Pages

Monday, November 14, 2011

Stilistika Al-Qura’n; Dirasah Fi Uslub Al-Qur’an

Uslub berasal dari kata salaba – yaslubu – salban yang berarti merampas, merampok dan mengupas. Kemudian terbentuk kata uslub yang berarti jalan,[1]jalan di antara pepohonan dan cara mutakallim dalam berbicara (menggunakan kalimat).[2] Jika dikatakan salaktu usluba fulanin fi kaza, maka artinya adalah aku mengikuti jalan dan mazhab fulan. Juga jika dikatakan akhazna fi asaliba minal-qaul,maka artinya aku mengambil seni-seni ucapan yang bermacam-macam.[3]
Sedangkan uslub menurut istilah adalah cara berbicara yang diambil mutakallim dalam menyusun kalimatnya dan memilih lafaz-lafaznya.[4] Dengan demikian, uslub merupakan cara yang dipilih mutakallim atau penulis di dalam menyusun lafaz-lafaz untuk mengungkapkan suatu tujuan dan makna kalamnya. Dan uslub terdiri dari tiga hal, yaitu cara, lafaz dan makna. Sedangkan dalam aspek keilmunya tentang studi ilmu uslub/gaya bahasa disebut uslubiyyah atau kita sering menyebutnya dengan istilah stilistika.

Istilah stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris. Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa.
 Dalam Tifa Penyair dan Daerahnya, Jassin merumuskan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya (1978:127). Dalam Mitos dan Komunikasi, “Strategi untuk Suatu Penyelidikan Stilistika,” Yunus merumuskan stilistika dibatasi kepada penggunaan bahasa dalam karya sastra.
Sedangkan dalam Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman ( 1993:3) berpengertian bahwa stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi lingusitik. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khaspenggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana non sastra, meneliti derivasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literatur, singkatnya stilistika meneliti sastra fungsi fuitik suatu bahasa.
Uslub dalam bahasa Indonesia disebut gaya bahasa, yaitu pemanfaatan  atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, baik itu kaitannya dengan tulisan sastra maupun tulisan kebahasan (linguistik). Demikian pula dapat didefinisikan sebagai cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam  bentuk tulis atau lisan.[5]
Dengan demikian uslub al-Qur’an (stilistika al-Quran) adalah metodenya yang eksellen dalam menyusun kalimat-kalimatnya dan pemilihan lafaz-lafaznya. Maka tidak aneh jika uslub al-Qur’an berbeda dengan uslub  kitab-kitab samawiyah lainnya. Sebagaimana juga uslub yang dipakai manusia berbeda satu sama lain sebanyak kuantitas jumlah mereka, bahkan uslub yang dipakai seorang akan berbeda  sesuai dengan tema dan dan konteksnya.
Namun demikian, uslub al-Qur’an bukanlah mufradat (kosa kata) dan susunan kalimat, akan tetapi metode yang dipakai al-Qur’an  dalam memilih mufradat dan gaya kalimatnya.[6] Oleh karena itu, uslub al-Qur’an berbeda dengan hadis, syi'ir, kalam dan buku-buku yang ada, meskipun bahasa yang digunakan sama dan mufradat (kosa kata) yang dipakai membentuk kalimatnya juga sama.
Untuk dapat mengetahui posisi uslub al-Qur’an, maka harus diketahui klasifikasi uslub yang berlaku di kalangan bangsa Arab. Secara global, uslub dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
  1. Uslub khitaby (gaya bahasa retorika)
Retorika merupakan salah satu seni yang berlaku pada bangsa Arab yang mempunyai karakteristik dengan kandungan makna yang kuat, memakai lafaz} yang serasi, argumentasi yang relevan dan kekuatan IQ oratornya. Biasanya seorang orator berbicara mengenai tema yang relevan dengan realitas kehidupan untuk membawa audiens mengikuti pemikirannya. Uslub yang indah, jelas, lugas merupakan unsur yang dominan dalam retorika untuk mempengaruhi aspek psikis audiens.[7]

2.  Uslub ‘Ilmy (gaya bahasa ilmiah)

Uslub ‘ilmy harus jauh dari aspek subyektif dan emotif penuturnya, karena eksperimen ilmiah itu obyektif dan tidak ada hubungannya dengan aspek psikis, emotif dan kondisi  orang yang melakukannya.[8] Uslub ‘ilmiah membutuhkan logika yang baik, pemikiran yang lurus serta jauh dari imajinasi dan emosi, karena sasarannya adalah pikiran dan menjelaskan fakta-fakta ilmiah.

Karakteristik uslub ‘ilmiah adalah jelas dan lugas. Namun juga harus menampakkan efek keindahan dan kekuatan penjelasan, argumentasi yang kuat, redaksi yang mudah, rasa yang brilian dalam memilih kosa kata dan informasi yang dapat dipahami dengan mudah.[9] Oleh karena itu, uslub ‘ilmiah harus tematik dan terhindar dari majaz, kinayah dan permainan kata-kata lainnya.
3. Uslub Adaby (Gaya bahasa Sastra)
Uslub adaby sangat subyektif, karena ia merupakan ungkapan  jiwa pengarangnya, pemikirannya dan emosinya. Oleh karena itu, uslub adaby sangat spesifik.[10]
Sasaran uslub adaby adalah aspek emosi bukan logika, karena uslub ini digunakan untuk memberi efek perasaan pembaca. Oleh karena itu, temanya mempunyai relevansi yang erat dengan jiwa pengarang dan mengesampingkan teori ilmiah, argumentasi logis, terminologi ilmiah dan penomoran-penomoran.
 Tidak diragukan, bahwa al-Qur’an merupakan mu’jizat yang diberikan Allah SWT  kepada Nabi Muhammad SAW yang abadi. Bahkan ia merupakan mu’jizat yang abadi yang tidak musnah oleh masa yang silih berganti, karena ia mu’jizat ‘aqly, bukan hissy dan mu’jizat ‘aqly diperuntukkan bagi umat yang mempunyai kecerdasan dan pandangan yang mendalam. Menurut Manna’ al-Qaththan, segi-segi i’jaz al-Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu al-i’jaz al-lugawy, al-i’jaz al-‘ilmy dan al-i’jaz at-tasyri‘iy. Dan al-Qur’an mempunyai uslub yang eksellen untuk ketiga bentuk i’jaz itu.  Dengan demikian al-Qur’an memuat ketiga klasifikasi uslub di atas, bahkan al-Qur’an dapat menggunakan uslub interdisiplin, yakni memberi isyarat ilmiah dengan bahasa yang indah.
Sebagai contoh adalah firman Allah SWT:
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلاِسْلاَمِ وَمَنْ يُرِدْ اَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَاَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَآءِ.[11]

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” [12]

Al-Qurtuby menyatakan, bahwa maksud Allah melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam adalah Allah meluaskan hatinya dan memberinya kekuatan untuk memeluk agama Islam serta memberikan pahala kepadanya.[13] Arti harajan (sesak lagi sempit) dalam ayat di atas menurut ibn ‘Abbas adalah tempat pohon yang sangat rapat, maka seolah-olah hati orang kafir tidak dapat tersentuh oleh hikmah, sebagaimana hewan ternak yang tidak dapat sampai ke tempat yang rapat oleh pepohonan. [14] Sedangkan az-Zujaj berpendapat, bahwa haraj adalah adyaqu ad-dayyiq (kesempitan yang paling sempit).[15] Dan kesempitan itu dipersonifikasikan dengan orang yang mendaki ke langit (ka annama yas}aadu fis-sama’).
Pada masa turunnya ayat di atas, kemajuan ilmu pengetahuan untuk menjelajah ke ruang angkasa belum dikenal. Maka tasybih dalam ayat di atas merupakan uslub tasybih yang dikaji keindahannya secara balagy. Namun al-Qur’an di samping indah bahasanya, juga sekaligus mengandung kebenaran ilmiah. ‘Abdul-H{amid Dayyab dan Ah}mad Qurquz menyatakan, bahwa ayat di atas mengandung i’jaz ilmy. Bahwa mendaki ke langit pada saat turunnya ayat  dianggap sesuatu yang khayal. Maka diartikan sebagai kalimat majazi. Namun ternyata sesuai dengan penemuan ilmu pengetahuan modern. Bahwa orang yang naik ke langit akan merasakan sesak nafas dan semakin ke atas semakin sesak hingga tidak dapat bernafas. Hal ini disebabkan dua hal, yaitu menipisnya kadar oksigen dan berkurangnya atmosfer yang menyelimuti bumi.[16]
Demikianlah, satu ayat memakai uslub yang indah untuk berorasi kepada manusia dan juga sekaligus mengandung isyarah ilmiah. Begitulah bahasa al-Qur’a>n yang berbeda dengan bahasa-bahasa yang ada. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
قُرْآنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِىْ عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ.[17]

“(Ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.”[18] 
Imam al-Qurtuby  menafsirkan  firman Allah SWT gairi zi ‘iwaj (tidak ada kebengkokan di dalamnya) dengan menyitir pendapat ad-Dahhak yang  menyatakan, bahwa maksud firman Allah itu adalah tidak kontradiktif.[19] Baik kontradiktif antar ayatnya, maupun kontradiktif dengan ilmu pengetahuan dan fakta. Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan kitab petunjuk bagi seluruh manusia  dan memberi mereka stimulan untuk berpikir, sebagaimana firman Allah SWT:  
اِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ.[20]
“Sesungguhnya Kami menjdaikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.”[21]
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang mempunyai nilai i’jaz (kemukjizatan) yang abadi dari berbagai aspeknya, baik tasyri‘iyy, lugawy maupun ‘ilmy.[22]  Dan i’jaz al-Qur’an sangat  jelas bagi semua orang hingga sekarang mengenai uslubnya, karena ia mampu mengemas ketiga aspek i’jaz (tasyri‘iyy, lugawy dan ‘ilmy) dalam waktu yang bersamaan, sehingga pada satu ayat dapat memberikan inspirasi yang berbeda bagi orang-orang yang berbeda kompetensinya, seperti pada QS al-Anam: 125 di atas. Bagi ahli sastra, maka ayat tersebut mengandung tasybih yang sangat indah, yaitu kondisi sesak yang semakin sesak yang dipersamakan dengan mendaki ke langit. Di samping itu, tekanan intonasinya memberikan nuansa rasa ritmis yang indah ketika dibaca. Bagi ahli teologi, ayat di atas memberi inspirasi, bahwa Allah-lah yang memberi petuntuk kepada hamba-Nya, maka jika seorang dikehendaki mendapat petunjuk, Dia memberikan kecenderungan kepadanya untuk dapat mudah menerima kebenaran Islam dan jika Dia menghendaki kesesatannya, maka Dia memberikan tabir di hatinya yang dapat menutupi petunjuk Islam. Dan bagi ilmuwan, ayat di atas sesuai dengan teori ilmiah modern, bahwa orang akan merasa sesak nafas dan akhirnya tidak lagi bisa bernafas ketika mendaki ke ketingian tertentu, karena menipisnya atmosfer dan oksigen dan kelangkaannya pada batas tertentu.
Jadi Uslub al-Qur’an adalah metode analisis dan pendekatan yang refrensif dalam menyusun kalimat-kalimatnya dan pemilihan lafaz-lafaznya. Uslub al-Qur’an  mempunyai karakteristik, yaitu:  sentuhan lafaz al-Qur’an melalui  keindahan intonasi al-Qur’an dan keindahan bahasa al-Qur’an, dapat diterima semua lapisan masyarakat, al-Qur’an menyentuh (diterima) akal dan perasaan, keserasian rangkaian kalimat al-Qur’an dan kekayaan seni redaksional.

Sebagian besar tulisan di ambil dari;
Mahmudi, Madh Dan Zamm  Dalam  Al-Qur’an, (Tinjauan terhadap Tujuan Madh dan Zamm dalam Al-Qur’an) Skrifsi di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta thn 2004






[1] Munawwir Abdul Fattah dan Adib Bisyri, Kamus al-Bisyri, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 335
[2] Muhammad ‘Abdul-‘Azim az-Zarqany, Mana>hilul-‘Irfan  fi ‘Ulumil-Qur’an  (Mesir: Dar al-Ihya’, t.t.), hlm. 198.
[3] Ibrahim Anis dkk., al-Mu’jam al-Wasit}, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), jilid I, hlm. 4
[4] Muhammad ‘Abdul-‘Azim az-Zarqany, Manahilul-‘Irfan…,hlm. 198.
[5]  Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 297.
[6] Ibid, hlm. 199.
[7] ‘Ali al-Jarim dan MustafaAmin, al-Balagah al-Wadihah, (Mesir: Da>r al-Maarif, t.t.), hlm. 12.
[8] Ibid., hlm 15.
[9] Ibid.
[10] ‘Ali al-Jarim dan Mustafa Amin, al-Balagah…, hlm. 152.
[11] QS al-Ana>m: 125.
[12] Mujamma Khadim al-Haramain asy-Syari>fain, al-Qur’an al-Karim wa Tarjamatu Maanihi ilal-Lugah al-Indunisiyah, (Madinah: tp.,tt.), hlm. 208.
[13] Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtuby, al-Jami’ li Ahkamil-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),  jilid  VII, hlm. 80.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hlm. 81.
[16] ‘Abdul Hamid Dayyab dan Ahmad Qurquz, Ma’at-Tibb fil-Qur’an al-Karim, (Damaskus: Mu’assasatu ‘Ulumil-Qur’an, 1982), hlm. 21.
[17] QS az-Zumar: 28.
[18] Mujamma Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm. 750.
[19] Abu‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtuby, al-Jami’… jilid XV, hlm. 251.
[20] QS az-Zukhruf : 3.
[21] Mujamma Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm. 794.
[22] Manna al-Qattan, Mabahis Fi ‘Ulumil-Qur’an, (Riyad} : Manysurah al-'Asr al-Hadis, 1972), hlm. 264.

Tuesday, November 8, 2011

ANALISA DAN RUMUSAN KAJIAN Novel " Di Bawah Lindungan Ka’bah” Karya Buya Hamka

Sedikit penulis petik dari Novel
Di Bawah Lindungan Ka’bah” Karya Buya Hamka ”
Judul APAKAH NAMANYA INI? Halaman 8

“Haji Jaafar tersenyum mendengar saya mengucapkan terima kasih. Mak Asiah memujimuji saya sebagai seorang anak yang berbudi, Cuma ketika berhadapan dengan Zainab dalam rumahnya, mulut saya tertutup, saya menjadi seorang yang bodoh atau Pengecut”

Saya seorang berbudi mewakili orang berilmu, takluknya orang berilmu didepan wanita yang menggetarkan hatinya menjadi gambaran bahwa ada perasaan dalam hati orang berilmu tehadapa wanita tersebut.
Gambaran sebagai orang yang berilmu terkesan dibuat-buat agar pembaca memahami perasaan yang dibawa penulis, padahal kesan kikuk justru menjadikan suasana berubah 360 derajat dengan adanya Zainab.
Bukankah sebuah karya memiliki nilai-nilai keindahan yang terkandung didalamnya? Mengapa sulit menyempurnakan sebuah karya tanpa penilaian dan penafsiran dari orang lain, tidakkah penikmat sastra sendiri memiliki perspektif yang beda?yang perlu dianalisis apa?kemajemukan apakah dasar kelanggengan sastra.
Sedikit jauh penulis menggambarkan kesan beragam tentang perkembangan sastra itu sendiri, cuplikan cerpen di atas sebagai intermezzo pembuka dalam kajian kritik sastra kali ini. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca budiman.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dosen Mata Kuliah Naqd Al Adab Ahmad Kholil M,Fiil.I yang telah memberikan kebebasan unutk menganalisis dan terjun langsung ke dunia Sastra.



PEMBAHASAN

1.1 Biografi Penulis Novel

Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA.

Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

1.2 Sekapur Sirih Novel “ Di Bawah Lindungan Ka’bah “
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastera prosa. Sebagai sebuah karya sastera, novel juga merupakan salah satu bentuk hasil budaya manusia yang dituntut untuk memenuhi aspek-aspek manfaat suatu hasil budaya. Diantara aspek yang dituntut pada sebuah hasil budaya adalah aspek bagi nilai-nilai kemanusiaan. Terkait dengan hal-hal tersebut, maka tinjauan nilai-nilai kemanusiaan dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka merupakan pengungkapan salah satu fungsi novel sebagai hasil budaya. Telaah terhadap kandungan nilai kemanusiaan pada novel ini dan sejauh penelitian yang telah dilakukan mendapati antara nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah seperti nilai kepentingan agama, nilai kasih sayang, nilai ketabahan hati, nilai simpati, nilai persahabatan yang sejati, nilai kepentingan adat, nilai kepentingan ilmu dan nilai berdikari. Nilai-nilai kemanusiaan ini telah digarab dengan baik oleh hamka bagi menghasilkan sebuah novel yang penuh dengan pengajaran dan teladan bagi setiap yang membacanya. Penerapan nilai-nilai ini adalah untuk memberikan kesedaran dan meningkatkan lagi keperibadian masyarakat Melayu. Manakala nilai-nilai yang negatif haruslah disingkir dari kehidupan sekarang.

ANALISA DAN RUMUSAN KAJIAN


1.1 ANALISIS KESUSASTERAAN
nilai yang dihasilkan melalui :
• Perwatakan watak-watak dalam sebuah cerita
• Peristiwa, kisah, suasana dan unsur-unsur lain.
• Persoalan-persoalan yang disungguhkan dan kemudian mendapatkan pokok persoalannya secara keseluruhan
• Plot cerita
Nilai kepentingan agama, nilai kasih sayang, nilai ketabahan hati, nilai simpati, nilai persahabatan yang sejati, nilai kepentingan adat, nilai kepentingan ilmu dan nilai berdikari
Petikan Novel :
“Setahun sebelum itu telah naik haji pula dua orang yang kenamaan dari negeri kita. Maka tersiarkan keamanan Negeri Hejaz.Karena itu banyak orang yang berniat mencukupkan Rukun Islam yang kelima itu. Tiap-tiap kapal haji yang berangkat menuju Jedah penuh sesak membawa jemaah haji”
Pengaruh aspek agama tak terlepas dari rangkaian alur yang ditulis, nuansa ke-udikan lebih mengalir dalam untaian ini.
”Tidak, Mid, kekuatan ibu dikembalikan Tuhan untuk menyampaikan pembicaraan ini kepadamu.”
”Apakah yang ibu maksudkan?”
”Sebagai seorang yang telah lama hidup, ibu telah mengetahui rahasia pada dirimu.”
”Rahasia apa Ibu?”
”Engkau cinta pada Zainab!”
Nilai kasih sayang tercurahkan dalam alur ini, antara para tokoh. Sosok tokoh utama yang lebih dominan ternyata tidak lepas dari seorang tokoh lain sebagai pengembang alur.
“Belum berapa lama setelah budiman itu menutup mata, datang pula musibah baru kepada diri saya. Ibu saya yang tercinta, yang telah membawa saya menyeberangi hidup bertahun-tahun telah ditimpa sakit”
Nilai kekatan hati berpengaruh besar, cobaan menjadi batu sandungan yang terangkai mendalam.
Dalam novel ini juga, terdapatnya nilai simpati terutamanya terhadap golongan yang miskin. Hal ini dapat dilihat dari watak Haji Ja’far yang begitu baik hati dan rendah diri dalam kehidupannya. Beliau sanggup menyekolahkan Hamid dan menanggung segala perbelanjaan Hamid serta ibunya. Ini menyebabkan Haji Ja’far sangat disenangi oleh Hamid dan ibunya serta masyarakat di sekelilingnya turut memandang tinggi kemurahan hati beliau.
“Pada suatu pagi saya datang ke muka ibu saya dengan perasaan yang sangat gembira, membawa kabar suka yang sangat membesarkan hatinya, yaitu besok Zainab akan diantarkan ke sekolah dan saya dibawa serta. Saya akan disekolahkan dengan belanja Engku Haji Ja’far sendiri bersama-sama anaknya.”
“Mendengar perkataan itu, terlompatlah air mata ibuku karena suka cita, kejadian yang selama ini sangat diharap-harapkannya.”
Dibawah ini petikan tentang bagaimana penulis menggabungkan naluri emanusiaan, antara beberapa insane yang memiliki keterikatan batin.
“Setelah nyata wafatnya, maka dengan tidak menunggu lama, kedua Badui itu memikul mayat itu ke rumah syekh kami. Dan mereka berdualah juga yang mengurus dan memikulnya sampai ke kubur.”
Pada hari itu juga selesailah mayat sahabat yang dikasihi itu dikuburkan di Perkuburan Ma’ala yang masyhur.”
Dunia pendidikan menjadi nilai plus dalam novel ini, rasa suka cita terhadap keberhasilan mendidik anak menjadikan alur berwawasan keilmuan.
“Pada suatu pagi saya datang ke muka ibu saya dengan perasaan yang sangat gembira, membawa kabar suka yang sangat membesarkan hatinya, yaitu besok Zainab akan diantarkan ke sekolah dan saya dibawa serta. Saya akan disekolahkan dengan belanja Engku Haji Ja’far sendiri bersama-sama anaknya.”
“Mendengar perkataan itu, terlompatlah air mata ibuku karena suka cita, kejadian yang selama ini sangat diharap-harapkannya.”
Dimana berpijak, maka bumi kelahiran tetap dijunjung jua, begitu pemakalah menggambarkan pemikiran penulis novel ini, tak terlepas dari sebuah kebiasaan atau adat dari pojok kampung cerita, kesan kedaerahan menjadikan novel ini berada pada jalur kecintaan terhadap tanah lahir.
“Sebagai kau tahu, kita telah pun tamat dari sekolah, maka adat istiadat telah mendindingkan pertemuan kita dengan laki-laki yang bukan mahram, bukan saudara atau famili karib, waktu itulah saya merasai kesepian yang sangat.”
“Yang berasa sedih amat, adalah anak-anak perempuan yang akan masuk pingitan; tamat sekolah bagi mereka artinya suatu sangkar yang telah tersedia buat seekor burung yang bebas terbang.”
“Zainab sendiri, sejak tamat sekolah, telah tetap dalam rumah, didatangkan baginya guru dari luar yang akan mengajarkan berbagai-bagai kepandaian yang perlu bagi anak-anak perempuan, seperti menyuji, merenda, memasak dan lain-lain. Petang hari ia menyambung pelajarannya dalam perkara agama.”
Cerita Datuk Maringgih yang mengawini Siti Nurbaya karena materi yang menjadi penyebab, akan tetapi dalam Novel ini materi menjadi Momok dalam kesetaraan sosal antar kasih sayang dan cinta.
“Hapuskanlah perasaan itu dari hatimu, jangan ditibulkan-timbulkan juga. Engkau tentu memikirkan juga, bahwa emas tak setara dengan Loyang, sutra tak sebangsa dengan benang.”
1.2 RUMUSAN KAJIAN
Nilai merupakan salah satu aspek terpenting tuk menghasilkan sebuah karya karana nilai merupakan sifat dalam pemikiran, agama, kemasyarakat dan sebagainya. Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah merupakan sebuah novel yang sarat dengan berbagai nilai yang dipamerkan sama ada nilai-nilai yang positif maupun nilai-nilai yang negatif. Nilai-nilai yang terkandung di dalam novel ini dapat dipertontonkan untuk generasi akan datang bagi melahirkan kesadaran dalam diri generasi sekarang.
nilai positif yang didukung oleh masyarakat pada zaman tersebut jelas menunjukkan bagaimana kehidupan mereka pada masa itu dan nilai hidup inilah yang diwarisi dari nenek moyang ini seterusnya diterapkan ke generasi yang akan datang. Penerapan nilai-nilai ini adalah untuk memberikan kesadaran dan meningkatkan lagi keperibadian masyarakat Indonesia dan Melayu. Manakala nilai-nilai yang negatif haruslah disingkirkan dari kehidupan sekarang.
Secara keseluruhannya, nilai yang positif sebagai gaya hidup yang dipegang oleh sesebuah masyarakat haruslah dicontoh dan dijadikan pegangan bagi generasi muda zaman sekarang


DAFTAR PUSTAKA

Hamka, 1999. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta : PT Bulan Bintang
A.teeuw, Pengantar Sastra
(Diperoleh pada Ogos 27, 2009 daripada laman web Purwantini Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya : http://www.daneprairie.com.)