Pages

Wednesday, January 4, 2012

Diglosia di dalam bahasa Arab


Diglosia (Antara amiyah dan fusha )

Perkembangan bahasa Arab dari masa sebelum islam 500 SM hingga sekarang memegang peranan penting terhadap para penuturnya. Bahasa yang hanya digunakan di wilayah semenanjung Arab sebagai bahasa pemerintahan regional dengan beberapa dialek di kawasan tersebut, sekarang digunakan oleh para penutur pada kawasan dua benua. Kawasan tersebut adalah kawasan Asia Barat, Afrika Utara, dan beberapa negara dikawasan Afrika tengah. Bahasa dengan jumlah natif mencapai 300 juta penutur, sebagai bahasa Asing yang dipelajari di pelbagai belahan dunia, dan juga merupakan bahasa pengantar bagi satu miliar lebih masyarakat muslim di dunia, dan bahasa resmi di duapuluh tiga Negara. Di dalam penggunaannya, pasti terjadi kontak di dalam bahasa Arab, maka bahasa Arab akan mengalami sebuah peristiwa kebahasaan, di dalam kajian sosiolinguistik disebut dengan istilah diglosia.  Sejarah dan di duapuluh tiga negera menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, hal tersebut menggambarkan situasi diglostik oleh para penuturnya.
Di dalam bahasa Arab, fenomena diglosia telah terjadi pada masa ja:hiliyahatau pra-islam. penduduk Semenanjung Arab yang terdiri dari beberapa kabilah yang menggunakan bahasa atau dialek khusus, kemudian dialek Quraisdijadikan sebagai lingua franca atau bahasa penghubung antar kabilah di wilajah semenanjung arab. Hal ini merupakan fenomena diglosis dengan dijadikannya dialek quraysh sebagai penghubung, sekaligus bahasa standar, dan ragam bahasa non standar adalah dialek-dialek local dari tiap tiap kabilah.
Dan di dalam tulisan ini hanya memaparkan kebenaran dan kekurangan teori mengenai diglsia Ferguson yang terjadi di dunia Arab.

1.       Definisi
Di dalam kajian linguistic modern istilah diglosia diperkenalkan oleh Ferguson C.A. seorang linguis dari Sanford University  pada tahun 1950 pada artikelnya yang berjudul (chaer dan Agustina 2006:92).  Dan sekarang masih dijadikan referensi klasik  di dalam kajian diglosia klasik, meskipun banyak linguis yang melakukan kajian pada bidang tersebut.
Diglosia merupakan situasi bahasa dengan pembagian fungsi atas variasi-variasi  dalam situasi bahasa (Kridalaksana 2009: 50). Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan adanya peran dan fungsi  dari tiap variasi bahasa tersebut. Variasi tersebut adalah adanya ragam  bahasa Tinggi (Hight) untuk ragam bahasa standar dan rendah (Low)  untuk bahasa non standar. Diglosia lebih ditekankan kepada fungsi dari setiapragam bahasa dan digunakan pada situasi yang berbeda. Ragam standar atau H hanya digunakan pada situasi resmi, dan non-standar digunakan pada situasi resmi.  Di dalam Chaer dan Agustina (2006: 93)  bahasa Arab dijadikan  salah satu contoh dari empat bahasa diantaranya Arab, Yunani, Jerman-Swis, dan Kreol Haiti.  Dan disini kita bahas diglosia di dalam bahasa Arab.

2.        Kontribusi Ferguson
Kontribusi Ferguson terhadap studi diglosia, berikut ini definisi ferguson terhadap diglosia:
Diglossia is a relatively stable language situation in which, in addition
to the primary dialects of the language (which may include a standard
or regional standards), there is a very divergent, highly codified (often
grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large
and respected body of written literature, either of an earlier period
or in another speech community, which is learned largely by formal
education and is used for most written and formal spoken purposes but
is not used by any sector of the community for ordinary conversation
(Bassiouney R, 2009: 10).

Diglosia merupakan situasi kebahasaan yang relative stabil , disamping terdapat beberapa dialek utama pada suatu bahasa terdapat juga ragam bahasa lain.  Dan dialek utama merupakan sebuah dialek standar regional, atau sebuah bahasa standar regional.  Dan dialek utama memiliki perbedaan ciri, Ragam standar yang sudah teerkodifikasi, gramatikal tang komplek, warisan kesusastraan tulis yang sangat kaya dan dihormati,  dipelajari melalui pendidikan formal, ragam bahasa formal digunakan dalam tulis dan lisan, dan ragam bahasa formal tidak digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk percakan sehari-hari.


3.       Kriteria Diglosia dari Ferguson
Pertama, menurut Ferguson fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting.  Menurutnya di dalam masyarakat diglosis terdapat dua atau lebih variasi dalam satu bahasa. Variasi  yang pertama disebut dengan dialek tinggi (Hight Variety) disebut ragam H, dan  yang kedua adalah  ragam bahasa rendah (Low Variety). Di dalam bahasa Arab ragam bahasa standar H dikenal dengan istilah al –fusha kita dengan dua criteria, Modern Standard Arabic  ragam standar yang digunakan saat ini sperti media, berita dll, dan Clasikal Standar Arabic yang kita kenal dalam Al –Qur an, pusi-pusi kalsik. Dan untuk ragam non standar,  Ya’kub di dalam (Toha M, 2005: 205) dan (Yaqub, 2009:86) menamakan dengan istilah al-lughat al –amiyah, al-sykl al-lughawi al-da;raij, al-lahjat al-sya’i’ah, al-lughat al-mahkiyah, al-lahjat al-?Arabiya al-amiyah, al-lahjat al-da;rajah, al-lahjat al-amiyah, al-arabiyah al-amiyah, al-lughat al-da;rijah, al-kala;m al-da;rij, al-kala;m al-ami,  dan lughat al-sya’b . bahasa non standar ini bias any digunakan oleh para penutur ditap regional dalam situasi non-formal.

Ferguson di dalam (Bassiouney  2009: 11) memberikan contoh situasi penggunaan ragam standar ( H ) pada bahasa Arab, adalah sebagai berikut:
1.       Upacara  kgiatan pribadatan gereja atau mesjid (Sermon in church or mosque)
2.       Sidang di parlemen (Speech in parliament, political speech)
3.       Surat Pribadi (Personalletters)
4.       Bahasa Pengantar di Universitas ( University lecture)
5.       Penyiaran Berita (News broadcast)
6.       Editorial surat kabar, berita singkat, ( Newspaper editorial, news story)
7.       Sastra (Poetry)
Kemudian beliau juga memberikan contoh situasi penggunaan ragam non-standar (L) di dalam bahasa Arab, adalah sebagai Berikut:
1.       Interaksi antara buruh, pelayan, pekerja, pegawai toko (Instructions to servants, waiters, workmen and clerks).
2.       Percakapan antara keluarga, teman, dan kerabat (Conversation with family, friends and colleagues).
3.       Radio Opera (Radio soap opera).
4.       Karikatur kartun Politik (Caption on political cartoon).
5.       Sastra Rakyat (Folk literature).
Kemudian criteria yang kedua adalah Prestise, di dalam masyarakat diglosis hanya ragam bahasa tinggi H yang dianggap paling baik dan bergengsi, terpandang, terdidik, dan merupakan bahasa yang logis (Chaer dan Agustina, 2006: 94). Hal tersebut terjadi di dalam bahasa Arab. Banyak dari para penutur bahasa Arab yang terpelajar menganjurkan bahasa non standar (L) Amiyah tidak digunakan.
Di dalam bahasa Arab, penutur yang menggunakan ragam bahasa standar atau fushaorang dianggap sebagai orang yang terpelajar, fenomena tersebut terjadi sejak masa kebangkitan, dan meluasnya wilayah islam.  Penutur yang fasih adalah orang terpelajar yang telah mempelajari bahasa di gurun pasir yang masih murni dan belum terkontaminasi oleh bahasa lain. Dapat kita lihat di dalam bidang sastra para penyair ketika masa pra-islam, dan masa setelahnya memiliki kedudukan yang sangat tinggi, karena dapat melahirkan ungkapan ungkapan yang memiliki niali filosofis tinggi (Muzakki, 2006: 36).
Begitu pula di bidang politik, semua khalifah pada masa bani Umayah dan Abbasiyah adalah mereka yang memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menngunakan bahasa fusha, karena dijadikan sebagai ciri keterpelajaran untuk menjadikan sebagi pemimpin, dapat dilihat pada (Syalabi A. II, 2005). Dapat dipahami  dari segi historis bahasa standar memiliki nilai yang sangat tinggi.
Kemudian kriteria yang ketiga adalah warisan kesusastraan, Bahasa Arab memiliki warisan kesusastraan yang sangat kaya. Mulai dari pusisi yang merupakan genre sastra yang paling awal kemunculannya sudah berusia lebih dari 1500 tahun, kemudian khito:bah, nastar atau prosa. Sebelum dan sesudah munculnya Al Quran, syair merupakan genre yang sangat dihormati dan sekaligus dijadikan korpus oleh para linguis arab ketika abad ke 7 hingga terkodifikasi nya baha Arab, kemudian Al-Qur’an dijadikan sebagai kitab suci kaum muslim, dan dijadikan pula ispirasi  peremajaan bagi bahasa Arab Fusha. Kemduian Prosa di dalam bahasa Arab  memiliki mutu literal yang sangat tinggi mulai dari kisah seribu satu malam prosa modern novel (Allen R, 2008: 5). Karya sastra tersebut telah berakas bagi masyarakat Arab. Meskipun asing bagi masyarakat umum, namun hingga saat ini tradisi itu masih dilanjutkan dengan munculnya aliran sastrawan neo klasik yang selalu menggunakan ragam bahasa standar atau ragam H. Namun tak sedikit pula para sastrawan pembaharu yang menyuguhkan karya sastra dengan menggunakan ram non standar (L) dengan alasan lebih ekspresif dan tak sedikit pula mendapatkan protes dari para kritikus.
Kemdian criteria yang keempat adalah pemerolehan, di dalam bahasa Arab, ragam bahasa standar (al-lughah al-fushah) dilihat dari sgi kesejarahan, ragam tersebut hanya dapat diperoleh melalui pendidikan formal, pada masa permulaan islam bahasa Arab standar diperoleh dikawasan gurun pasir, dan untuk sekarang dapat diperoleh melalui pendidikan formal di sekolah atau universitas. Sedangkan untuk ragam non-standar (Amiyah) hanya diperoleh melalui interaksi di keluarga, lingkungan, dan sebaginya. Meskipun ragam bahasa standar diperoleh melalui pendidikan, dan banyak kaum terpelajar menguasai kaidah ragam H, namun tidak lancer mengunakan ragam H tersbut. Sebaliknya, ragam (L) yang tidak dipelajari melalui pendidikan formal, mereka cendrung lebih lancer menggunakan ragam (L) tersebut. Karena banyaknya kesempatan mengunakan ragam tersebut. Begitulah masyarakat diglostik.
Kemudian criteria yang kelima adalah standarisasi ,ragam bahasa standar (H) al-?arobiyah al-fusha dengan alasan, sperti kepentingan agama, politik, pemerintahan, pemersatu bangsa, dan ciri identitas. Proses standarisasi ragam bahasa H (Hight Variety) dilakukan melalui kodifikasi formal, seperti penyusunan kamus, tatabahasa, buku-buku kaidah kebahasaan ditulis dengan ragam standar (H).  Di dalam bahasa Arab proses kodifikasi telah di mulai sejak abad ke 5 M, pada masa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib, meskipun pada taraf klasifikasi I’rab. Lalu di kembangkan kembali oleh para filolog pada Abad ke 7 sperti Halil Bin Ahmad dan Syibaweih seorang filolog Bagdad, hingga pada masa nahdah atau masa kebangkitan bangsa arab pada abad 18 yang ditokohi oleh Al-Zabi:di:y. (Chejne, 1996: 151). Dengan demikian bahasa (H) akan tetap menjad bahasa yang sangat dihormati dan disegani.
Kemduian kriteria yang kelima adalah stabilitas menurut ferguson di dalam (Chaer dan Agustina 1996: 96) kestabilan bahasa di dalam masyarakat diglosis telah berlangsung sangat lama, dan di antara dua variasi (standard an non-standar) dan hanya satu ragam bahasa yang masih dipertahankan. Di dalam sejarahnya ragam bahasa fusha dari abad ke 5 M hingga sekarang masih dipertahankan, meskipun banyak pertentangan dan gugatan untuk menggunakan ragam bahasa non-standar (?amiyah) untuk berbagai kepentingan di dunia Arab.
Kemudian criteria berikutnya, ferguson menjelaskan kembali bahwa di dalam masyarakat diglosi terdapat perbedaan antara ragam bahasa standar (H) dan non-standar (L), baik di dalam bidang fonologi, sintaksis, da leksikal.
Ferguson menjelaskan kembali di dalam (Chaer dan Agustina 2006: 97) masyarakat diglosis bias bertahan dalam waktu yang cukup lama, terkadang selalu ada tekanan untuk menggantikan bahasa Bahasa Standar dengan bahasa yang lain. Hal demikian terjadi pada bahasa Arab, keberadaan Al-lughah al-Fushah sebagai bagai bahasa standar di dunia Arab untuk berbagai kepentingan, namun ada beberapa kalangan dengan berbagai alasan yang ingin menjadikan bahasa non- standar al-Lugahah al-?Amiyah menjadi bahasa utama di dunia Arab.
                Dengan berbagai kepentingan dan alasan ragam al-Lughah al-Fusha dijadikan sebagai bahasa standar di dunia Arab.  Ferguson berpendapat kembali bahwa ada dua criteria pembetukan bahasa standar
1.       Ragam H telah menjadi bahasa standar di bebeapa bagian masyarkat,
2.       Masyarakat diglosis menyatu dengan masyarakat lain.
Dalam hal ini benar, Bahwa al-Lughah al-Fusha, pada mulanya telah menjadi bahasa standar di kawasan semenanjung Arab, namun seiring dengan meluasnya penyiaran islam dan menyatunya masyarkat arab dengan non arab, al-Lughah al-Fusha  menjadi bahasa standar dikawan asia barat, beberapa Negara di afrika Utara dan  afrika tengah.

Teori Ferguson benar di dalam hal kriteria masyarakat diglosis di dunia Arab, dalam hal klasifikasi variasi bahasa standar (H) dan non-standar (L). Namun fenomena yang terjadi di dalam bahasa Arab adalah untuk ragam standar (H) ada dua variasi yaitu Standar klasik (Standard Clasical Arabic), dan  Arab Standar Modern  (Modern Standar Arabic) sekaligus menjadi cirri khas tersendiri di dalam bahasa Arab. Dan ferguson tidak melakukan klasifikasi tersebut, beliau hanya melakukan klasifikasi antara ragam bahasa standar (H) dan non-standar (L).
 Dapat disimpulkan, diglosia merupakan variasi dari satu bahasa, di dalam satu bahasa terdapat dua variasi, ragam tinggi H dan ragam rendah / low L. dan kedua ragam tersebut, memiliki fungsi masing masing, di dalam bahasa Arab Ragam H atau al-lughah al-fusha dipakai untuk kepentingan resmi, pemerintahan, pengantar pendidikan, bahasa sastra, dll. Adapun al-lughah al-amiyah digunakan untuk kegiatan non-formal, seperti komunikasi di keluarga, di pasar, antar pegawai. Diglosia di dunia Arab sudah terjadi sangat lama yaitu sejak meluasnya wilayah Islam.
Kontribusi Ferguson terhadap diglosia di dalam bahasa Arab sangat baik untuk dijadikan referensi klasik mengenai diglosia, namun di dunia Arab terdapat  keadaan diglosia tersendiri, seperti adanya MSA (Modern Standard Arabic) dan (Stadard Clasical Arabic) dan Amiyah. Kemudian di negara-negara bekas jajahan Prancis digunakannya bahasa prancis seperti di Tunisia, Algeria.
Lalu dengan masalah antara pengaruh diglosia, terhadap proses berfikir, seni, pemerintahan, pendidikan yang kini menjadi  topik yang sangat menarik untuk dikaji. demikian lah pemaparan mengenai diglosia, untuk pembahasan tersebut, akan saya bahas insyaAlloh,,, heuu

Daftar Pustaka

Allen R. (2008). Arab Dalam Novel (penerjemah Irfan Z. Ibrahim). Jogjakarta: e-    
                           Nusantara.

Bassiouney, R. (2009). Arabic Sociolinguististics. Endinburgh: Endinburgh
                                      University Press.

Chaer A, dan Agustina L. (2006). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chejne, A. (1996). Bahasa Arab dan Peranannya Dalam Sejarah (penerjemah Aliudin  
                        Mahjudin) Jakarta: P2LPTK.

Kridalaksana, H. (2009). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Muzakki A. (2006). Kesusastraan Arab Pengantar dan Teori Terapan. Jogjakarta:
                                   Ar-Ruzz Media.

Toha, A. (2005). Bahasa Arab Fusha dan Amiyah Serta prolematikanya.
                         Jurnal Bahasa dan Seni,  Tahun 33, Nomor 2, Agustus 2005.

Yaqub E.B. (2009). Filologi Arab (terjemahan Wagino Hamid Hamdani). Bandung: Zaen
                             Al Bayan.

No comments:

Post a Comment