Pages

Wednesday, April 11, 2012

Kolokial




Variasi bahasa (ragam bahasa standard dan non-standar), di dalam setiap bahasa mempunyai nama yang berlainan. Di dalam bahasa arab kita mengenal dengan adanya al-fusha sebagai ragam standar, dan ad-darij sebagai ragam non-standar (Chaer A, (2007: 62).  
Bahasa dalam penggunaannya, tidak akan terlepas dari tindak sosial. Begitupun dengan bahasa arab, peranan serta penggunaan menjadikan bahasa arab cendrung untuk selalu berubah.
Petada M, (1987:15) berpendapat terdapat dua faktor yang mempengaruhi aktivitas berbicara yang menjadikan bahasa itu berubah, yaitu faktor social dan situasional, faktor situasi mempengaruhi pembicaraan terutama dalam pemilihan kata-kata dan bagaimana caranya mengkode apakah dalam keadaan formal, santai, serta situasi lainnya yang mempengaruhi tindak bebahasa. Sedangkan faktor social ialah seperti jenis kelamin, latar belakang social ekonomi, tempat tinggal, dan status lainnya.


A.     Pengertian dan Ciri

Berbicara tentang kolokial (colloquial / a’ammiyah), di dalam semua bahasa yang di gunakan terdapat fenomena yang disebut dengan kolokial.  Dari segi penggunaan, kolokial terjadi tataran ragam bahasa santai (casual language).
Kolokial (colloquial) adalah bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat penutur bahasa di daerah tertentu, kolokial dikenal juga sebagai bahasa sehari-hari, bahasa percakapan atau vernakuler (Maryono D, 1995: 28). Yang terjadi pada ragam bahasa non-standar (ammiyah) (Petada M 1987: 55). Kolokial terjadi pada ragam bahasa lisan, karena ragam bahasa lisan cendrung bersifat praktis dan bersifat melanggar aturan kaidah tatabahasa. Bahasa kolokial khas bagi situasi bertutur tertentu, yakni situasi santai (Basuki Suhardi, 1995:163). Kosakatanya berupa kata-kata yang telah mengalami penurunan sesuai situasi.
Dan munculnya bentuk bahasa kolokial, karena dalam berbahasa ada prinsip efisiensi tenaga (the law of least effort) pada semua penutur bahasa, yakni setiap penutur bahasa akan berusaha mengganti bunyi-bunyi yang dirasa berat diucapkan dengan bunyi yang lebihringan selama hal itu memungkinkan dan tidak menimbulkan kerancuan makna (Kholisin, 2005: 195).

Dari beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa pengertian kolokial,

1.      Pengertian kolokial
a.      Kolokial dekenal dengan bahasa sehari-hari
b.      Kolokial, mengkesampingkan  kaidah tatabahasa yang dipentingkan adalah keterfaman antara kedua penutur
c.       Kolokial digunakan dalam dialek tertentu, pada ragam bahasa non-formal.

2.      Adapun ciri-ciri dari kolokial,
a.      Kolokial menggunakan ragam bahasa lisan bukan tulisan
b.      Ujaran dan isi pembicaraan yang ringkas
c.       Bobot pembicaraan ringan
d.      Adanya kedekatan antara kedua penutur.

B.      Contoh Penggunaan kolokial

Beberikut beberapa contoh kolokial, yang diambil dari McLoughlin, L. J  (2003: 14-15),

1.      Dalam tataran kata ganti sebagai subjek (Subjek Pronouns)
No.
Tunggal
Jamak
Standar
Non-Standar
Standar
Non-Standar
1
Ana
-
Nahnu
iHna
2
Anta
‘Inta
Antum
‘intoo
3
Anti
‘intee
Antunna
intoo
4
Huwa
-
Hum
-
5
Hiya
-
Hunna
Hum


2.      Pada tataran Idiomatik Dialek Arab
No
Standar
Non-Standar
Arti
1
Kayfa haaluka ?
Kayfak ?
Apa Kabar (L) ?
2
Kayfa haaluki ?
Kayfik ?
Apakabar (P) ?

3.      Tataran Idiomatik Dialek Syiria
No
Standar
Non-Standar
Arti
1
Kayfa haaluka ?
 Shlawnak ?
Apa Kabar (L) ?
2
Kayfa haaluki ?
 Shlawnik ?
Apakabar (P) ?


Jadi dapat disimpukan bahwa kolokial hanya terjadi pada bahasa lisan, dengan ragam non-standar.  Koloial dilakukan oleh penutur bahasa yang memiliki kesamaan dialek, geografis, sosial, serta bobot pembicaraan dalam kolokial bersifat ringan, dimana antra kedua penutur sudah terjalin kedekatan dan saling pengertian dalam memahami bahasa mereka, tanpa memperhatikan sistem kaidah kebahasaan.


C.      Daftar Pustaka
Chaer, A. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer A, dan Leonie Agustina. (1995). Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta:
                     Rineka Cipta.
      
      Kholisin. (2005). Pola Asimilasi Dalam Bahasa Arab: Kajian Morfofonemis Asimilasi
            Dalam Al Quan. Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 33, Nomor 2, Agustus 2005.
   McLoughlin, L J. (2003). Colloquial Arabic (Levantine). London: Routledge,

     Pateda, M. (1987). Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Tujuan Membaca



                                                      Tujuan Membaca

Banyak dari para ahli pada bidang membaca berpendapat bahwa pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada tujuan dalam pembelajaran membaca menetapkan dasar yang paling baik yang dapat dilaksanakan untuk mendemonstrasikan akuntabilitas atau pertanggungjawaban dalam kegiatan membaca.
 Taringan (1985: 2-17) mengemukakan Secara garis besar kegiatan membaca mempunyai dua maksud utama, yaitu:
a.        Tujuan behavioral, yang disebut juga tujuan tertutup, atau tujuan intruksional.
Pendekatan yang berorientasi pada pada tujuan dalam pembelajaran membaca menekankan kepada beberapa bentuk tujuan yang ada kaitannya dengan perilaku siswa (Taringan 1985: 8). Lalu Montague dan Buts di dalam (Taringan 1985: 8) menambahkan bahawa tujuan behavioral adalah sasaran atau hasil yang diinginkan dari proses belajar, yang jelas-jelas dinyatakan oleh perilaku atau penampilan siswa yang dapat diamati. Tujuan behavioral ini biasanya diarahkan pada kegiatan-kegiatan membaca:
1)      Memahami makna kata (word attack)
2)      Keterampilan-keterampilan studi (study skliis)
3)      Pemahaman (comprehension).
b.      Tujuan ekspresif atau tujuan terbuka
Tujuan ekspresif ini sangat berbeda dengan tujuan behavioral atau tujuan inruksional. Tujuan ekspresif  tidaklah menentukan perilaku yang dapat oleh sang siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
Di dalam tujuan ekspresif terkandung dalam kegiatan-kegiatan:
1)      Membaca untuk pengarahan diri (self-directed reading)
2)      Membaca penafsiran, membeca interpretativ (interpretative reading),
3)      Membaca kreatif (creative reading)
Di dalam tujuan membaca, dibedakan antara istilah initial reading dengan advance reading. Initial reading adalah membaca untuk mengerti bunyi (reading for sound). Sedangkan advance reading adalah membaca untuk mengerti (reading for meaning) (Mara’at 2009: 80,81).
a.       Membaca untuk Mengerti Bunyi
Di dalam initial reading, merupakan kegiatan pengenalan fonem pada pelajar pemula biasanya anak-anak, pada tahapannya pembaca harus mengenal fonem kemudian menggabungkan (blending) beberapa fonem menjadi suku kata atau kata.
b.      Membaca untuk Mengerti Arti (Advanced Reading)
Seperti kita ketahui membaca merupakan suatu proses mengetahui makna, kemudia urutan proses yang dilalui adalah dari bahasa tulisan – pencatatan (recording) – langsung ke makna (meaning). Beberapa ahli mengemukakan bahwa dalam membaca terjadi transformasi langsung dari bahasa tulis ke makna (pengertian), karena pengertian yang ditangkap dari teks lebih dibimbing oleh konseptual manusia dari pada oleh kata-kata yang tertulis dalam teks, namun beberapa ahli mengemukakan bahwa proses membaca tergantung pada sifat tulisan (Ma’rat, 2009: 83).

Daftar Pustaka
            Mar’at,s. (2005). Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.


Taringan H.  (1985).  Membaca Ekspresif. Bandung: Angkasa.
 

Friday, April 6, 2012

Membaca



    A.    Hakikat Membaca
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus komunikasi tanpa batas perlu diimbangi dengan kemampuan berbahasa yang memadai salah satuya membaca. Pada hakikatnya membaca merupakan perwujuadan atau kesatuan berbagai macam proses kemudian berakumulasi pada satu perbuatan tunggal. Hal ini kita harus memandang membaca merupakan suatu kegiatan yang aktif yang dilakukan secara sadar  dan bertjuan.
1.      Pengertian Membaca
Kata membaca di dalam bahasa Arab dipadankan dengan kata qiroah, yang memiliki artiنطق بالمكتوب فيه  yang berarti membaca (Munawwir 1997: 110), (Al Munjid 2005: 21). Lalu membaca juga di dalam bahasa Arab sering disejajarkan dengan istilah  مطالعة yang berpadanan dengan istilah menelaah (pursal), mempelajari,   تلاوة membacakan atau recital (Baalbaki, 1995: 855).  Melihat dari pengertian membaca di atas, sesuai dengan tujuan dan fungsinya, kata membaca menggunakan padanan yang berbeda di dalam bahasa Arab.
Membaca merupakan suatu keterampilan yang berkaitan erat dengan keterampilan dasar pada manusia yaitu berbahasa (Wiryodijoyo, S. 1989: 1). Dengan bahasa manusia dapat saling berkomunikasi, dengan memiliki kemampuan membaca seseorang bisa berkomunikasi tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Berikut pengertian membaca menurut beberapa tokoh yang diambil dari (Wiryodijoyo, S. 1989: 1-2) adalah sebagai berikut,
a.       Heliman,  mengemukakan  membaca adalah proses mendapakan arti dari kata-kata tertulis;
b.      Carter, membaca merupakan suatu proses berpikir yang di dalam nya terdapat kegiatan mengartikan, menafsirkan arti, dan menerangkan ide-ide dari lambang;
c.       Carol, menurutnya membaca merupakan dua tingkat proses dari penerjemahan dan pemahaman kode pesan penulis, dan pembaca memahami dan mengartikan kode itu;
d.      Cole, berpendapat mebaca merupakan proses psikologis untuk menemukan arti kata tertulis. Dalam proses membaca melibatkan indra penglihatan, gerak mata, pembicaraan batin, ingatan, pengetahuan, mengenai kata yang dapat dipahami, dari pengalaman membacanya;
e.       Andreson, Richard C, mereka berdua berpendapat bahwa membaca merupakan proses membentuk arti  dari teks-teks tertulis;
f.       Lalu Wiryodijoyo, menurut pandanyan beliau, membaca merupakan proses pengucapan kata-kata dan pemerolehan arti dari barang cetakan. Kegian tersebut melibatkan analisis dan pengorganisasian berbagai keterampilan yang kompleks, termasik di dalamnya pelajaran, pemikiran, pertimbangan perpaduan, pemecahan masalah, yang berarti menimbulkan kejelasan informasi bagi pembaca.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa, pada pengertian poin (a) merupakan proses membaca yang sederhana, tahap pemula, yaitu pembelajar membaca tahap awal.  Kemudian pada pengertian poin (b) merupakan tahapan yang lebih maju, karena di dalam proses membaca dibicarakan kegiatan berpikir, menafsirkan, dan penerapan isi pikiran atau maksud. Lalu pada poin (c) definisi membaca memiliki proposisi pemahaman dan kode, jadi pemahaman pembaca harus sesuai dengan kode atau maksud dari pengarang.
Untuk pengertian poin (d) telah disinggung kegiatan batin, dan pengalaman pemabca. Pengertian poin (e) memiliki pengertian, membaca untuk tahap lebih lanjut, karena di dalamnya membutuhkan kemampuan mengingat, berpikir, menafsirkan, serta mengahayati teks bacaan secara benar, dan kegiatan membaca pada tahap ini membutuhkan kehati-hatian. Lalu definisi membaca untuk poin (f) membaca merupakan suatu kegiatan yang komplek, karena menggunakan semau kemampuan mental manusia seperti kemampuan menganalisis, mempertimbangkan, memecahkan masalah untuk segala masukan yang akan direkam di dalam batin pembaca ataupun tidak.
Jadi dapat disimpulkan membaca merupakan suatu cara untuk berkomunikasi verbal dengan orang lain dan diri sendiri.   Pada tingkat yang lebih tinggi membaca akan memberikan penglaman rohani maupun pengetahuan kepada pembaca (Wiryodijoyo S, 1989: 3). 


Daftar Pustaka


Almunjid. (2005) Almunnjid fil Lughah wal I'lam. Liban: Beirut.
Bai'labaki R. (1995). Dictionary Arabic - English. Dar Al Ulum: Beirut.

Munawwir, W. (1997). Kamus Arab - Indonesia. Pustaka Progresif. Jogjakarta.
Wiryodijoyo, S. (1989). Membaca : Strategi Pengantar dan Tekniknya. Jakarta: P2LPTK.
 

Sunday, April 1, 2012

“MERAJUT PUISI MENGOKOHKAN JATI DIRI”

Diseminarkan oleh: Afrizal Malna Ditulis kembali oleh: Nur Khusniyati (BSA) Puisi bukanlah milik suatu kaum, namun puisi adalah milik kita semua. Semua orang berhak terhadap puisi, semua orang berhak membuat puisi, bukan karena apa bukan karena siapa namun lebih karena puisi adalah ekspresi suatu emosi dan perasaan yang muncul dari dalam diri manusia dan semua manusia pasti memiliki emosi. Kedepan mungkin akan ada semacam suatu gerakan untuk memberlakukan puisi bukan lagi dari dunia sastra. Puisi merupakan suatu memori yang tersimpa. Puisi semakin tidak ada hubungannya dengan bahasa dan sastra. Dia sesuatu yang melekat pada faktor bawahan kita sejak lahir, bersifat organik dan natural. Fenomena yang banyak terjadi di Indonesia adalah para penyair sering menjaga tradisi puitik mereka dengan personifikasi seorang ibu dan perempuan, walaupun kebanyakan dari mereka adalah laki-laki. Hal itu wajar karena ibu dan perempuan adalah sosok yang memiliki ikatan batin dan emosi yang kuat dengan mereka.. Karena ditarik dari berbagai kepentingan, puisi menjadi tercabut dari ruhnya. Fenomena yang paling umum di Indonesia misalnya mereka menulis puisi untuk dikomersilkan, menulis puisi untuk redaktur berharap akan diterbitkan di suatu kolom berita atau dicetak menjadi sebuah antologi puisi. Sebenarnya redaktur tidak akan bertanggung jawab pada puisi, mereka hanya bertanggung jawab dengan kedudukan mereka, mereka tidak mau mengambil resiko, sehingga terkadang mereka tidak mau membaca puisi-puisi pendatang baru yang ditulis oleh puitikus-puitikus yang masih belum ternama. Puisi adalah alat kritik sosial. Kedudukannya menjadi penting untuk melawan penyimpangan-penyimpangan pemerintahan, ketidakadilan, penindasan, dominasi modal, kapitalisme, monopoli dan sebagainya. Puisi juga untuk merayakan suatu kebahagiaan, merayakan suatu moment dan merekam suatu fenomena. Ketika kita mulai sibuk membuat hubungan-hubungan yang melemahkan kita atau hubungan-hubungan yang menyakiti kita maka puisi adalah tempat untuk kita kembali. Sastrawan-sastrawan angkatan pujangga baru seperti Khairil Anwar dan Sutarji Kalsum Bahri menggunakan puisi sebagai alat untuk membuang kata-kata saat mereka tidak bisa melakukan apa-apa dan merasakan penat dan sesak dengan keadaan saat itu. Terkadang kita cenderung curiga dengan puisi-puisi kontemporer. Puisi dapat ditarik menjadi fenomena dunia domestik yang di dalamnya penuh dengan hubungan yang hiruk-pikuk. Seorang penyair akan membuat diplomasi antara dunia internal dan dunia eksternal penyair, sehingga sesuatu yang ditangkapnya akan menjadi sesuatu yang lebih berarti. Penyair masa kini banyak mengambil gejala-gejala menarik dunia eksternal sebagai objek kajiannya. Namun tidak jarang karena tujuan itu mereka menceburkan diri mereka dengan bergaul di dunia luar tidak untuk mendapatkan sesuatu tapi untuk menyesatkan dirinya sendiri untuk dibunuh dan untuk tersesat. Apakah dunia luar itu adalah identitasnya? Sehingga setiap kali dia di luar orang akan bertannya “kamu itu siapa?”. Berbeda dengan para penyair jaman dahulu, mereka menceburkan dirinya di dunia luar untuk memenangkan dirinya dan memperkenalkan identitasnya. Mereka menggunakan mitos-mitos dan narasi-narasi dalam menyampaikan puisinya. Berbeda dengan puisi kontemporer, para sastrawannya menganggap mati atau hidup itu sudah tidak ada artinya. Mereka menggunakan bahasa-bahasa sebagi aktor dan meramu bahasa secara apa adanya. Puisi-puisi yang menggambarkan demonstrasi-demonstrasi emosi. Sejarah sastra kita diringkus dengan kekuasaan.Sebuah puisi adalah sebuah puisi. Apalagi jika puisi ditempatkan dalam suatu masa maka puisi itu bisa dibakar sebuah wacana. Kontroversi dalam sastra itu bukan merupakan kontroversi, namun itu merupakan dua sisi yang hedonis yang estetis. Puisi tidaklah harus terkungkung dalam konvensi-konvensi sosial. Bahkan dia harus bisa berdiri sendiri dengan bebas tanpa menunggangi suatu kepentingan. “Apa itu puisi?” adalah pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan puisi. Puisi itu membutuhkan horoskop atau horizon bukan teori. Puisi tidak ada hubungannya dengan akademik. Naik gunung, berlayar, menyelam, menonton teater, menonton bioskop, bergaul dengan teman, mencintai, membenci, terjatuh, terluka, kecewa, dll adalah pengalaman yang kita rasakan dan kita alami. Saya tidak menulis dengan hanya tangan saya. Saya menulis dengan pengalaman yang saya alami. Jika menggambarkan panas, saya harus bertannya pada tubuh saya tentang bagaimana panas. Ketika kaki saya terkena paku dan berdarah, saya bertannya pada tubuh saya tentang apa yang saya rasa. Saya lebih percaya dengan tubuh saya dari pada dengan pikiran saya. Ada sebuah ruang dalam kata-kata. Ruang itu memiliki dimensi multi makna. Puisi tidak pernah bisa mati. Ruang kreatif kita menjaga sesuatu dalam diri kita yang tidak perlu didefinisikan, itu adalah puisi. Puisi kalau dia didefinisikan, dia akan menjadi sebuah kekuasaan. Lalu kenapa puisi itu tidak bisa menjadi komonditi? Apa sebenarnya puisi itu? Puisi itu janganlah didefinisikan. Puisi itu adalah sesuatu, bagaikan udara, embriologi, tubuh, ruh dan nyawa. Puisi itu janganlah dikebiri dengan konvensi bahasa dan jangan juga dikebiri dengan konvensi sastra. Puisi ya puisi itu sendiri. Puisi merupakan pengalaman diri sendiri, pengalaman tubuh, rohani, ruh dan spiritual. Indonesia adalah negara yang multi etnik, suku, bahasa dan budaya. Saya sekarang banyak berpikir dengan tradisi puitik di masyarakat kita. Saya pernah ke Toraja yang setiap pohon besar yang ditutupi ijuk itu berarti kuburan bayi yang mati. Mbah Marijan sang penjaga gunung, grebek Suro di Jogja, Ngaben di Bali, dll merupakan salah satu tradisi puitik negri ini yang sangat beragam, luas, unik, dan heterogen. Masakan-masakan Indonesia yang dimasak oleh prempuan juga jamu-jamuan, tari-tarian, ritual-ritual kelahiran, dll merupakan tradisi-tradisi puitik Indonesia yang banyak dijaga oleh perempuan. Di jaman sekarang tradisi-tradisi puitik itu diklaim oleh individu-individu, bukan lagi ikatan-ikatan masyarakat. Kita semua bisa menulis apapun karena teks itu bisa mengejar kita sendiri. Merayakan memori itu menjadikan puisi itu hidup, mulai dari melahirkan sampai menyusui, perjalanan mulai dari kecil sampai tua rentah, tentang memasak, tentang berkerja, tentang merawat anak atau tentang saat kita rebahan di pangkuan ibu. Wanita adalah orang yang paling memiliki pengalaman yang lebih komplek dari laki-laki, jadi wanita adalah orang yang paling menguasai sastra dan orang yang paling berhak untuk bersastra, karena kompleksitas pengalaman hidupnya. Jika ada pertanyaan tentang “bagaimanakah cara memaknai puisi?” maka saya akan mengtakan bahwa saya tidak pernah membaca puisi untuk mengartikannya. Menurut saya puisi adalah sebuah arsutektur. Puisi itu untuk menguak tabir arsitektur yang ada di baliknya. Jadi puisi itu indah karena dirnya sendiri bukan karena didefinisikan.