yang hidup sampai dewasa. Saudara perempuannya Goethe dinikahi oleh sahabat karib Goethe, J. G. Schlosser pada 1773. Tampaknya, bakat kreativitas dan kepekaan imajinasi Goethe diwarisi dari ibunya, sedangkan pembawaannya yang tenang dan teguh diwarisi dari ayahnya.

Multi talenta yang dimiliki Johann Wolfgang von Goethe menunjukkan kebesaran pemikiran dan kepribadiannya. Napoleon terkesan terhadap Goethe, setelah pertemuan mereka di Erfurt ketika ia berujar: "Voila un homme!" (Ini dia anak muda!)—karena terkesan atas kejeniusan Goethe. Goethe tidak hanya bisa disejajarkan dengan Homer, Dante Alighieri, ataupun William Shakespeare atas kreativitasnya, tapi juga segala hal mengenai hidupnya --panjang umur, kaya-raya, serta kepribadiannya yang tenang dan optimistis—- aura kebesarannya mungkin melebihi karyanya, Faust, sebuah karya kebanggaan Jerman.

Goethe menjalani masa kecilnya dalam bahagia, rumah orang tuanya yang besar terletak di Grosse Hirschgraben di kota Frankfurt, seperti disebut dalam autobiografinya Dichtung und Wahrheit. Ia dan saudara perempuannya Cornelia memperoleh pendidikannya secara private di rumah, dibawah bimbingan guru yang disewa. Buku-buku, senirupa, dan seni teater yang melimpah di sekeliling lingkungannya tampaknya banyak mengasah imajinasi dan daya intelektual Goethe kecil dengan cepat.
Semasa Perang Tujuh Tahun Perancis menduduki Frankfurt. Dan serombongan teater Perancis masuk di kota itu, dan Goethe, karena kakeknya seorang yang berpengaruh, menyebabkannya memiliki akses gratis untuk dapat menonton pementasan-pementasan teater itu. Ia banyak menimba pengetahuannya tentang Perancis melalui pementasan-pementasan tersebut serta pergaulannya dengan para aktornya. Sementara itu, bakat sastranya mulai terbentuk lewat puisi-puisi relijiusnya, novel, dan kisah-kisah kepahlawanan yang dibuatnya.

Pada Oktober 1765 Goethe—yang berusia 16 tahun—bertolak ke Frankfurt untuk kuliah di the University of Leipzig. Ia tinggal di Leipzig sampai 1768, melanjutkan kuliah hukumnya. Pada saat yang sama ia juga mengambil mata kuliah seni rupa dari A. F. Oeser, direktur jurusan seni rupa the Leipzig Academy. Seni selalu menarik minat Goethe sepanjang hidupnya.

Selama tahun-tahunnya di Leipzig, Goethe mulai menulis syair-syair ringan beraliran Anacreontic. Banyak karyanya di tahun-tahun itu diinspirasi oleh rasa cintanya kepada Anna Katharina Schonkopf, puteri penjual wine di restaurant ia biasa makan malam. Dialah yang tampil sebagai "Annette" pada setiap karyanya sepanjang tahun 1895 itu.

Pembengkakan pada nadi di salah satu paru-parunya memaksa Goethe mengakhiri pelajarannya di Leipzig. Dari tahun 1768 hingga musim semi 1770 Goethe berbaring di rumah, pelajarannya di Leipzig terpaksa berlanjut di rumah. Itulah periode dimana ia banyak melakukan intropeksi dengan serius. Penjelajahannya pada syair-syair beraliran acreontic dan rococo yang dimulainya sejak di Leipzig segera berlalu sejalan dengan pesatnya pencapaian puncak karya seninya.

B. PERKENALAN GOETHE DENGAN SASTRA ARAB
Sangatlah besar penghargaan Goethe terhadap karya sastra Arab, membuktikan kedekatannya secara pribadi dengan warna dan nilai sastra mahatinggi ini. Dalam beberapa puisi, Goethe terkesan mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada bangsa Arab karena cukup mengilhami dan mengontribusikan warna sastra tersendiri dalam karya-karyanya.

Perkenalan Goethe dengan sastra Arab, secara intensif bermula semenjak ia sebagai mahasiswa di Universitas Leipzig, tahun 1761 atau pertengahan abad XVIII. Saat Barat menyemarakkan studi-studi antropologis dan ekspedisi-ekspedisi geografis ke daratan Arab. Dalam buku keenam dari Puisi dan Cinta, Goethe mencatat perhatian besarnya pada hasil-hasil ekspedisi itu. Terutama pada Carsten Neibhur yang pernah mengunjungi Mesir, Yaman dan daerah-daerah Arab lainnya (1767). Buku Nibhur yang paling ia kagumi, berjudul Beschreibungen von Arabien atau deskripsi tentang negara-negara Arab (1767) dan dua jilid buku berjudul Reisebeschreibung nach Arabein und anderen umliegenden laendern atau investigasi deskriptif ke negara-negara Arab dan sekitarnya (Kopenhagen 1774, 1778). Dua buku ini mengilhami Goethe dalam satu karya drama berjudul Muhammad ia tampilkan di theatre Voltaire tahun 1800. Goethe mempelajari kesusasteraan Timur, tentunya tidak hanya dari Nibhur, tapi juga dari beberapa pakar kebudayaan Arab lain yang sering ia sebut. Di antaranya Peitro della Valle (1587-1652), Jean Baptiste Tavernier (1605-1689), dan khususnya Jean Chevalier de Chardin (1643-1713) yang banyak mengumpulkan khazanah sastra Arab. Di Leipzig, Goethe lebih mencurahkan perhatiannya pada sastra petualangan. Saat itulah Goethe mulai berkenalan dengan Al-Mutanabbi, penyair sufi populer di kalangan Islam, dari satu kasidah yang diterjemahkan Johann Jacob Reiske, seorang pakar bahasa Arab pada masa itu. Perhatian Goethe pada sastra Arab tidak di Leipzig saja, namun kedekatannya dengan Timur berkembang ketika di Strassburg, di universitas ini ia bertemu Johann Gottfried Herder, kakak kelasnya yang juga seorang pakar kebudayaan Timur, Herderlah yang mengarahkan Goethe mendalami bahasa Arab, sastra Arab jahili, sastra Islam dan mempelajari Al-Qur’an.

Meski demikian, tidak banyak yang mengakui kedekatan Goethe dengan dunia sastra Timur. Fritz Strich dalam bukunya Goethe dan Kesusastraan Dunia (1946. 2. verb. U. erg. Auflage 1957), menyatakan tidak menemukan bukti empiris pengaruh sastra Arab lama dalam karya-karya Goethe. Tapi bila ditelusuri lebih jauh, satu karya monumental Goethe yang ia sebut Ontologi Puisi Timur, sangat jelas warna dan nuansa sastra Timur mendominasi gaya dan setting-nya. Katharina Momsen, dalam bukunya Goethe dan Seribu Satu Malam (1981) mengungkap keterkesanan Goethe akan dunia sastra Timur. Ini terlihat dari dialog intensif Goethe dengan karya-karya puisi agung jahili yang diabadikan dengan nama ”Mu’allaqaat As-Sab’a” (7 kasidah cinta emas) dan salah satu cerita rakyat (safar) Arab yang dikenal dengan Seribu Satu Malam. Demikian juga kekagumannya akan sederet nama penyair Arab jahili: Imru Al-Qays, Amru bin Kultsum, Antara, Al-harits, Hatim Al-Tha’i, Qays bin Mulawwih, Labid bin Rabi’ah, Tharfa bin ‘Abd, dan Zuhair bin Salma. Untuk itu, tulisan singkat ini mencoba menggali warna dan roh sastra Arab dalam karya-karya Goethe, mungkinkah hal ini mengindikasikan lintas budaya Arab khususnya Islam dengan kebudayaan pada masa Goethe.

C.   SERIBU SATU MALAM
Tidak diragukan lagi hubungan erat Goethe dengan cerita rakyat ini. Satu khazanah sastra yang mendapat penghargaan besar dari bangsanya sendiri dan diklasifikasikan sebagai salah satu ”Buku Ibu” sastra tradisional Arab. Katharina Momsen menyebutkan, kisah ini mempunyai pengaruh kuat dalam karya-karya Goethe. Ia mulai tertarik dengan cerita-cerita itu semenjak kecil dari ibu dan neneknya. Sehingga wajar kisah sastra milik bangsa Arab ini memiliki tempat tersendiri di hati Goethe. Tidak dari sisi pembahasaan saja, tapi juga isi, pola penulisan dan nilainya. Dalam beberapa puisinya, Goethe banyak menyebut ”Syahrazaad” (tokoh pencerita dalam Seribu Satu Malam). Memerankannya untuk mengungkapkan perasaan tertentu. Seseorang yang mengkritik kumpulan karya Goethe, akan menemui suatu pola penulisan baru yang selalu ia gunakan. Goethe dalam beberapa karyanya sengaja membanding-bandingkan diri kepenyairan dengan Syarazaad, yang dengan begitu ia mendapati sisi-sisi unik kepenyairan dalam karakteristik Syahrazaad. Hal ini sangat mempengaruhi cara penulisan cerita Goethe.

Salah satu novel terkenalnya Wilhelm Meisters Wanderjahre (Tahun-tahun pengembaraan di Wilhelm Meisters), cukup membingungkan para kritikus yang mencoba mengidentifikasi dasar bangunan dan komposisi cerita. Penulisan novel ini terkesan tidak terikat dengan kaidah tertentu, bebas dan lepas. Sehingga membutuhkan penelusuran lain dari sisi kesatuan cerita dan keterkaitannya satu sama lain. Namun pencarian ini tidak akan menemukan hasil yang tepat, karena dalam menulisnya, Goethe mengakui menggunakan pola penceritaan Syahrazaad dalam Seribu Satu Malam. Novel ini ia serahkan kepada khalayak tidak dalam bentuk karya lengkap dan tuntas, namun disajikan dalam beberapa edisi dan bersambung. Berbentuk cerber atau drama dalam beberapa babak. Hal ini menurutnya demi menekankan keutuhan isi dan susunan bahasa pada setiap bagian cerita, dengan begitu khalayak akan mendapati kesan tersendiri dalam keindahan bahasa dan isinya. Pola penulisan ini juga ia gunakan dalam Unterhaltungen Deutscher Ausgewanderten (Percakapan Para Pengungsi Jerman). Karya ini ia sajikan seperti Seribu Satu Malam, bersambung dan terbagi dalam beberapa edisi. Menekankan hanya satu peristiwa dalam tiap bagian cerita, dan demikian selanjutnya dalam beberapa edisi. Karyanya yang lain dengan pola penulisan yang sama adalah Puisi dan Hakikat dan Selama Perjalanan ke Italia.

Tentunya keterpengaruhan Goethe oleh Seribu Satu Malam tidak melulu dalam pola penulisan, namun terkadang ia juga meminjam tema, judul cerita dan penokohan dari Seribu Satu Malam. Bahkan dalam satu drama yang ia tulis ketika masih muda berjudul Fantasi Pecinta, salah satu tokohnya bernama Aminah, ia ambil dari cerita Seribu Satu Malam. Di sini ia tidak hanya menggunakan nama tokoh, tapi juga memerankan Aminah sesuai setting dan karakteristik yang diperankan dalam Seribu Satu Malam. Nuansa drama ini terkesan disominasi karya sastra milik bangsa Arab itu.

D. SASTRA ARAB JAHILI 
Orang pertama mengenalkan dunia Barat dengan sastra Arab jahili adalah William Jones (1746-1794), dengan bukunya Poaseos Asiaticae Commen tarii Libri Sex atau penjelasan Mu’allaqaat As-Sab’a yang di terbitkan tahun 1774. Semenjak itu karya ini mewarnai wacana sastra Barat dengan bertebarannya bentuk asli juga terjemahan-terjemahannya. Dalam banyak hal, Goethe tampak mencurahkan segenap perhatiannya pada kreativitas bangsa jahili itu. Ini bisa kita baca dari ungkapannya, ”Bangsa Arab adalah bangsa yang membangun kebesarannya dari warisan sejarah moyang dan memegang teguh adat-istiadat yang mereka anut semenjak dahulu kala.” Beberapa hal yang membuat Goethe jatuh hati pada sastra jahili. Pertama, ciri-ciri umumnya yang menggambarkan suatu kebanggaan terhadap diri sendiri (suku), keturunan dan cara hidup. Begitu juga ketinggian bahasa yang mampu menghiasi sesuatu menjadi begitu indah dengan bahasa-bahasa singkat. Selain itu, keterpautannya dengan alam, penggambaran tentang gairah hidup, tanggung jawab, keabadian cinta, kesetiaan, pengorbanan, kepatuhan dan keteguhan mereka memegang kepercayaan. Ciri-ciri ini didukung kondisi alam dan bentuk sektarian struktur sosial Arab.

Seperti banyaknya pertikaian antaretnis yang memunculkan peran-peran keperwiraan dan kejantanan dalam puisi-puisi jahili. Demikian juga cara hidup nomaden. Sehingga hampir keseluruhan sastra jahili berbentuk sastra petualangan. Buku Zulikha, yang ia tulis setelah berpisah dengan Marianne Willemer sang kekasih (1815), sangat mirip dengan langgam puisi Imru’ Al-Qays.

Aliran Tasawuf Wujudiah (Eksistensialisme)

Ajaran tasawuf yang sangat di gandrungi oleh para pengamal Tharikat Mu’tabarah itu tidak hanya berkembang di daerah Timur Tengah saja tetapi sudah merambat jauh ke negara-negara lain khususnya Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Indonesia dan Brunei Darussalam Melalui makalah ini, kami akan mencoba memaparkan biografi ringkas dari tiga orang tokoh sufi yang mengembangkan paham tasawuf di Indonesia serta ajaran dan karya-karya mereka.

pada tulisan i ini meliputi pembahasan yang berkaitan dengan ahli tokoh aliran wujudiah (existensialisme), permasalahan tersebut meliputi pengertian, perbedaan dan salah satu tokohnya..


A.    DUA KELOMPOK ALIRAN SUFI

Pada umumnya jamaah ahli tariqah Al-Mu’tabarah yang ada di Indonesia pada abad ke-16 dan 17 yang mengaku mengikuti dan menganut ajaran kaum sufi itu terbagi kepada 2 (dua) golongan yang kadang-kadang tampak saling besebrangan yakni ada yang dapat dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj dan Ibn Arabi dan ada pula yang tidak. Yang pertama disebut kaum sufi Wujudiah (Pantheisme/Wahdatul Wujud), sedang yang kedua disebut kaum sufi Ahlissunnah Waljamaah.


B.    ALIRAN WUJUDIAH DAN SUMBER AJARANNYA

Pada mulanya ajaran ini disebut aliran Wahdatul Wujud (munisme) atau Aliran Faidh (emanisme) seterusnya di zaman Syamsuddin al-Sumatrani (murid oleh Hamzah al-Pansuri) hingga dalam sastra Malayu dikenal dengan aliran martabat tujuh. Naruddin al-Raniri lah yang menyebutnya dengan nama aliran Wujudiah . Yang dia maksud aliran Wujudiah ini adalah orang-orang yang mempunyai paham bahwasanya segala apa yang ada (maujudat) ini walaupun kelihatannya banyak namun pada hakikatnya satu jua yang merupakan kesatuan antara Zhahir (kulit) dan batin (isi) yakni Allah swt. Dan sekalian mahlukNya. Kaum wujudiah pun telah mengatakan bahwasanya `ain dzat terbagi dua, yaitu; yang pertama `ain tsabitah dan yang kedua `ain kharijah. Alam yang kelihatan ini `ain kharijah. (kulit luar dari `ain tsabitah / al Haq/Tuhan) jadi apa yang dikatakan alam dan apa yang dikatakan Allah itu pada hakikatnya satu jua. Dengan pengertian bahwasanya esensi dari maujudat ini adalah Tuhan. Atau dalam kata lain wujud mahluk ini sebenarnya subtansi dari wujud sang Khaliq. Seperti inilah yang disebut paham aliran wujudiah yang oleh sebagian buku disebut paham imanenisme dan paham pantheisme yang lebih pupoler dengan istilah martabat tujuh.

Pada praktiknya paham wujudiah ini menitik beratkan fokus batin terhadap Nur Muhammad yang menurut mereka adalah asal segala wujud dalam aktifitas sehari-hari. Di antara ulama-ulama sufi yang tidak termasuk dari golongan mereka (wujudiah) adalah al-Qusyairi al-Junaid dan Ibn Ataillah. Selurah kaum Ahli Sunnah Waljamaah pun menentang terhadap ajaran ini karena menurut mereka ajaran ini tidak bersumber kepada Alquran dan Al-Hadits yang sahih. Syekh Khalid Al-Baghdadimenyebutkan bahwasanya Ibn Arabi, Ibn Sab’in dan beberapa orang selain mereka telah mengadopsi beberapa potongan ajaran filsafat yang mereka gubah menurut bahasa mereka sendiri dan kemudian mereka masukkan kedalam ilmu tasawuf. Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad menyebutkan bahwa sebagian besar karya Ibn Arabi itu termasuk kelompok buku-buku yang terlarang untuk dibaca.Paham wujudiah ini masuk ke-Indonesia dari dua arah (dari Arab, yaitu kitab Al-Insan al-Kamil karya al-Jili dan dari India yaitu kitab al Tuhfah al Mursalah karya Al-Gujarati). Kaum sufi memang banyak membikin istilah-istilah sufistik seperti yang tersebut dalam kitab al-Qusyairiyah, al-Manhal ash Shafi dan Tanya Jawab Sufistik yang di antaranya adalah yang berkenaan dengan ma’rifat. Dalam istilah Al-Bisthami ada yang disebutnya : “fanaul fana”, yaitu hapusnya segala yang baharu dalam yang mutlaq. Mengenai teori penciptaan, Al-Hallaj berbeda dengan ibn Arabi, Al-Hallaj menggunakan teore emanisme (Al-Faidh) yang berdasar kepada Perjanjian Lama /israiliyat tentang penciptaan alam,yangberbunyi
خلق الله ادم على صورته

Sedang Ibn Arabi menggunakan teori monisme (tajalli) yang artinya wujud yang sebenarnya hanya tunggal yaitu wujud Tuhan, sedang mahluk itu adalah bayang-bayang Tuhan. Proses menampakkan Tuhan keluar dalam beberapa martabat dinamakan tanazzul, sedang proses kenaikan manusia untuk kembali kepada tuhan taraqqi. Dalam futuhatnya Ibn Arabi menyebutkan empat martabat. 4 (Empat) martabat ini kemudian oleh al-Gujarati dikembangkan hingga 7 (tujuh) martabat, yaitu:

1) Ahadiyah :Tidak Menentu hakikat /kunhi/ hakikat dzat Allah semata / ke-Esaan yang murni yakni masih murni dari kaitan selainnya, yang No.1 ini disebut juga Lahut.
2) Wahdah (ta’ayyuun I) :Menentu tingkat I / ke-Esaan yang mengandung kejamakan/zhuhur yakni terbayang sifat dan asma yang belum rinci / ke esaan yang belum rinci.
3) Wahidiyah (ta’ayyun II) :Menentu tingkat II (zhuhur) yakni terbayang sifat dan asma secara rinci / keesaan yang rinci / hakikat insan . yang no 2 dan 3 ini disebut juga Jabarut.
4) Alam arwah :Ketentuan yang halus / barzakh / keutuhan yang atomis dzatnya . Disebut juga alam Malakut
5) Alam amtsal :Kesatuan yang besar tetapi belum rinci ( tidak bisa dipisah-pisah bagiannya, pencerminan roh yang disebut juga alam mulk / syahadah.
6) Alam ajsam :Kesatuan yang besar dan sudah rinci / kebendaan sempurna disebut juga alam nasut.
7) Insan kamil :Sebagai manusia cermin Tuhan yang lengkap ya’ni mencakup seluruh martabat tersebut di atas.

C. DI ANTARA KOMENTAR PARA AHLI TENTANG ALIRAN WUJUDIAH

Di antara komentar para ahli tentang aliran wujudiah :

1.    Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, beliau pernah mengatakan bahwa kadang-kadang untuk memahami kata-kata Ibn Arabi itu mesti dibutuhkan pengetahuan syariat dan tasawuf agar keyakinan seseorang tidak goyang karenanya sebab didalam masalah itu terdapat kesempatan bagi setan untuk menyatakan perannya.

2.    Asy Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, beliau pernah menyinggung-menyinggung bahwasanya ajaran wujudiah ini termasuk ajaran bid’ah seperti halnya Jabariah, Qadariyah dan Rafdhiyah.

 3. Nuruddin Siddiqi, beliau dalam bukunya ada menyinggung pendapat syeikh Ahmad Shirhindi Al Punjabi bahwasanya selagi sufi itu berada di bawah pengaruh filsafat Ibn Arabi yang telah mempercayai ajaran kesatuan apa yang ada(Imanenisme) dan cenderung untuk menghilangkan perbedaan antara Tuhan dan manusia, sedangkan kaum ulama berada dalam kesempitan paham mengenai hukum yang membawa kepada perdebatan-perdebatan yang tak habis-habisnya mengenai hal-hal yang kecil-kecil maka kedua golongan ini akan kehilangan semangat kesusilaan Islam. Golongan sufi yang seperti ini dikatakan lebih berbahaya daripada golongan yang satunya, sebab seandainya ciptaan itu tak nyata ada, hanya Tuhan sendirilah yang maujud, seperti yang dipertahankan Ibn Arabi maka kebutuhan akan agama dan hukum akan lenyap. Pendapat Syeikh Ahmad ini mungkin ada benarnya apabila kita mau belajar dari peristiwa yang terjadi pada diri tokoh-tokoh aliran wujudiah, antara lain.

1) Al Hallaj di Bagdad
2) Sidi Dzennar(siti jenar) di kerajaan Demak
3) Hamzah al Fansuri di kerajaan Aceh
4) Abd. Hamid Abulung di kerajaan Banjar (Martapura).

D.  BEBERAPA PERISTIWA TRAGIS YANG DIALAMI TOKOH-TOKOH ALIRAN WUJUDIAH

1. Al Hallaj : Sebagai akibat dari perkataannya ini maka ia pun di penjarakan selama tujuh tahun, dan di interogasi selama tujuh bulan untuk dikaji ajaran itu secara mendalam hingga akhirnya dihukum bunuh (disalib di Bagdad tahun 92 M.) karena tidak ada satu ulama pun saat itu yang membelanya. Ibn Arabi sendiri karena pandai mengulas-ulas lidah dan masih banyak pembelanya tidak sampai terbunuh, malah menjadi tokoh kontroversial dan sering didewa-dewakan oleh penganutnya dengan julukan asySyaikh al Akbar.

2. Syeikh Siti Jenar Mulanya beliu termasuk di antara walisongo namun akhirnya terpengaruh dengan ajaran Al Hallaj yang menyimpang dari ajaran Islam yang membahayakan ummat sehingga oleh para wali dijatuhi hukuman mati. Di samping itu Sidi Dzennar pernah menyatakan bahwa Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan haji ke Mekah semuanya itu adalah palsu, tidak boleh diikuti semua itu adalah kebohongan, untuk menipu semua mahluk dengan janji surga besok. Orang bodoh pada mengikuti wali yang nyata sama-sama tidak mengerti lain halnya dengan aku Sidi Dzennar. Hal ini menyebabkan berangkatnya Sunan Kali Jaga, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Modang untuk berhadapan langsung dengan Sidi Dzennar, Sunan Kali Jaga berkata “Saya akan bicara singkat saja, tuan Lemah Abang(Sidi Dzennar) silakan pilih apakah memilih hidup atau kah memilih mati, Sidi Dzennar menjawab “Saya memilih mati(yang berarti hidup). Tidak lama setelah ini (tahun 140 caka) Sidi Dzennar pun dihukum mati jenazahnya dibawa ke Demak dan dikebumikan secara rahasia.

Thursday, September 29, 2011

beuh.... beuh... beuh

panas menguliti tubuhku
dunia seakan berubah 360 derajat
hawa-hawa sumber globalisasi merayap
kau dimana sejuk?
berkutat lembaran air
tak dinyana kau meredup
bantu...
tolong hampiri jiwaku yang panas
selimuti tubuhku dengan aliran dinginmu
jangan rusak pohon disini
sumberilah uratnya dengan napas airmu
jaga dan jaga laksana saudaramu
dunia milik kita bersama

Meningkatkan Kualitas Gerakan HMI


A. Muqaddimah

Keadaan bangsa Indonesia saat ini, khususnya masyarakat Islam di dalamnya, bagaimanapun keadaan tersebut, tentu tidak bisa dilepaskan dari intervensi arus modernitas yang begitu deras dalam kita memberikan penilaian. Penilaian atas kondisi tersebut, mau menggunakan analisis apapun, dari mulai analisis sosiologi klasik, sosiologi modern, sampai sosiologi kritis, tetap saja yang diteropong adalah perubahan. Baik perubahan pada wilayah nilai maupun praktek. Dan titik dimana perubahan itu berpijak hari ini adalah pada garis modernitas (atau kalau ingin sedikit lebih ke depan, postmodernitas).

Meskipun di atas disebutkan mengenai masyarakat Islam sebagai yang khusus, namun tulisan ini akan mencoba mengurai sedikit lebih luas dari hanya meletakkan masyarakat Islam sebagai pelaku jaman. Sebab, berbicara Islam di Indonesia hari ini, pada dasarnya juga berbicara dan berfikir tentang Indonesia itu sendiri secara utuh.

Dalam perkembangannya, baik Islam, Islam di Indonesia, maupun Indonesia itu sendiri, melalui beberapa rekaman sejarah dapat dilihat fase-fase perubahannya, juga beberapa faktor serta dampak dari perubahan tersebut. Sebagai entitas yang tidak ada dengan sendirinya, keberadaan HMI hingga hari ini pun, tidak bisa dilepaskan dari beberapa konsekwensi di atas. Dapat dikatakan juga, keberadaan HMI hingga hari ini merupakan dampak sekaligus sumber dari perubahan sosial yang pernah ada (atau akan ada) di Indonesia, baik dalam konteks keislaman maupun konteks sosial secara umum.

Kemudian, di tengah kondisi dimana kecenderungan ke arah fragmentasi pengetahuan serta spesefikasi keilmuan yang memiliki pengaruh besar terhadap paradigma masyarakat, yang pada akhirnya akan menentukan bentuk masyarakat yang ada, bagaimana HMI akan memposisikan diri dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai organisasi perkaderan sekaligus perjuangan? Maka dibutuhkan refleksi sekaligus evaluasi yang dalam serta tajam selain pandangan yang jauh ke depan (visioner) untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut.

B. Merevisit HMI

Menjadi sangat penting bagi HMI, khususnya para kader, pengurus dan anggotanya untuk melihat kembali ke belakang mengenai alasan keberadaan HMI. Mengapa dan untuk siapa HMI ada? Melalui pendekatan sejarah, kita dapat mengatakan bahwa alasan mengapa HMI ada merupakan sebuah kebutuhan dari tidak hanya mahasiswa Islam pada waktu itu, namun juga masyarakat Islam di Indonesia secara khusus dan bangsa Indonesia sendiri secara umum.  Gerakan HMI pada masa awal berdirinya hingga menjelang era reformasi dapat dikatakan masif, baik gerakan pada wilayah intelektual, moral, maupun penyikapannya secara fisik terhadap beberapa persoalan yang ada. Pada kisaran tahun 1947 hingga menjelang awal orde baru, yang dihadapi oleh HMI jelas dan nyata, yaitu ancaman terhadap penjajahan jilid II dan ancaman internal (PKI). Pada awal orde baru berkuasa hingga menjelang tahun 70-an, HMI dihadapkan dengan perang pemikiran baik melawan tradisi pemikiran yang berparadigma pembangunanisme yang notabene sebagai legitimasi hegemoni negara terhadap rakyat, maupun keengganan dari masyarakat sendiri khususnya Umat Islam untuk mempebarui pola pikir keislaman.

Kemudian pada akhir tahun 90-an, HMI berhadap-hadapan langsung dengan akumulasi represifitas negara, yang hal itu mengakibatkan tidak hanya HMI, namun juga organisasi lainnya untuk bersama-sama melakukan perlawanan nyata terhadap negara (orde baru). Pada titik klimak dari gerakan mahasiswa itulah orde baru tumbang dan kran-kran demokrasi mulai terbuka. Pertanyaannya kemudian adalah, apa yang saat ini sedang dihadapi oleh HMI?

Perlu untuk melihat kembali keberadaan HMI dengan sedikit membaca sejarahnya. Dari pembacaan atas keberadaan HMI tersebut, dapat dilakukan analisa mengenai pola-pola gerakan yang dilakukan oleh HMI dalam menghadapi jaman yang tentu saja mengandung masalah dan akar yang tidak sama persis. Apa yang telah tertuliskan di dalam lembaran hasil-hasil kongres, tidak lain hanyalah sebatas mimpi, atau lebih tepatnya gambaran ideal. Untuk bisa mewujudkan mimpi tersebut, maka mimpi yang ada di dalam lembaran hasil-hasil kongres harus dikeluarkan, harus dikontekstualisasikan dan didialogkan dengan realitas. Apakah Lima Kualitas Insan Cita HMI harus sama persis dengan teks yang ada, atau harus diformat ulang dalam arti dicarikan relevansinya dengan masa kini. Kembali kepada merevisit HMI, apa yang telah berlangsung di dalam sejarah, kemudian apa yang telah dihasilkan oleh sejarah, serta apa yang bisa atau telah diproyeksikan oleh sejarah, paling tidak HMI harus menampung itu semua sebagai bahan untuk menimbang ulang serta mempertegas kembali minimal fungsi dan peran HMI. Yang secara ekstrimnya, fungsi dan peran itulah yang merupakan bagian penting dari beberapa syarat keberadaan HMI. Dan aktualisasi dari fungsi dan peran yang dimaksud tersebut haruslah memiliki selain signifikansi, juga relasi dengan konteks yang ada (relevan).

C. Menentukan common enemy dan memilih isu strategis

Hal paling sederhana yang mampu menciptakan kesolidan dan kesamaan gerakan, adalah musuh bersama. Penjajah dan PKI, pada era awal kemerdekaan, adalah musuh bersama bagi  tidak hanya masyarakat indonesia, namun juga HMI. Arus dan paradigma pemikiran yang berkiblatkan Barat, pernah juga menjadi musuh bersma dalam konteks pemikiran di Indonesia. Selain itu, orde baru dengan hegemoninya melalui konsep pembangunanisme, serta represifitas dan otoritarianisme sebagai alatnya, menjadi musuh bersama hampir seluruh masyarakat indonesia yang  pro akan perubahan ke arah yang lebih baik.

Keberadaan dan dipilihnya common enemy tersebut sedikit banyak telah melahirkan selain kesadaran bersama, juga kekuatan yang lebih besar dan pasti dalam melakukan suatu gerakan. Sebagai artikulator, HMI seharusnya lebih mampu untuk menjadi inisiator penentuan tentang apa atau siapa musuh bersama masyarakat Indonesia, apa atau siapa musuh bersama HMI. Meskipun pada tingkatan lokal, HMI di cabang-cabang memiliki varian fokus gerakan masing-masing. Tetapi untuk hal yang lebih besar, HMI harus memiliki itu, dan itu harus ditemukan kemudian dipilih, secara tepat!

Dampak positif lain dari langkah ini adalah akan meminimalisir terkurasnya tenaga dan fikiran secara sia-sia dalam  pergulatan tidak produktif pada wilayah internal. Serta mampu mengarahkan sehingga gerakan HMI bisa lebih fokus dan konsentratif.

Harus diakui bersama bahwa HMI hari ini sedikit mengalami jalan di tempat (untuk tidak mengatakan stagnasi atau bahkan kemunduran). HMI hari ini tidak atau belum memiliki isu yang bersifat strategis, isu yang memiliki dampak sistemik jika tidak disikapi. Misalnya saja tentang ekonomi, yang menjadi perhatian serius dari HMI terkait dengan isu-isu ekonimi? Mengenai pendidikan, kebudayaan, politik, serta beberapa isu yang berada pada berbagai sektor. Yang ada di HMI adalah bidang atau lembaga sektoral (misalnya lembaga ekonomi, lembaga pers, bidang ekonomi-politik, bidang pendidikan- kalau ada- , serta keberadaan lembaga atau bidang sektoral lainnya). Namun tetap saja selama ini lembaga atau bidang tersebut kebingungan atas apa yang akan dikerjakan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya isu strategis tersebut, yang isu itu diharapkan dapat merangsang progressifitas gerakan HMI dalam ikut menjawab tantangan jaman.

Terkadang juga, HMI –baik pada struktur Pengurus Besar hingga Cabang atau Komisariat-  sering melakukan kesalahan dalam menentukan musuh bersama maupun memilih isu strategis. Apakah disebabkan oleh pisau analisis yang lemah, atau kurang jeli dalam mengidentifikasi aktor dan isu, yang jelas hal ini harus menjadi perhatian bagi HMI. Salah satu kesalahan saja misalnya, HMI dalam menyikapi isu yang sedang berkembang tentang Bank Century, sudah kehilangan makna dan signifikansinya. Penyikapan HMI terhadap isu yang ada masih sngat parsial, sebatas permukaan, dan belum menyentuh kepada inti persoalannya, substansinya. Padahal yang memiliki dampak sistemik dari sebuah masalah terletak pada intinya, bukan pada variannya, atau isu sebagai pengalihan isu.

Oleh karena itu, ke depan HMI harus lebih memiliki kualitas gerakan yang lebih bagus. Dan hal itu salah satunya dapat dimulai dari penentuan terhadap musuh bersama memilih isu strategis yang tepat.

D. Merumuskan model gerakan yang tepat

Model dan pola gerakan HMI tidak sama persis dengan model dan pola gerakan mahasiswa yang lain. Adapun persamaan, mungkin itu dalam beberapa hal yang sifatnya furu’, profan. Jika mengacu kepada AD/ART HMI, maka gerakan HMI merupakan formulasi akhir dari beberapa ramuan seperti tujuan, fungsi, peran, arah perjuangan, yang dikombinasikan dengan kebutuhan dari HMI sendiri dan masyarakat, dan diakulturasikan dengan realitas atau kondisi yang sedang berlangsung. Sehingga gerakan HMI dapat benar-benar merupakn gerakan yang sifatnya signifikan, realistis, relevan, dan mudah untuk dievaluasi.
Dari beberapa ramuan seperti disebutkan di awal, itu akan menentukan model dan pola gerakan HMI, baik pada masing-masing Cabang, maupun HMI dalam skala nasional, yang dalam hal ini PB HMI. Setelah dirumuskan model gerakan yang tepat bagi HMI, hal lain yang harus diingat adalah jangan pernah lupa meletakkan NDP sebagai kerangka dasar metodologinya, sebagai fundamental valuenya.

F. Re-empowering ideologi dan metodologi gerakan

Sebuah gerakan harus memiliki ideologi. Sebagai bagian dari masyarakat, HMI memiliki ideologi yang permanen. Islam sebagai satu-satunya ideologi, harus mampu menggerakkan, mengarahkan, menjadi pisau analisa, sekaligus dari Islam tersebut akan dilahirkan inspirasi-inspirasi gerakan. Pemahaman dan internalisasi ideologi sangat mempengaruhi komitmen dan konsistensi gerakan. Sejauh mana ideologi tersebut dipahami dan terbatinkan, sejauh itu juga sebuah gerakan akan besar, maju dan efektif. Bagaimana HMI memahami dan bersikap terhadap ideologi? Pertama, bahwa Ideologi harus berangkat dari pandangan dunia dan basis epistemologi yang jelas. Dalam hal ini Islam sebagai satu-satunya ideologi HMI, harus menjadikan nilai-nilai Islam sebagai dasar perjuangan dan gerakan HMI. Kedua, perlu adanya penguatan ke dalam terhadap ideologi, sehingga kekuatan di dalam akan melahirkan dorongan kekuatan keluar. Wacana sebagai nutrisi penguat ideologi harus diperkaya, Islam harus selalu diinterpretasikan kemudian diaktualisasikan, tentu harus selalu dikontekstualisasikan dengan situasi dan perkembangan isu yang ada. Bagi HMI, dalam hal ini pemahaman lebih dalam terhadap NDP menjadi sangat penting.

Niat baik akan baik juga hasilnya jika dilaksanakan dengan cara yang baik dan benar (tepat). Bagi gerakan HMI, ilmu tentang sebuah cara dalam menjalankan ide sangat penting. Sebab dengan itulah tingkat keberhasilan sebuah gerakan dapat diukur dan dievaluasi. Gerakan HMI harus memuat tiga hal pokok, pendidikan, empowering, dan advokasi. Tiga hal pokok tadi harus terjangkau dalam satu jenis atau bentuk program kerja HMI. Membicarakan mengenai metodologi gerakan, dalam ruang yang terbatas ini tentu tidak dapat secara detil. Berikut beberapa kerangka terkait dengan metodologi gerakan (sederhana dan lebih subyektif, hasil refleksi lapangan). Pemahaman terhadap realitas (fenomena atau fakta). Menangkap fenomena, untuk menemukan noumena di baliknya. Memilih dan melahirkan isu strategis, Isu yang harus menghegemoni, serta Analisa dan Perencanaan yang matang.

G. Penutup

Dalam berkader dan berjuang untuk umat dan bangsa melalui HMI, kita tidak perlu takut atau khawatir dikritik  bahkan disalahpahami. Sebagaimana ungkapan Cak Nur, “Jika kita takut dikritik dan disalahpahami, maka say nothing, do nothing, dan be nothing”. Mengutip Isa Anshari, “hanya api yang bisa menyalakan kayu, hanya kayu yang menyala yang bisa menyalakan kayu-kayu yang lain. Hanya yang hak yang bisa meyakinkan hati, hanya hati yang yakin yang bisa meyakinkan hati-hati yang lain”. Untuk HMI, teruslah berkarya dan selalu yakin usaha sampai. Jangan pernah kita merasa sudah sampai kepada kebenaran, sebab jika begitu, justru kita akan semakin jauh dari kebenaran dan kita hanya akan menjadi manusia yang congkak. Berkader dan berjuang adalah tanpa batasan ruang dan waktu, hingga Illahi menghendaki saat dimana kita harus menghadap. Dengan demikian  tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu, dan beramal (NM; 1971). Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Wahyu Minarno
Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta 2010-2011.
Ketua Lembaga Kajian Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat

Wednesday, September 28, 2011

Melestarikan Gubuk Sastra

Gajah mati meninggalkan gading, Manusia mati meninggalkan karya, begitulah isi sambutan dari M. Faisol, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Dalam rangka pembukaan Gubuk Sastra yang di prakarsai oleh HMJ Bahasa dan Sastra Arab, tepatnya 28 September 2011 bertempat di gedung B Kampus UIN Maliki Malang. Acara pembukaan Gubuk Sastra sebagai program kerja Divisi Tarqiyatul Adab, dimulai dengan khotmil Qur’an bertempat di Kantor HMJ BSA ba’da Ashar dan dilanjutkan dengan Seremonial jam 8 malam sebagai bentuk keperdulian dan tanggung jawab terhadap perkembangan dan pelestarian sastra saat ini.
Dalam hal ini, Gubuk Sastra sebagai wadah mengembangkan kreatifitas dan bakat, diharapkan juga mampu menghasilkan para ahli sastra, baik puisi, cerpen, novel dan bentuk sastra lainnya. Sehingga muncul para sastrawan masa depan dari Gubuk Sastra ini. Tenggelamnya Kapal Vanderwick oleh Buya Hamka, Andrea Hirata dengan Laskar pelangi nya, banyak lagi sastrawan masa kini dengan berbagai macam genre, tidak ketinggalan Habiburrahman El Shirazy yang fenomenal berkat karya Ayat-Ayat Cinta, baik Novel atau Film yang diangkat dari karyanya tersebut adalah sebagian contoh Sastrawan dengan apresiasi yang tinggi atas karya mereka .
Bagimana kita memulai membuat karya? Pertanyaan dari mahasiswa baru ini ditujukan kepada Sekjur M. Faisol, M.Ag dalam sesi tanya jawab perihal Gubuk sastra. Beliau menanggapi dan apresiasi terhadap mahasiswa yang telah menelurkan karyanya, terutama bagi mereka yang telah berani mengirimkan karyanya ke media massa. Di mana dan kapanpun kita bisa memulainya, jangan pernah putus asa dan menyerah dalam membuat sebuah karya, beliau mencontohkan bagaimana seseorang berusaha mengirimkan karyanya ke media massa meskipun telah puluhan kali gagal dimuat, dan pada akhirnya kepuasan dicapai setelah usahanya membuahkan hasil. Hal yang terpenting adalah mencoba, dengan mencoba peluang untuk berhasil lebih besar daripada tidak sama sekali.
Antusiasme yang ditunjukkan oleh para hadir yang terdiri dari sebagian pengurus, mahasiswa baru dan sesepuh Gubuk Sastra adalah bentuk kepedulian terhadap kemajuan sastra. Ketika karya kita dikenal oleh orang lain dan mendapat apresiasi yang tinggi bukanlah kebanggaan pribadi semata, baik keluarga, sanak saudara dan tentunya guru kita turut menaruh rasa bangga atas hal tersebut, walaupun banyak resiko yang akan dihadapi, baik buruknya kualitas tata bahasa dan kritik yang membangun adalah tantangan kita untuk menghasilkan sebuah karya.
Gubuk Sastra hanyalah sebagian dari wadah untuk mengembangkan sastra, terutama bagi kalangan mahasiswa yang memiliki kemauan untuk ikut andil melestarikan sastra, dengan dibukanya Gubuk Sastra ini diharapkan dapat menjaring banyak calon sastrawan masa depan dan memunculkan karya-karya fenomenal yang diakui dan diapresiasi positif. Semua butuh proses, begitulah penutup dari sambutan M. Faisol, M.Ag. dibalik kesuksesan ada sebuah proses untuk menuju kesuksesan, mencoba dan berani untuk memulai menjadi kunci untuk mengawali proses tersebut, di mana dan kapanpun kita mau untuk memulai, saat itu juga proses akan dimulai, harapan kedepan beliau juga menginginkan para hadir tentunya mengaplikasikannya alias praktek langsung dan membuktikan karya yang telah berhasil dibuat.

Sunday, September 25, 2011

Teologi Islam

PENGERTIAN TEOLOGI
Menurut William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa Inggris yaitu theology adalah Pemikiran tentang ketuhanan
Menurut William Ockham, Teologi adalah Disiplin ilmu yang membicarakan kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan.
Menurut Ibnu Kaldun, Teologi adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional

Kemunculan Teologi Islam
Internal -> Politik -> Teologis

Dimulai setelah meninggalnya Khalifah Umar ibn Khottob dan pengaruh kepemimpinan Usman ibn Affan yang dinilai mengandung sisi Nepotisme Kekeluargaan sehingga timbul kecemburuan sosial di berbagai pihak , sehingga banyak kalangan yang meninggalkannya dan juga terjadinya pemberontakan yang menyebabkan dia terbunuh.


Muawiyah yang kala itu menjabat Gubernur Damaskus dan sebagai keluarga dekat Usman ikut andil menggoyahkan kepemimpinan Khalifah setelah Usman meninggal, Ali sebagai calon terkuat untuk menggantikan usman ditantang langsung oleh Muawiyah dan menyatakan yang berhak menjadi khalifah setelah Usman adalah dia.
Konflik Internal ini menyebabkan peperangan dari pendukung kedua kelompok ini, sehingga terjadilah kesepakatan untuk musyawarah dengan arbitase, sebagaimana sejarah mencatat bagaimana amr ibn ash mengelabui “licik” Abu Musa Al Asy’ari dalam musyawarah tersebut.

Tentang Teologi
Tauhid berarti Keesaan
Ilmu Kalam yaitu Kalam Allah, Perdebatan, Dialektika
Ushuluddin yaitu dasar-dasar agama

Teologi Islam menggunakan Al Qur’an dan Hadits sedangkan Filsafat hanya menggunakan Rasional. Dalam metode metafisika (Ontologi) sulit dipahami secara rasional.
Pendekatan tuhan secara filsafat bisa dengan intuisinisme, illuminasi dan tasawwuf dalam lingkup sederhana.

Puisi Hati

Seringai Bianglala
Teratai berombak ditepian rindang pohon benalu
Setetes embun terurai lepaskan senandung gelisah
Kuterjatuh lubuk meninjau karang
Hembus kain melambai bianglala
Di atas mendongak arah
Sulit jerami bertanam jamur
Congkak mencangkok di batangku

Lepas rantai kendali melilit
Terhempas sangat tak terarah
Sulit jerami terbakar
Basah – basah pun bebek membelukar
Dimana lubang tak bertuan
Basah rasanya menerawang
Tak tahu siapa yang di atas
gerus... terus... gerus...
Lawan siapa menantang tuk hidup

Malang 25 Sept 2011
Terik Mentari panas