Pages

Friday, January 13, 2012

MADH DAN ZAMM DALAM AL-QUR’AN (Tinjauan ilmu uslub terhadap Tujuan Mad dan Zamm dalam Al-Qur’an)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang mempunyai nilai i‘jaz yang abadi dari berbagai aspeknya, baik tasyri‘iy, lugawy maupun ‘ilmy,  dan pada saat yang sama ia juga sebagai hudan lin-nas. Maka al-Qur’an dengan keistimewaannya itu mampu berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa dan mengandung pesan-pesan serta solusi-solusi global terhadap problematika kehidupan, baik secara zahir maupun batin, tersurat maupun tersirat.

Al-Qur’an diturunkan Allah SWT dengan memakai bahasa Arab, karena memang Nabi Muh}ammad hidup di sana. Bahasa sebagai simbol realitas  yang bersifat arbritrer  pada dasarnya dibentuk dan membentuk konsep yang dipegang masyarakat  pemakainya dalam menyikapi  dan memaknai dunia riil, baik melalui ciri gramatik maupun  klasifikasi semantik yang  dikandungnya.  Maka al-Qur’an juga mengikuti kaidah-kaidah bahasa konvensional, namun juga memberikan gaya bahasa tersendiri yang belum pernah dipakai pada saat itu.


Di  samping  itu  sebagai   gejala   bahasa, bahasa   bersifat dinamis, tumbuh dan berkembang sejalan dengan meningkatnya  kemajemukan persepsi manusia terhadap makrokosmos dan mikrokosmos. Oleh karena itu makna sebuah leksem  kadang-kadang mengalami perubahan  (baik dari makna sempit menjadi luas atau sebaliknya, bahkan hilang maknanya atau berubah sama sekali) dan  kadang-kadang tetap. Hal ini tergantung  konteks dan aspek-aspek sosial  yang melatarbelakanginya.  Oleh karena itulah     konteks  sangat menentukan makna dan mengabaikannya  akan menghasilkan  kesimpulan yang keliru, dengan demikian  memahami makna suatu kata harus meneliti pemakaiannya dalam struktur kalimat yang berbeda-beda dan konteks yang berbeda-beda pula.

Al-Qur’an merupakan sistem bahasa yang mempunyai spesifikasi tersendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang mengandung i’jaz, sehingga dapat mempengaruhi hati manusia. Dengan pengaruh ini, mausia diharapkan mengikuti yang baik yang diserukannya dan meninggalkan hal buruk yang diperintahkannya untuk dijauhi.

Di antara gaya bahasa al-Qur’an itu adalah pemakaian madh (pujian) dan zamm (celaan). Ada beberapa cara yang dipakai al-Qur’an untuk memuji yang secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

1.    Madh secara langsung, yaitu memuji dengan memakai kata-kata yang mempunyai arti memuji, seperti al-hamdu, ni‘ma dan lain sebagainya.

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Allah dalam ayat di atas memuji Zat-Nya sendiri, hal ini untuk menunjukkan keagungan-Nya dan juga untuk mengajarkan manusia agar memuji-Nya. Allah SWT juga berfirman:

وَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمُوْآ اَنَّ اللهَ مَوْلاَكُمْ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ

“Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”

2.    Madh dengan menggunakan kata-kata yang tidak berarti memuji, namun setelah digabungkan menjadi satu kesatuan dalam sebuah kalimat, maka mengandung persepsi memuji, seperti firman Allah SWT:

وَاِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Dengan gaya bahasa seperti dalam ayat ini, Allah SWT memuji rasul-Nya Muh}ammad, bahwa ia merupakan sosok yang berada di atas moral yang luhur. Allah juga berfirman:

سُبْحَانَ الَّذِىْ اَسْرَىبِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ اْلاَقْصَى
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil-haram ke al-aqsa.”
Dalam ayat di atas Allah SWT memuji Zat-Nya dengan menunjukkan sebagian sifat-Nya, yaitu Maha Suci. Statemen ini ditegaskan sebelum statemen misi inti untuk memberi penegasan dan warning, bahwa hal yang akan disampaikan merupakan sesuatu yang besar dan agung yang dalam konteks ini adalah isra’ Nabi Muh}ammad SAW.

 Demikian pula dengan zamm, ada beberapa cara yang dipakai al-Qur’an untuk mencela yang secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

1.    Zamm dengan secara langsung, yakni mencela dengan menggunakan kata-kata yang mengandung arti celaan, seperti bi’sa, sa'a dan zamm, seperti firman Allah:

وَلاَ تَلْمِزُوْآ اَنْفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ، بِئْسَ اْلاِسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ اْلاِيْمَانِ

“Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.”

Bi’sa dalam ayat di atas untuk mencela perbuatan fusq, bahwa setelah orang beriman, maka perbuatan yang paling buruk adalah perbuatan fusq, yakni perbuatan maksiat kepada Allah SWT, maka tidak boleh memanggil seorang mukmin dengan fasik dan yang semakna dengannya.

وَالَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ رِئَآءَ النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ، وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِيْنًا فَسَآءَ قَرِيْنًا

“Dan juga orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya’ kepada manusia, dan orang-orang yang tidakberiman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.”
 Sa’a dalam ayat di atas berarti buruk, yakni syaitan adalah seburuk-buruk teman bagi seseorang.

2.  Zamm dengan menggunakan kata-kata yang tidak berarti mencela, namun setelah digabungkan menjadi satu kesatuan dalam sebuah kalimat, maka mengandung persepsi mencela, seperti firman Allah SWT:

اَفَمَنْ يُلْقَى فِى النَّارِ خَيْرٌ اَمْ مَنْ يَاْتِىْ آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat?”

Dalam ayat di atas Allah SWT mempertanyakan suatu perbandingan antara orang yang dilemparkan ke dalam neraka dengan orang yang aman sentosa dengan masuk surga. Apakah orang yang dilemparkan ke dalam neraka itu lebih baik? Semua orang pasti mengerti, bahwa orang yang dilemparkan ke dalam neraka itu lebih buruk dan lebih celaka. Namun kenapa dipertanyakan? Pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban, tetapi untuk mubalaghah dalam mencela ahli neraka.

Gaya bahasa Madh dan zamm mempunyai tujuan tertentu. Di antara tujuan Madh adalah ta’dib (pengajaran), maka Allah SWT memuji seseorang, amal tertentu, akhlak tertentu, atau bahkan Dia memuji Zat-Nya, hal ini sebagai pengajaran kemudian hamba-Nya agar menghisi diri dengan sifat sesuatu yang dipuji. Dan di antara tujuan zamm adalah menghinakan, yakni Allah SWT merendahkan orang yang menyimpang dari syari‘at yang di bawa Rasul dan juga memberi peringatan, bahwa yang di cela itu merupakan amal perbuatan yang harus dihindari

Di samping itu obyek yang menjadi pujian dan celaan juga bervariasi yang menyangkut sifat, sikap dan tindakan manusia, juga sifat-sifat Allah SWT. Demikian pula tujuan dari penggunaan Madh dan zamm juga bervariasi, ada yang bertujuan untuk memberi pelajaran kepada manusia, memberi peringatan terhadap suatu perbuatan yang buruk dan lain sebagainya. Penelitian ini berusaha mengungkap secara kritis mengenai Madh dan zamm, baik dari dari segi bentuk-bentuknya maupun tujuannya.

B.  Rumusan Masalah 
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.  Bagaimanakah  uslub (gaya bahasa) al-Qur’an ?
2.    Bagaimanakah uslub (gaya bahasa) Madh dan zamm dalam al-Qur’an ?
3.    Apa tujuan Madh dan zamm dalam al-Qur’an?

C.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penulisan proposal skripsi ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
Untuk mengetahui gaya bahasa Madh dan zamm dalam al-Qur’an. 
Untuk mengetahui bentuk-bentuk madh dan zamm dalam al-Qur’an.
Untuk mengetahui tujuan madh dan zamm dalam al-Qur’an.
Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Untuk memenuhi persyaratan  akademis mendapatkan gelar sarjana (S1).
Menambah khazanah ilmu pengetahuan  Islam, terutama Ilmu Fi Uslubil Quran  dan khususnya di bidang tafsir al-Qur’an
   Sebagai bahan penelitian lebih lanjut.

D.  Tinjauan Pustaka
Sebenarnya masalah Madh dan zamm telah banyak dibahas oleh para  mufassir dalam karya-karya mereka, seperti al-Qurtuby dengan karyanya al-Jami‘ li Ahkamil-Qur’an, Ahmad as-Sawy dengan karyanya  Hasyiyah as-Sawy, AbuJa‘far Muhammad ibn Jarir at-Tabary dengan karyanya Jami‘ul-Bayan,  al-Hafiz ‘Imadud-Din Isma‘il ibn Kasir dengan karyanya Tafsirul-Qur’an al-‘Azim, dan lain-lain.

Mereka banyak membahas Madh dan zamm dalam al-Qur’an ayat demi ayat, walaupun ada yang lebih lengkap dan menjauhi penafsiran yang parsial. Al-Qurtuby misalnya, ia menyatakan bahwa Madh dan zamm tidak hanya menggunakan lafaz yang berarti memuji atau mencela saja, tetapi juga memakai kata-kata yang secara lafziyah tidak berarti Madh atau zamm, tetapi setelah dirangkai menjadi satu kalimat mengandung persepsi Madh atau zamm. Ia menambahkan, bahwa Madh adalah antonim zamm.

At-Tabary relatif sama dengan al-Qurtuby mengenai masalah Madh dan zamm, ia menambahkan, bahwa sesunguhnya orang yang memuji sesuatu berarti telah memuji Allah SWT, dan orang yang mencela sesuatu sebenarnya ia telah mencela Allah SWT, karena Dia-lah yang mewujudkan segalanya.

Dalam hal ini, peneliti hendak meneliti tentang uslub Madh dan zamm dalam al-Qur’an dengan merujuk kepada karya-karya di atas dan litelatur lain, karena sejauh pengetahuan peneliti, belum ada seorang yang membahas uslub Madh dan zamm dalam al-Qur’an secara khusus, baik dari kalangan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta maupun lainnya.

E.  Metode Penelitian

Suatu ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan  interelasi yang sistematis  dari beberapa fakta. Metode ilmiah adalah suatu sarana untuk mencapai atau mengejar ideal ilmu pengetahuan tersebut. Dengan metode, pengejaran itu dapat terlaksana secara rasional dan terarah demi mencapai hasil yang optimal.
Adapun metode kerja yang digunakan peneliti adalah  metode kerja tafsir maudu‘i, yaitu:

1. Menetapkan masalah yang akan dibahas.
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai dengan pengetahuan tentang asbab an-nuzul.
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line).
6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian  yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlaq dan muqayad, atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya  bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan.

Di samping itu, peneliti dalam menjabarkan data-data, memakai metode deskriptif - analisis. Metode deskriptif  adalah  digunakan dalam rangka memberikan gambaran  data yang ada serrta memberikan interpretasi terhadapnya. Sedangkan metode analisis  digunakan untuk melakukan  pemeriksaan (analisis) secara konsepsional atas makna yang  terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan dan pernyataan-pernyataan yang dibuat.

F. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini disusun dalam  empat bab yaitu:
Bab pertama  meliputi pendahuluan,  latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian  dan sistematika pembahasan.
Bab kedua adalah uslub al-Qur’an yang meliputi  pengertian  uslub  al-Qur’an dan karakteristik uslub al-Qur’an.

Bab ketiga adalah uslub Madh dan zamm dalam al-Qur’an yang meliputi definisi Madh dan zamm dalam al-Qur’an, kaidah gramatikal (nahwiyah) uslub Madh dan z\amm, bentuk-bentuk uslub Madh dalam al-Qur’an dan  bentuk-bentuk uslub zamm dalam al-Qur’an.

Bab keempat adalah analisis terhadap tujuan madh dan zamm  dalam al-Qur’an yang meliputi urgensi Madh dan zamm dalam al-Qur’an, karakteristik surah Makkiyah dan Madaniyah, karakteristik uslub madh dan zamm pada ayat Makkiyah dan Madaniyah, tujuan madh dan zamm dalam al-Qur’an.
Bab kelima adalah penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.
Daftar Pustaka
Manna' al-Qattan, Mabahis Fi ‘Ulumil-Qur’an, (Riyad: Manysurat al-‘Asr al-Hadis, 1972)

Majid, Abdul as-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer, penerjemah:  Moh. Maghfur Wachid, (Bangil : al-Izzah, 1997)

Aminuddin, Pengantar Studi Tentang Makna, (Bandung: Sinar Baru, 1988)

Gaffar Hamid Hilal, ‘Abdul, ‘Ilmul-Lugah Bainal-Qadim wal-Hadis, (Kairo: Dar al-Kutub, 1986)

Mujamma‘ Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim wa Tarjamatu Ma‘anihi ilal-Lugah al-Indunisiyah, (Madinah: tp.,tt.)

Nazir, Moh.  Metode  Penelitian , (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988)

Bakker, Anton, Metodologi Research, (Yogyakarta: Kanisius, 1992)

Hay al-Farmawy, ‘Abdul,  al-Bidayah fit-Tafsir al-Maudu‘iy, (Mesir: Matba‘atul-Hadarat al-‘Arabiyah, 1977)

Bakker,  Anton dan Charis Zubair, Ahmad, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990)

  Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, terjemahan Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987)

“PERBEDAAN ANTARA KOSA KATA BAHASA ARAB DAN BAHASA INDONESIA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP MAKNA”


  1.  PENDAHULUAN
Bahasa yang digunakan terus menerus tentunya akan mengalami perkembagan, dengan pengayaan kosakata dan penyempurnaan kaidah kebahasaan. Paling tidak, akan menyerap unsur bahasa asing untuk menambah kekayaan kosakata bahasa tersebut. Permasalahan penyerapan kata dari Bahasa Arab kedalam bahasa Indonesia tidak lepas dari aspek fonologi, gramatikal, dan subsistem leksikal (semantis).1

Tapi sebelum bahasa itu diserap sudah semestinya memiliki proses atau mekanisme dalam pengelolaannya. Sebenarnya ada proses tertentu ketika unsur asing akan menjadi keluarga dalam Bahasa Indonesia. Pertama adalah dengan menterjemahkan unsur asing tersebut kedalam bahasa Indonesia, bila tidak dapat diterjemahkan maka cara yang kedua adalah dengan mencarikan padanannya dalam bahasa Indonesia, bila memang tidak ada padannanya dalam bahasa Indonesia maka, kata tersebut diserap kedalam bahasa Indonesia. penyerapan kedalam bahasa Indonesia tentunya ada aturannya terkait dengan perbedaan beberapa aspek diatas tadi. Bila bahasa tersebut bersifat ilmiah dalam artian bahasa tersebut berkaitan dengan hal- hal yang tidak ada di Indonesia maka diserap dengan apa adanya, seperti kata, fotosintesis,imbibisi,hardisk, flasdisk, otomotif, akhlaq, sodaqoh,dan sebagainnya. Akan tetapi bila bahasa tersebut tidak bersifat ilmiah atau yang wujudnya penemuan maka disesuaikan dengan EYD Bahasa Indonesia, seperti contoh: kata Researchmenjadi Riset, kataجمعة menjadi Jumat . Nah dari contoh tersebut dapat dipahami bahawa proses penyerapan ada yang tetap dan ada yang disesuaikan dnegan EYD Bahasa Indonesia. 

Dalam pembahasan ini peneliti tidak adan membahas bagaimana klasifikasi dari bahasa- bahasa yang diserab tersebut, akan tetapi terfokus pada bahasa serapan yang ejaannya disesuaikan dengan EYD bahasa Indonesia karena perubahan ejaan tersebut berimplikasi terhadap makananya khusunya dari bahasa Arab. Seperi kata ‘Kha/خyang dalam bahasa Indonesia dilafadkan dengan “Ka/كyang tentunya terjadi perubahan makna dari makna kata aslinya. Contoh ; kata “خلب” yang artinya Hati,2karena bahasa tersebut diserap kedalam bahasa Indonesia maka ditulis “kalbu” yang artinya pangkal perasaan batin; hati yang suci (murni).3Sedangkan bila dibandingkan dengan bahasa Arab kata كلب"” artinya adalah anjing. 
 
Penelitian ini hanya akan membahas sepuluh kata dalam KBBI yang berasal dari Bahasa Arab, dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai proses penyerapan kosakata (dari bahasa Arab), mengklasifikasi dan mendeskripsikan relevansi antara kosakata serapan dari bahasa asal, dan mengungkap gejala kebahasaan (fonologi) masyarakat Indonesia. Metode yang digunakan yaitu dengan tahap pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data. Pengumpulan data dilakukan dengan pencatatan langsung dari KBBI. Analisis data dengan metode deskriptif dengan pendekatan kontrastif. Pendekatan kontrastif merupakan salah satu cara kerja untuk mencari persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam dua bahasa atau lebih (Kridalaksana,2008). Yang merupakan aktivitas atau kegiatan yang mencoba memperbandingkan bahasa untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan di antara dua bahasa atau lebih. Persamaan dan perbedaan yang diperoleh dan dihasilkan dapat digunakan sebagai landasan dalam memprediksi rekayasa huruf dalam translitrasi bahasa Arab- Indonesia. Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan menyajikan keseluruhan data yang didapat atau ditemukan terkait dengan sepuluh kata dalam KBBI.


  1. MAKNA SEPULUH KATA DALAM BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia dalam perjalannya mengalami beberapa penyempurnan. Mulai dari bahasa Indonesia dengan EYD versi lama, seperti pada penulisan (teks asli) sumpah pemuda, kemudian dirombak lagi, dan dirombak terus guna penyempurnaan. Akan tetapi penyempurnaan tersebut, dalam konteks sekarang ada beberapa hal yang menyimpang atau bahkan membuang makna asli kata tersebut. Adapun sepuluh kata dalam KBBI dari Bahasa Arab yang sudah termodifikasi dalam kaidah Bahasa Indonesia, antara lain;
No
Kata
Kata Asli
Makna
1 Kalbu (nomina) خلب
Pangkal perasaan batin; hati
yang suci (murni)
2 Umroh (nomina) عمرة Kunjungan ke tanah suci sebagai bagian dari rangkaian ibadah haji, tetapi tanpa wukuf di Padang Arafah, yang pelaksanaannya dapat bersamaan dengan haji atau di luar ibadah haji; haji kecil
3
Maklum (verba)
معلوم
  1. Paham; mengerti; tahu:
  2. Dapat dipahami (dimengerti)
4 Jumat (adverbia) جمعة Menunjukkan Hari
5 Salat (nomina) صلاة
  1. Rukun Islam kedua, berupa ibadah kepada Allah Swt;
  2. Doa kepada Allah;
6 Saleh (adjektiva) صلح
  1. Taat dan sungguh-sungguh
menjalankan ibadah;
  1. Suci dan beriman:
7 Rakyat (nomina) الرعية
  1. Segenap penduduk suatu negara
(sabagi imbangan pemerintah);
  1. Orang kebanyakan; orang biasa;
  2. kl pasukan (bala tentara);


8 Makbul (adjektiva) مقبول
  1. kabul; diluluskan (tentang permintaan, doa;
  2. berhasil; tercapai (tentang maksud):
  3. manjur (tentang obat, guna-guna, dsb)
9 Daif (adjektiva) ضعيف Tidak berdaya; tidak kuasa; hina.
10 Dalalat (nomina) ضلالة Kesesatan

  1. MAKNA SEPULUH KATA DALAM BAHASA ARAB
Makana kata yang terbuat dari bahasa Arab yang sudah terserap kedalam bahasa Indonesia maka akan terjadi setidaknya pergeseran makna ataupun menyimpang dari makna asli. Adapun makna dari kata tersebut antara lain;
No
Kata Bahasa Arab
Kata Bahasa Indonesia
Makna
1 كلب Kalbu Galak, Suka menggigit,(anjing)
2 أمرة Umroh Perintah
3 مكلوم
Maklum
Mempertunjukkan
4 جمة Jumat Rambut palsu
5 سلاة Salat Mengupas, lupa, mencambuk
6 سلح Saleh Kotoran, mempersenjatai
7 الركية Rakyat Sumur yang berisi air
8 مكبل Makbul Yang dibelenggu
9 دإف Daif Mencampur
10 دلالة Dalalat Petunjuk

  1. ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
D.1 Analisis Persamaan
Setiap bahasa, tentunya memiliki kekahasan masing- masing, begitu juga kondisinya dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab dalam kaitannya pengayaan kosakata bahasa Indonesia. Dalam kasus di atas hampir dapat dipastikan tidak ada relevansi ataupun kesamaan. Dengan asumsi bahwa, setiap bunyi (fonoligi) memiliki lambang- lambangnya sendiri, dan perbedaannya hanya sedikit, tetapi dalam tulisan fonemik hanya perbedaan bunyi yang distingtif (membedakan makna yang diperbedakan lambangnya).4Akan tetapi secara garis besar dapat disimpulkan terkait makna sepuluh kata dari bahasa Arab dalam KBBI di atas memiliki persamaan yaitu masih mengacu pada makna asli yang terdapat dalam kata tersebut. Seperti misalnya kata (BA) الرَّعِيَّةُ dengan kata (BT) “Rakyat” yaitu segenap penduduk suatu negara. Makna kata masih berada di dalam kata tersebut (sebagai makna denotatif).

D.2 Analisis Perbedaan
Permasalahan yang menjadi titik tekan dalam hal kata serapan khususnya dari Bahasa Arab adalah kenyataan bahwa bentuk asli dari kosakata tersebut, telah dihapus ataupun di desain ulang akibat proses pembaruan bahasa Indonesia, sehingga mengalami proses buatan atau rekayasa (rekayasa fonologi/ fonetik). Dan dalam proses rekayasa dan pengambilan keputusan mana yang seharusnya dianggap tepat dan tidak, guna standarisasi bahasa, hanya diketahui oleh Komite Bahasa (PBBI) saja. Sehingga terjadi ketidak pemahaman proses naturalisasi dan ketidak sepakatan masyarakat terhadap keputusan tersebut. Mengingat ada beberapa fon/ huruf baik itu vokal maupun konsonan yang sulit diucapkan oleh masyarakat Indonesia.
kaidah bahasa Indonesia dengan Arab memang sangat berbeda. Begitu juga beberapa huruf dan fonem bahasa Arab, memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan yang ada dalam bahasa Indonesia, seperti perbedaan q dan k. Dalam bahasa Arab qofdan kafmemiliki makna yang berbeda, namun dalam bahasa Indonesia tidak demikian. Begitupun perbedaan fonem ‘adibaca ‘ain dalam huruf Arab dan diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi a.5
Bagi sebagian kalangan ini sangat berbahaya, tetapi ada juga yang menganggap bahwa bahasa yang terserap sudah pasti mengikuti kaidah kebahsaan dalam bahasa tersebut, tanpa mempertimbangkan aspek etiomolgi (asal usul kata, pembahasan dan pembatasanya). Misalnya kata Dalalat pada fonem Da apakah mengacu pada kata (ض) atau pada kata (د) atau pada kata (ذ). Karena dengan perbedaan fon tersebut akan mempengaruhi makna. Jika Dalalatyang dimkasud dengan menggunakan (ض) maka artinya kesesatan, akan tetapi bila yang dimaksud dengan kata (د) maka artinya petunjuk.

  1. JADWAL ANALISIS KONSTRASTIF
Jadwal analisis ini adalah upaya untuk mengetahui relevansi antara kedua bahasa dengan unsur serapan yang sudah dibakukan.
No
Kata
Persamaan
Perbedaan
Kode Translitrasi
1
Kalbu (nomina)
Makna Asli
Terjadi prubahan baik dari tataran fonologi,fonetik, maupun semantik (spesifikasi), dan kode penyerupaan dalam fonologi (apostrof).
Kh
2
Umroh (nomina)

3
Maklum (verba)
(apostrof)
4
Jumat (adverbia)
5
Salat (nomina)
Sh
6
Saleh (adjektiva)
Sh
7
Rakyat (nomina)
8
Makbul (adjektiva)
9
Daif (adjektiva)
Dl/ Dh
10
Dalalat (nomina)
Dl/ Dh

  1. PENUTUP
F.1 Kesimpulan 
 
Dengan gambaran tersebut, dapat dibangun satu asumsi kesimpulan, bahwa kosakata bahasa Indonesia, banyak yang menyimpang dari koriodor asli bahasa sumber. Hal tersebut dengan memperhatikan etimologi kosakata yang diambil. Meskipun dalam kaidah kebahasaan Indonesia mempunyai aturan tersendiri terkait unsur serapan, yang disesuaikan dengan struktur fonologi dan suku kata melayu dan bahasa Indonesia.
F.2 Saran 
 
Sudah semestinya Komite Bahasa (PBBI) membuat rekayasa khusus terkait permasalahan fonologi tentang unsur serapan khususnya dari bahasa Arab, dengan memperhatikan aspek etimologi bahasa sumber. Baik itu rekayasa dalam istilah politik, ekonomi, agama, bahasa, dan seterusnya.




DAFTAR PUSTAKA
Chaer Abdul, 2007. Linguistik Umum, Cet, III, Jakarta: Rineka Cipta
Kridalaksana Harimukti, 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia, Cet, IV, Jakarta: Gramedia.
Chaer Abdul, 2009. Fonologi Bahasa Indonesia, Cet, I, Jakarta: Rineka Cipta.
Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia, 2002. Linguistik Indonesia, edisi 23, Jakarta: YOI.
Suwardi, Zulkarnain, 2010. Bahasa Melayau sebagai Lingua Franca, Cet,I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suparman Tatang, 2008. Kosa Kata Serapan Dari Bahasa Arab, Bandung: Fakultas Sastra UNPAD .
Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa Depdiknas RI, 2001. EYD Bahasa Indonesia, Bnadung: Yrama Widya.
Jurnal Adabiyyat volume 9 No. 2. Desember 2010.
Munawir, 2007. Kamus Indonesia- Arab, Surabaya: Pustaka Progresif.
Munawir, 1997. Kamus Arab- Indonesia, Cet,XV, Surabaya: Pustaka Progresif.
Departemen Pendidikan Nasional,2008. KBBI, Jakarta: Pusat Bahasa Indonesia.


1 Harimukti Kridalaksana, “Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia” Cet: IV (Jakarta: Gramedia. 2007), Hlm. 5.

2 Kamus elektrik.

3 Departemen Pendidikan Nasional, KBBI, (Jakarta: Pusat Bahasa. 2008),hal.261.

4 Abdul Chaer. Lingustik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal.110.

5 Drs. Tatang Suparman,” Kosa Kata Serapan Dari Bahasa Arab”, (Bandung: Fakultas Sastra UNPAD. 2008), hlm.6.

AKTUALISASI ILMU KEADABAN DALAM KADERISASI HMI KOMISARIAT ADAB; IKHTIAR TERWUJUDNYA KADER PARIPURNA

 
MOQODIMAH
Berpijak pada diskusi internal (forum refleksi setahun kepengurusan HMI Komisariat adab priode 2010-2011) yang di adakan oleh pengurus HMI KOMISARIAT ADAB bersama MPK HMI di secretariat, alhamdulilah arah kebijakan ini bisa tersusun. Ide dan gagasan ini muncul  dari berbagai kegelisahan akan permasalahan organisasi tentang situasi dan kondisi di HMI komisariat adab. Problematika pengurus HMI ADAB sangat fleksibel mulai dari masalah akut kejumudan berorganisasi, naik turunya militansi kader, dan minimnya kualitas intelektual kader dalam Ber-HMI dan bidang ke keilmuannya. Perlu adanya formulasi-formulasi yang solutif untuk menghantarkan berbagai permasalahan internal kepengurusan tersebut supaya tidak menular kepada kader-kader lain. Hal ini menjadi pertimbangan MPKHMI Komisariat adab dalam merumuskan arah kenijakan ini, upaya untuk menyegarkan pengkaderan HMI ADAB dalam terciptanya suasana berorganisasi yang masif sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kader untuk berjuang di Himpunan ini. Di samping itu semangat Girah ber HMI kader baru harus di jaga melalui kontrol kepengurusan yang militant, agar terdapat wujud dinamika baru untuk mengaktualisasin potensi dan semangt girah kejuangan kader dalam pengurusan baru.


Sebenarnya arah kebijakan ini adalah tindak lanjut dari arah kebijakan kepengurusan kemarin  Menumbuhkan Ghirah Ber-HMI; Upaya Terciptanya Kemandirian Kader. Girah dimaknai sebagai esensi yang melekat pada watak kader dalam mengaktualisasikan, semangat dan militansi kuat untuk bergerak dan berjuang di HMI serta menciptakan kesadaran baru. kader haruslah di berdayakan oleh HMI yang memfungsikan diri sebagai organisasi kader, maka setiap gerak langkah organisasi harus dilaksanakan dalam rangka memberdayakan para anggotanya yang secara implisit menjadi bagian yang harus dikader. Kader HMI haruslah siap dikader, mengkader diri dan mengkader orang lain. Hal ini mendasari bahwa setiap kader HMI harus merasakan dirinya sebagai bagian dari kader dan Himpunan itu sendiri. Setiap kader harus menciptakan kesadaran individu dan kesadaran kolektif seluruh aktivis HMI. Kesadaran inilah yang dapat membuat nilai plus bagi diri kader HMI. Sebab, HMI bukanlah organisasi profit yang dapat memberikan jaminan financial, juga tidak pernah memaksakan anggotanya untuk berproses. Hanya kesadaran dan panggilan intelektual seorang kader harus berproses dalam menggeluti realitas social ditengah masyarakat. Dengan demikian, secara fungsional organisasi, orang yang dipercaya sebagai pengurus dalam kepengurusan komisariat, cabang, sampai PB HMI (Pengurus Besar) harus dapat memainkan peran ini.

Komisariat sebagai tonggak pengkaderan mempunyai arah kebijakan yang menjadi turunan dari arah perjuangan HMI Cabang Jogjakarta yakni Re-Objektifikasi Nilai Kekaderan dan Kejuangan HMI; Ikhtiar Mewujudkan Kader Paripurna. Nilai kekaderan dan kejuangan Hmi dimaknai sebagai keteguhan iman kita pada suatu idealism secara konsisten yakni harus memahami dasar perjuangan dan medan perjuangan HMI. Kader harus mempunyai nalar dan langkah tepat pada medan perjuangan guna untuk menetapkan langkah-langkah ataupun metode-metode massif yang harus di tempuh berupa program kerja dan ilmu yang luas. Keteguhan iman akan menciptakan suatu idiologi untuk membenarkan realitas medan perjuangan atas kerja nalar dan kerja nyata. Disampi\ng itu keteguhan iman menciptakan kesadaran individu dan kolektifitas; Menumbuhkan Ghirah Ber-HMI. Ilmu yang luas diharapkan melahirkan metode konstruktif terhadap realitas, serta dapat memecahkan permasalah secara solutif yang dihadapi ataupun di temukan pada kepengurusan. Sedangkan kemandirian kader dimaknai sebagai individu kuat dan independen, yang hanif dan berjuang ikhlas lilahitaalla.

    1. INTEGRASI ILMU KEADABAN DAN NILAI KEJUANGAN HMI; AKTUALISASI  ILMU KEADABAN DALAM KADERISASI HMI KOMISARIAT ADAB

Integrasi disini dimaknai sebagai penyatuan antara ilmu keadaban dengan nilai kejuangan hmi yang mempunyai orientasi sama dalam memajukan peradaban umat, bangsa dan Negara ini. Ilmu keadaban sendiri adalah ilmu yang bergerak dinamis dalam menopang kebudayaan dan peradaban umat.

Ilmu keadaban sendiri mempunyai banyak klasifikasi ilmu dan tersebar pada derifasi keilmuan yang menopang pada madaniyah (civilization), hadlarah (peradaban), tsaqofah (kebudayaan). Turats (tradisi) dan fikr (pemikiran). Kelima aspek keilmuan diatas memiliki kajiaan yang saling tumpang tindih tetapi dengan tingkat spesifikasi dan generalitas yang berbeda. Madaniyah adalah ruang keilmuan yang general mencakup hadlarah (peradaban), tsaqofah (kebudayaan). Turats (tradisi) kesenian, kesusastraan, ilmu pengetahuaan gaya hidup personal dan komunal. Sedangkan hadlarah mempunyai tingkat generalitas dibawah madaniyah, sebab ia hanya mencakup aktivitas akal budi pekerti atau pemikiran-pemikaran yang menjadi basis produk material. Sedangkan tsaqofah lebih spesifik karena hanya terpokus pada sisi pemikiran dalam hadlarah baik pada tatanan teoritis maupun praktis,. Adapun turats menunjukan pada produk hadlarah (peradaban) dibidang pemikiran, kesusastraan kesenian termasuk diantaranya adalah tradisi rakyat. Dan fikr merujuk pada dimensi teoritis pemikiran dalam tsaqofah (kebudayaan). Melihat presfektif ilmu keadadaban ini tergolog dalam ilmu humaniora sperti ilmu bahasa, sejarah, kebudayaan, keasripan, perpustakaan. Maka tidak sedikit Perguruan tinggi/UIN/IAIN yang ada di Indonesia menamakan fakultas Adab di tambah dengan ilmu humanira ataupun ilmu budaya menjadi Fakultas Adab dan Humanora ataupun Fakultas adab dan ilmu Budaya.

Ilmu keadaban haruslah menjadi pencerahan terhadap ilmu lain yang sudah tersekulerisasikan dengan ilmu-ilmu barat. Dalam hal ini ilmu keadaban dapat mereflesikan  nilai kesejarhan dan peradaban islam yang maju pada fase abad pertengahan terhadap realitas empiric. Disamping itu ilmu keadaban dapat melestarikan nilai-nilai budaya local sehingga kader HMI Komisariat adab dapat menjadi insane yang cinta akan ilmu, menjadi intelektual besar, pemikir-pemikir handal dalam merespon tantangan global. Disamping itu kader yang cinta akan ilmu keadaban ini diharapkan mempunyai canter Hegemoni terhadap ilmu dan budaya asing (sekulerisme dan westernisme global) sebagai ikhtiar mewujudkan masyarakat madani.

Kader HMI komisariat adab harus dapat menginternalisalidan dan mengaktualisasikan apa yang menjadi bacis need dan basic interest? Keilmuan kader itu sendiri. Secara individu kader harus terampil atau ahli dalam bidang keimuannya. Dan sebagai kolektivitas dalam berorganisasi di Himpunan ini kader harus mengembangkan potensi pribadinya dan kesadaran girah ber-HMI upaya untuk merealisasikan individu yang pakar dalam keilmuan dan siap berkorban dengan ikhlas untuk berjuang dalam mencapai tujuan HMI “ terciptanya insane akademis pencipta, pengabdi, yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT” pasal 4 Anggaran Dasar HMI. Untuk itu semua diperlukan formula- formula yang luar biasa, formula luar biasa inilah yang nantinya meletakkan HMI pada porsinya, dimana HMI dapat diterima semua kalangan dan bermanfaat untuk ummat.

Agar mencapai target yang optimal dalam menjalankan organisasi HMI di komisariat Adab, pertama kader harus mampu memahami tujuan, nilai- nilai dasar perjuangan dan medan perjuangan HMI serta ilmu yang luas, kemudian diaktualisasikan dalam wadah organisasi. Kedua memasifkan komunikasi antar pengurus maupun anggota agar terciptanya keharmonisan dan kesolidan kepengurusan yang masif.

HMI Komisariat Adab harus berangkat lebih jauh ketika kesadarn girah ber-HMI tumbuh akan melahirkan militansi yang kuat. Semua itu harus ditopang dengan landasan keimanan sebagai basis ideology dan ilmu keadaban sebagai paradigma yang dibangun terhadap aktualisasi kejuangan dan kekaderan HMI itu sendiri. Diharapkan dengan terciptanya integrasi ilmu keadaban dan nilai kejuangan HMI, kader-kader HMI Komisariat Adab dapat dapat mengaktualisasikan diri untuk mengisi lokus-lokus kosong keilmuan. baik itu dalam tubuh pengkaderan HMI itu sendiri, maupun terhadah keilmuan-keilmuan yang menopang peradaban. Maka dari itu akan muncul ilmuwan ataupun intelektual baru yang tercerahkan oleh kesadaran untuk berjuang bagi agama, bangsa dan negaranya. Sosok kader paripurna inilah yang akan bergerak sistematis, terorganisir, secara istiqomah dengan kokohnya benteng keimanan lalu ditopang oleh dasar idiologi perjuangannya dan ilmu yang luas akan menjadi tulangpunggung bagi kelompok yang lebih besar.

Kader HMI Komisariat adab haruslah mereka berkualitas dan mempunyai nilai lebih dari mahasiswa lainnya. sebagai mahasiswa mereka terampil atau ahli dalam bidang keimuannya. Sebagai kader mereka memiliki kesadaran untuk berlatih dan mengembangkan potensi pribadinya guna menyongsong masa depan umat, peradaban,  Negara, bangsa Indonesia. Sebagai pejuang mereka ikhlas, bersedia berbuat dan berkorban guna mencapai cita-cita umat islam dalam menopang peradaban dan kemajuan bangsa Indonesia kini dan mendatang. Inilah yang menjadi landasan kaderisasi pendidikan di lingkungan HMI. Komisariat adab haruslah membina kader dengan wawasan keilmuan keadaban dan wawasan kepemimpinan sesuai fungsi dan perannya

Berarti kegiatan HMI komisariat adab merupakan pendidikan kader (kaderisasi) dengan sasaran anggita-anggota HMI dalam hal: (A) watak dan kepribadiaannya yaitu dengan memberikan kesadaran agama, akhlak dan watak yang menjelma menjadi individu yang beriman, berakhlak luhur,memiliki watak ontektik serta memiliki pengabdiaan dalam arti hakiki. (B) kemamapuan keilmuanyang luas, terutama ilmu keadaban. Yaitu dengan membina anggota sehingga memiliki keilmuaan dan pengetahuan serta kecerdasan dan kebijaksanaan. Seorng kader hmi komisariat adab dituntut sebagai intelektual yang paripurna yang tidak hanya pakar pada bidang keilmuannya akan tetapi ia akan memperluas cakrawala keilmuannya ditambah dengan kecerdasan dan kebijaksanan karena is sadar seebagai hamba allah yang mempunyai tanggung jawab social. (C) keterampilannya. Pandai dan cerdas menerjemahkan ide juga pikiran dalam praktik. Dengan terbinanya 3 sasaran tersebut maka terbinalah 5 insan cita HMI yang beriman berilmu dan beramal.
Kaderisasi ataupun pendidikan di komisariat harus dioptimalisasikan oleh kepengurusan yang menciptakan suasana nyaman dalam berorganisasi. Ketika system kaderisasi itu sudah berjalan konsekuensinya secretariat menjadi tempat dan pusat keilmuaan dan keadaban. Sekretariat menjadi kampus kedua bagi kader untuk berikhtiar dan berjuang dalam himpunan ini. Fungsi dan peran secretariat harus di masifkan.

    2. DARI KADER MILITAN HMI ADAB MENUJU KADER PARIPURNA

Girah dan semangat ber Hmi akan menciptakan kemandirian kader secara individu. Sedangkan cecara kolektifitas organisasi kemandirian kader ini haruss dinaungi dalam wadah organisasi dan sistem pengkaderan HMI Komisariat adab. Semangat Ghirah Ber-HMI; Upaya Terciptanya Kemandirian Kader harus dimaknai secara kolektivitas dan menumbuhkan militansi kader (kader militan). Kader militan adalah kader Independen, yang bersedia berproses mengembangkan potensi dan berjuang dengan ikhlas. Disamping itu kader yang miltan harus bias memahami azas, tujuan, idiologi dasar perjuangan dan medan perjuangan yang ada di Himpunan ini. Kader militant ini nantinya akan bermetamorfosis menjadi kader paripurna.

Kader miltan idealnya mengetahui indefedensi etis HMI yang merupakan karakter dan kepribadian kader. Watak independen HMI terwujudkan secara etis dalam bentuk pola pikir pola sikap dan pola laku setiap kader HMI. Juga  teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI akan membentuk "Independensi organisatoris HMI".Aplikasi dari dinamika berpikir dan berprilaku secara keseluruhan merupakan watak azasi kader HMI dan teraktualisasi secara riil melalui, watak dan kepribadiaan serta sikap-sikap yang : Cenderung kepada kebenaran (hanief); Bebas terbuka dan merdeka, Obyektif rasional dan kritis, Progresif dan dinamis dan Demokratis, jujur dan adil. Independensi organisatoris adalah watak independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika HMI.Ini diartikan bahwa dalam keutuhan roda kepengurusan HMI Adab secara massif senantiasa melakukan partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional agar perjuangan komisariat dan segala usaha program kerja dapat terwujud. Dalam melakukan partisipasi partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara organisasi HMI Komisariat Adab hanya tunduk serta komit pada prinsip-prinsip kebenaran dan obyektifitas.

Kader militant adalah proses menjadi insane pelopor yang berfikiran luas dan  berpandangan jauh, bersikap terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu `perjuangan untuk secara kooperatif bekerja sesuai dengan yang dicita-citakan man of future”. Tipe ideal dari hasil perkaderan HMI adalah “man of inovator” (duta-duta pembantu). Penyuara “idea of progress” insan yang berkeperibadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah Allah SWT. Mereka  itu manusia-manusia yang beriman berilmu dan mampu  beramal  saleh dalam kualitas yang maksimal sebagai kader Paripurna.

Selainitu kader paripurna dituntut menerapkan “ethic” tinggi,nilai-nilai yang merepresentasikan seorang yang paripurna. Kader HMI  harus mempunyai kekuaatan moral”moral force” dalam masyarakat. senantiasa harus bersikap kritis dan menciptakan perubahan terhadap realitas. Kader haruslah berkomitmen kepada kebenaran, keadilan dan kejujuran. Karena ilmu yang luas saja tidak cukup perlu adanya kekuatan moral moral force”  untuk membentenginya. Disamping itu kader paripurna adalah pelopor yang mempunya inisiatif avant garde, untuk prakarsa pertama dalam setiap situasi dan kondisi untuk memenuhi tuntutan zaman yang selalu berubah. Kepeloporan dapat di miliki oleh orang yang memiliki tiga sarat sebagai beriku; (1) memiliki ilmu pengetahuan yang luas (2) memahami permasalahan yang menyeluruh sampai keakar-akarnya (3) memiliki kemauan, keinginan untuk melaksanakannya.

Tulisan ini merupakan draf arah perjuangan ataupun arah kebijakan HMI Komisariat Adab UIN Sunan Kalijaga Priode 2011-2012

Wednesday, January 4, 2012

Diglosia di dalam bahasa Arab


Diglosia (Antara amiyah dan fusha )

Perkembangan bahasa Arab dari masa sebelum islam 500 SM hingga sekarang memegang peranan penting terhadap para penuturnya. Bahasa yang hanya digunakan di wilayah semenanjung Arab sebagai bahasa pemerintahan regional dengan beberapa dialek di kawasan tersebut, sekarang digunakan oleh para penutur pada kawasan dua benua. Kawasan tersebut adalah kawasan Asia Barat, Afrika Utara, dan beberapa negara dikawasan Afrika tengah. Bahasa dengan jumlah natif mencapai 300 juta penutur, sebagai bahasa Asing yang dipelajari di pelbagai belahan dunia, dan juga merupakan bahasa pengantar bagi satu miliar lebih masyarakat muslim di dunia, dan bahasa resmi di duapuluh tiga Negara. Di dalam penggunaannya, pasti terjadi kontak di dalam bahasa Arab, maka bahasa Arab akan mengalami sebuah peristiwa kebahasaan, di dalam kajian sosiolinguistik disebut dengan istilah diglosia.  Sejarah dan di duapuluh tiga negera menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, hal tersebut menggambarkan situasi diglostik oleh para penuturnya.
Di dalam bahasa Arab, fenomena diglosia telah terjadi pada masa ja:hiliyahatau pra-islam. penduduk Semenanjung Arab yang terdiri dari beberapa kabilah yang menggunakan bahasa atau dialek khusus, kemudian dialek Quraisdijadikan sebagai lingua franca atau bahasa penghubung antar kabilah di wilajah semenanjung arab. Hal ini merupakan fenomena diglosis dengan dijadikannya dialek quraysh sebagai penghubung, sekaligus bahasa standar, dan ragam bahasa non standar adalah dialek-dialek local dari tiap tiap kabilah.
Dan di dalam tulisan ini hanya memaparkan kebenaran dan kekurangan teori mengenai diglsia Ferguson yang terjadi di dunia Arab.

1.       Definisi
Di dalam kajian linguistic modern istilah diglosia diperkenalkan oleh Ferguson C.A. seorang linguis dari Sanford University  pada tahun 1950 pada artikelnya yang berjudul (chaer dan Agustina 2006:92).  Dan sekarang masih dijadikan referensi klasik  di dalam kajian diglosia klasik, meskipun banyak linguis yang melakukan kajian pada bidang tersebut.
Diglosia merupakan situasi bahasa dengan pembagian fungsi atas variasi-variasi  dalam situasi bahasa (Kridalaksana 2009: 50). Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan adanya peran dan fungsi  dari tiap variasi bahasa tersebut. Variasi tersebut adalah adanya ragam  bahasa Tinggi (Hight) untuk ragam bahasa standar dan rendah (Low)  untuk bahasa non standar. Diglosia lebih ditekankan kepada fungsi dari setiapragam bahasa dan digunakan pada situasi yang berbeda. Ragam standar atau H hanya digunakan pada situasi resmi, dan non-standar digunakan pada situasi resmi.  Di dalam Chaer dan Agustina (2006: 93)  bahasa Arab dijadikan  salah satu contoh dari empat bahasa diantaranya Arab, Yunani, Jerman-Swis, dan Kreol Haiti.  Dan disini kita bahas diglosia di dalam bahasa Arab.

2.        Kontribusi Ferguson
Kontribusi Ferguson terhadap studi diglosia, berikut ini definisi ferguson terhadap diglosia:
Diglossia is a relatively stable language situation in which, in addition
to the primary dialects of the language (which may include a standard
or regional standards), there is a very divergent, highly codified (often
grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large
and respected body of written literature, either of an earlier period
or in another speech community, which is learned largely by formal
education and is used for most written and formal spoken purposes but
is not used by any sector of the community for ordinary conversation
(Bassiouney R, 2009: 10).

Diglosia merupakan situasi kebahasaan yang relative stabil , disamping terdapat beberapa dialek utama pada suatu bahasa terdapat juga ragam bahasa lain.  Dan dialek utama merupakan sebuah dialek standar regional, atau sebuah bahasa standar regional.  Dan dialek utama memiliki perbedaan ciri, Ragam standar yang sudah teerkodifikasi, gramatikal tang komplek, warisan kesusastraan tulis yang sangat kaya dan dihormati,  dipelajari melalui pendidikan formal, ragam bahasa formal digunakan dalam tulis dan lisan, dan ragam bahasa formal tidak digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk percakan sehari-hari.


3.       Kriteria Diglosia dari Ferguson
Pertama, menurut Ferguson fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting.  Menurutnya di dalam masyarakat diglosis terdapat dua atau lebih variasi dalam satu bahasa. Variasi  yang pertama disebut dengan dialek tinggi (Hight Variety) disebut ragam H, dan  yang kedua adalah  ragam bahasa rendah (Low Variety). Di dalam bahasa Arab ragam bahasa standar H dikenal dengan istilah al –fusha kita dengan dua criteria, Modern Standard Arabic  ragam standar yang digunakan saat ini sperti media, berita dll, dan Clasikal Standar Arabic yang kita kenal dalam Al –Qur an, pusi-pusi kalsik. Dan untuk ragam non standar,  Ya’kub di dalam (Toha M, 2005: 205) dan (Yaqub, 2009:86) menamakan dengan istilah al-lughat al –amiyah, al-sykl al-lughawi al-da;raij, al-lahjat al-sya’i’ah, al-lughat al-mahkiyah, al-lahjat al-?Arabiya al-amiyah, al-lahjat al-da;rajah, al-lahjat al-amiyah, al-arabiyah al-amiyah, al-lughat al-da;rijah, al-kala;m al-da;rij, al-kala;m al-ami,  dan lughat al-sya’b . bahasa non standar ini bias any digunakan oleh para penutur ditap regional dalam situasi non-formal.

Ferguson di dalam (Bassiouney  2009: 11) memberikan contoh situasi penggunaan ragam standar ( H ) pada bahasa Arab, adalah sebagai berikut:
1.       Upacara  kgiatan pribadatan gereja atau mesjid (Sermon in church or mosque)
2.       Sidang di parlemen (Speech in parliament, political speech)
3.       Surat Pribadi (Personalletters)
4.       Bahasa Pengantar di Universitas ( University lecture)
5.       Penyiaran Berita (News broadcast)
6.       Editorial surat kabar, berita singkat, ( Newspaper editorial, news story)
7.       Sastra (Poetry)
Kemudian beliau juga memberikan contoh situasi penggunaan ragam non-standar (L) di dalam bahasa Arab, adalah sebagai Berikut:
1.       Interaksi antara buruh, pelayan, pekerja, pegawai toko (Instructions to servants, waiters, workmen and clerks).
2.       Percakapan antara keluarga, teman, dan kerabat (Conversation with family, friends and colleagues).
3.       Radio Opera (Radio soap opera).
4.       Karikatur kartun Politik (Caption on political cartoon).
5.       Sastra Rakyat (Folk literature).
Kemudian criteria yang kedua adalah Prestise, di dalam masyarakat diglosis hanya ragam bahasa tinggi H yang dianggap paling baik dan bergengsi, terpandang, terdidik, dan merupakan bahasa yang logis (Chaer dan Agustina, 2006: 94). Hal tersebut terjadi di dalam bahasa Arab. Banyak dari para penutur bahasa Arab yang terpelajar menganjurkan bahasa non standar (L) Amiyah tidak digunakan.
Di dalam bahasa Arab, penutur yang menggunakan ragam bahasa standar atau fushaorang dianggap sebagai orang yang terpelajar, fenomena tersebut terjadi sejak masa kebangkitan, dan meluasnya wilayah islam.  Penutur yang fasih adalah orang terpelajar yang telah mempelajari bahasa di gurun pasir yang masih murni dan belum terkontaminasi oleh bahasa lain. Dapat kita lihat di dalam bidang sastra para penyair ketika masa pra-islam, dan masa setelahnya memiliki kedudukan yang sangat tinggi, karena dapat melahirkan ungkapan ungkapan yang memiliki niali filosofis tinggi (Muzakki, 2006: 36).
Begitu pula di bidang politik, semua khalifah pada masa bani Umayah dan Abbasiyah adalah mereka yang memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menngunakan bahasa fusha, karena dijadikan sebagai ciri keterpelajaran untuk menjadikan sebagi pemimpin, dapat dilihat pada (Syalabi A. II, 2005). Dapat dipahami  dari segi historis bahasa standar memiliki nilai yang sangat tinggi.
Kemudian kriteria yang ketiga adalah warisan kesusastraan, Bahasa Arab memiliki warisan kesusastraan yang sangat kaya. Mulai dari pusisi yang merupakan genre sastra yang paling awal kemunculannya sudah berusia lebih dari 1500 tahun, kemudian khito:bah, nastar atau prosa. Sebelum dan sesudah munculnya Al Quran, syair merupakan genre yang sangat dihormati dan sekaligus dijadikan korpus oleh para linguis arab ketika abad ke 7 hingga terkodifikasi nya baha Arab, kemudian Al-Qur’an dijadikan sebagai kitab suci kaum muslim, dan dijadikan pula ispirasi  peremajaan bagi bahasa Arab Fusha. Kemduian Prosa di dalam bahasa Arab  memiliki mutu literal yang sangat tinggi mulai dari kisah seribu satu malam prosa modern novel (Allen R, 2008: 5). Karya sastra tersebut telah berakas bagi masyarakat Arab. Meskipun asing bagi masyarakat umum, namun hingga saat ini tradisi itu masih dilanjutkan dengan munculnya aliran sastrawan neo klasik yang selalu menggunakan ragam bahasa standar atau ragam H. Namun tak sedikit pula para sastrawan pembaharu yang menyuguhkan karya sastra dengan menggunakan ram non standar (L) dengan alasan lebih ekspresif dan tak sedikit pula mendapatkan protes dari para kritikus.
Kemdian criteria yang keempat adalah pemerolehan, di dalam bahasa Arab, ragam bahasa standar (al-lughah al-fushah) dilihat dari sgi kesejarahan, ragam tersebut hanya dapat diperoleh melalui pendidikan formal, pada masa permulaan islam bahasa Arab standar diperoleh dikawasan gurun pasir, dan untuk sekarang dapat diperoleh melalui pendidikan formal di sekolah atau universitas. Sedangkan untuk ragam non-standar (Amiyah) hanya diperoleh melalui interaksi di keluarga, lingkungan, dan sebaginya. Meskipun ragam bahasa standar diperoleh melalui pendidikan, dan banyak kaum terpelajar menguasai kaidah ragam H, namun tidak lancer mengunakan ragam H tersbut. Sebaliknya, ragam (L) yang tidak dipelajari melalui pendidikan formal, mereka cendrung lebih lancer menggunakan ragam (L) tersebut. Karena banyaknya kesempatan mengunakan ragam tersebut. Begitulah masyarakat diglostik.
Kemudian criteria yang kelima adalah standarisasi ,ragam bahasa standar (H) al-?arobiyah al-fusha dengan alasan, sperti kepentingan agama, politik, pemerintahan, pemersatu bangsa, dan ciri identitas. Proses standarisasi ragam bahasa H (Hight Variety) dilakukan melalui kodifikasi formal, seperti penyusunan kamus, tatabahasa, buku-buku kaidah kebahasaan ditulis dengan ragam standar (H).  Di dalam bahasa Arab proses kodifikasi telah di mulai sejak abad ke 5 M, pada masa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib, meskipun pada taraf klasifikasi I’rab. Lalu di kembangkan kembali oleh para filolog pada Abad ke 7 sperti Halil Bin Ahmad dan Syibaweih seorang filolog Bagdad, hingga pada masa nahdah atau masa kebangkitan bangsa arab pada abad 18 yang ditokohi oleh Al-Zabi:di:y. (Chejne, 1996: 151). Dengan demikian bahasa (H) akan tetap menjad bahasa yang sangat dihormati dan disegani.
Kemduian kriteria yang kelima adalah stabilitas menurut ferguson di dalam (Chaer dan Agustina 1996: 96) kestabilan bahasa di dalam masyarakat diglosis telah berlangsung sangat lama, dan di antara dua variasi (standard an non-standar) dan hanya satu ragam bahasa yang masih dipertahankan. Di dalam sejarahnya ragam bahasa fusha dari abad ke 5 M hingga sekarang masih dipertahankan, meskipun banyak pertentangan dan gugatan untuk menggunakan ragam bahasa non-standar (?amiyah) untuk berbagai kepentingan di dunia Arab.
Kemudian criteria berikutnya, ferguson menjelaskan kembali bahwa di dalam masyarakat diglosi terdapat perbedaan antara ragam bahasa standar (H) dan non-standar (L), baik di dalam bidang fonologi, sintaksis, da leksikal.
Ferguson menjelaskan kembali di dalam (Chaer dan Agustina 2006: 97) masyarakat diglosis bias bertahan dalam waktu yang cukup lama, terkadang selalu ada tekanan untuk menggantikan bahasa Bahasa Standar dengan bahasa yang lain. Hal demikian terjadi pada bahasa Arab, keberadaan Al-lughah al-Fushah sebagai bagai bahasa standar di dunia Arab untuk berbagai kepentingan, namun ada beberapa kalangan dengan berbagai alasan yang ingin menjadikan bahasa non- standar al-Lugahah al-?Amiyah menjadi bahasa utama di dunia Arab.
                Dengan berbagai kepentingan dan alasan ragam al-Lughah al-Fusha dijadikan sebagai bahasa standar di dunia Arab.  Ferguson berpendapat kembali bahwa ada dua criteria pembetukan bahasa standar
1.       Ragam H telah menjadi bahasa standar di bebeapa bagian masyarkat,
2.       Masyarakat diglosis menyatu dengan masyarakat lain.
Dalam hal ini benar, Bahwa al-Lughah al-Fusha, pada mulanya telah menjadi bahasa standar di kawasan semenanjung Arab, namun seiring dengan meluasnya penyiaran islam dan menyatunya masyarkat arab dengan non arab, al-Lughah al-Fusha  menjadi bahasa standar dikawan asia barat, beberapa Negara di afrika Utara dan  afrika tengah.

Teori Ferguson benar di dalam hal kriteria masyarakat diglosis di dunia Arab, dalam hal klasifikasi variasi bahasa standar (H) dan non-standar (L). Namun fenomena yang terjadi di dalam bahasa Arab adalah untuk ragam standar (H) ada dua variasi yaitu Standar klasik (Standard Clasical Arabic), dan  Arab Standar Modern  (Modern Standar Arabic) sekaligus menjadi cirri khas tersendiri di dalam bahasa Arab. Dan ferguson tidak melakukan klasifikasi tersebut, beliau hanya melakukan klasifikasi antara ragam bahasa standar (H) dan non-standar (L).
 Dapat disimpulkan, diglosia merupakan variasi dari satu bahasa, di dalam satu bahasa terdapat dua variasi, ragam tinggi H dan ragam rendah / low L. dan kedua ragam tersebut, memiliki fungsi masing masing, di dalam bahasa Arab Ragam H atau al-lughah al-fusha dipakai untuk kepentingan resmi, pemerintahan, pengantar pendidikan, bahasa sastra, dll. Adapun al-lughah al-amiyah digunakan untuk kegiatan non-formal, seperti komunikasi di keluarga, di pasar, antar pegawai. Diglosia di dunia Arab sudah terjadi sangat lama yaitu sejak meluasnya wilayah Islam.
Kontribusi Ferguson terhadap diglosia di dalam bahasa Arab sangat baik untuk dijadikan referensi klasik mengenai diglosia, namun di dunia Arab terdapat  keadaan diglosia tersendiri, seperti adanya MSA (Modern Standard Arabic) dan (Stadard Clasical Arabic) dan Amiyah. Kemudian di negara-negara bekas jajahan Prancis digunakannya bahasa prancis seperti di Tunisia, Algeria.
Lalu dengan masalah antara pengaruh diglosia, terhadap proses berfikir, seni, pemerintahan, pendidikan yang kini menjadi  topik yang sangat menarik untuk dikaji. demikian lah pemaparan mengenai diglosia, untuk pembahasan tersebut, akan saya bahas insyaAlloh,,, heuu

Daftar Pustaka

Allen R. (2008). Arab Dalam Novel (penerjemah Irfan Z. Ibrahim). Jogjakarta: e-    
                           Nusantara.

Bassiouney, R. (2009). Arabic Sociolinguististics. Endinburgh: Endinburgh
                                      University Press.

Chaer A, dan Agustina L. (2006). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chejne, A. (1996). Bahasa Arab dan Peranannya Dalam Sejarah (penerjemah Aliudin  
                        Mahjudin) Jakarta: P2LPTK.

Kridalaksana, H. (2009). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Muzakki A. (2006). Kesusastraan Arab Pengantar dan Teori Terapan. Jogjakarta:
                                   Ar-Ruzz Media.

Toha, A. (2005). Bahasa Arab Fusha dan Amiyah Serta prolematikanya.
                         Jurnal Bahasa dan Seni,  Tahun 33, Nomor 2, Agustus 2005.

Yaqub E.B. (2009). Filologi Arab (terjemahan Wagino Hamid Hamdani). Bandung: Zaen
                             Al Bayan.