Pages

Wednesday, May 2, 2012

Semantik dan Semiotik



1.       Apa perbedaan semiotika dan semantic? Jelaskan? 

Semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda secara umum seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Semiotika biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Sedangkan tokoh yang merumuskan teori ini ada dua yakni Charles sander pearce tentang hubungan triadic antara ikonitas, indeksitas dan simbolitas dengan istilah semiotika dan sedangkan Ferdinand Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis.  Saussure dengan istilah semiologi.


Sedangkan  semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna). Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama adalah semiotika, semiologi, semasiologi, dan semetik. Semantik mengandung pengertian studi tentang makna dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantic merupakan bagian dari linguistik. Semantic sebenarnya merupakan ilmu tentang makna, dalam bahasa Inggris disebut meaning. Kata semantic sendiri berasal dari bahasa Yunani. Yaitu sema (kata benda) yang berarti “menandai” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Kemudian semantic disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistic untuk memelajari hubungan antara tanda-tanda linguistic dengan sesuatu yang ditandainya.

2.       Dimana letak relasi antara ilmu semiotika dan semantic?

semiotika adalah : untuk memahami tanda-tanda yang berserakan disekitar manusia. Dari perspektif semiotika, semua hal bisa dikategorikan tanda, termasuk tanda-tanda yang terdapat dalam struktur bahasa (lebih cenderung pada aspek diakronis daripada sinkronis). Sedangkan semantic lebih ke aspek Bahasa (linguistik) merupakan alat ekspresi da komunikasi manusia. Manusia bisa menjelasakan pada sesamanya ide-ide, konsep-konsep, dan bahkan sesuatu yang dinamakan tanda dengan perantara bahasa (lebih mengarah pada aspek sinkronis bahasa/langue “kesejamanan” daripada aspek diakronis bahasa dan parole). Maka, relasi atau kaitan posisi semantik dengan Semiotik, Linguistik adalah : sebagai tanda (dilalah) untuk kemudian dikategorikan dan diklasifikasi oleh semiotik, diekspresi-komunikasikan melalui ide, gagasan atau konsep-konsep oleh semantik (linguistic)

3.       Sebutkan beberapa definisi semantic menurut beberapa ahli?

Berikut merupakan defionisi semantic menurut kutipan para ahli linguistic         
·         Charles Morrist Mengemukakan bahwa semantik menelaah “hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut”.
·          J.W.M Verhaar; Mengemukakan bahwa semantik (inggris: semantics) berarti teori makna atau teori arti, yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.
·          Lehrer; Semantik adalah studi tentang makna. Bagi Lehrer, semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas, karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan antropologi.
·          Kambartel Semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia.
·          Dr. Mansoer pateda Semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna.
·         Ferdinand de Saussure Semantik terdiri dari:
1. Komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk dan bunyi bahasa.
2. Komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.
Konsep semantic menurut Ferdinand de Saussure terdiri dari:

4.        Jelaskan konsep semantiknya Ferdinand de Saussure?

Konsep Semantinya Ferdinand de Saussure Semantik terdiri dari:
1. Komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk dan bunyi bahasa. Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa(ekstralingual).

2.  Komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.misal Sebuah kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bumyi yaitu [b-u-k-u] dan konsep atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku. Menurut Ogden dan Richards (1923), dalam karya klasik tentang “teori semantik segi tiga” , kaitan antara lambang, citra mental atau konsep, dan referen atau objek. 

Makna kata buku adalah konsep buku yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata buku. Gambar di samping menunjukkan bahwa di antara lambang bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa dengan referen atau objeknya tidak berhubungan langsung (digambarkan dengan garis putus-putus) karena harus melalui konsep. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya.

5.       Jelaskan konsep semantiknya Ogden & Richards?

 Ogden & Richards menggambarkan unsur-unsur  makna dengan ―segitiga semiotic sebagai berikut. Dijelaskannya bahwa  makna (pikiran atau referensi) adalah hubungan antara lambang (simbol) dengan acuan atau referen. Hubungan antara lambang dan acuan bersifat tidak langsung, sedangkan hubungan antara lambang dengan referensi dan referensi dengan acuan bersifat langsung. Bagannya sebagai berikut.
                   Bagan 8:  Segitiga Semantik
                                                   Makna (referensi, pikiran)

     
             Lambang( meja)                                                                     Acuan ; referen(sebuah meja)                                                           
              Berkaitan dengan unsur-unsur makna terlibat adanya tanda dan lambang, konsep, dan acuan. Konsep atau referensi merupakan sebuah makna sebagai hubungan antara lambang dan acuannya. Makna itu sendiri mengandung aspek-aspek tertentu yang berupa tema, rasa, nada, dan amanat.Sebagaimana telah disebutkan bahwa makna merupakan hubungan antara lambang dan acuannya. Batasan makna ini sama 20dengan istilah  pikiran atau  referensi (Ogden & Pichards, 1923:11) atau konsep (Lyons, 1977:96). Hubungan antara makna dengan lambang dan acuan sama, yakni bersifat langsung
6.       Ogden & Richards  mengumpulkan banyak  definisi makna. Sebutkan?

Ogden & Richards mengumpulkan banyak  definisi makna sebagai brikut;
(1) Suatu sifat yang intrinsik.
(2) Hubungan dengan benda-benda lain yang unik, yang sukar dianalisa.
(3) Kata lain tentang suatu kata yang terdapat di dalam kamus.
(4) Konotasi kata.
(5) Suatu esensi. Suatu aktivitas yang diproyeksikan ke dalam suatu objek.
i.  Suatu peristiwa yang dimaksud dan  ii. Keinginan
(6) Tempat sesuatu di dalam suatu sistem.
(7) Konsekuensi praktis dari suatu benda dalam pengalaman kita mendatang
(8) Konsekuensi teoritis yang terkandung dalam sebuah pernyataan.
(9) Emosi yang ditimbulkan oleh sesuatu
(10) Sesuatu yang secara aktual dihubungkan dengan suatu lambang oleh hubungan yang telah dipilih.
(11)   i. Efek-efek yang membantu ingatan jika mendapat stimulus. Asosiasi-asosiasi yang diperoleh.
              ii. Bebarapa kejadian lain yang membantu ingatan terhadap kejadian yang pantas.
             iii. Suatu lambang seperti yang kita tafsirkan.
 iv. Sesuatu yang kita sarankan.Dalam hubungannya dengan lambang; penggunaan lambang yang secara  aktual kita rujuk.
(12)  Penggunaan lambang yang dapat merujuk yang dimaksud.21
(13) Kepercayaan menggunakan lambang sesuai dengan yang kita maksudkan.
(14) Tafsiran lambing;  i.   Hubungan-hubungan,  Percaya tentang apa yang diacu,  Percaya kepada pembicara tentang apa yang dimaksudkannya.

7. menurut Ogden & Richards dengan makna terdapat berbagai istilah yang sering terkacau-kan. Sebutkan dan jelaskan?

Dalam kaitannya dengan makna terdapat berbagai istilah yang sering terkacau-kan, menurut Ogden & Richards istilah-istilah tersebut antara lain:
(1) arti, yakni maksud yang terkandung di dalam perkataan atau kalimat, guna, faedah;
(2) amanat, yakni pesan atau wejangan, keseluruhan makna atau isi suatu pembiacaraan, konsep dan perasaan yang disampaikan penyapa untuk diterima pesapa, gagasan yang mendasari karangan, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca;
(3) gagasan, yakni ide, hasil pemikiran;
(4) ide, yakni gagasan, cita-cita, rancangan yang tersusun dalam pikiran;
(5) informasi, yakni, penerangan, keseluruhan makna yang menunjang amanat;
(6) isi, yakni suatu yang ada dalam benda, volume, inti wejangan;
(7) konsep, ide, pengertian yang diabstrasikan dari peristiwa konkret, gambaran mental dari obyek, proses apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal lain;
(8) maksud, yakni sesuatu yang dikehendaki, tujuan, niat, arti atau makna dari suatu hal atau perbuatan;
(9) pesan,  yakni amanat yang harus disampaikan kepada orang lain, nasihat, wasiat;
(10)  pengertian, yakni gambaran atau pengetahuan mengenai sesuatu di dalam pikiran, paham, arti, dan kesanggupan   intelegensi untuk menangkap makna suatu situasi atau perbuatan;
(11)  pikiran, yakni  hasil  berpikir, ingatan  atau   akal,  niat,  22 maksud, angan-angan, aktivitas mental yang mencakup  konsep atau olahan ingatan dan pernyataan;
(i)   pernyataan, yakni proposisi;
(ii) proposisi, yakni rancangan usulan, ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar tidaknya. Proposisi  adalah  makna   kalimat  atau klausa yang terdiri atas perdikator dan argument

7.       jelaskan konsep lambing menurut lyons dan paparkan batasan leksem menurut kridalaksana?

Lyons mengganti istilah  symbol dengan  sign; tought atau  reference dengan  concept; dan  referent dengan signicatum atau  thing. Kemudian istilah  tanda diwujudkan dengan leksem. Dalam hal ini, ―the lexeme signifying the concept and the concept signifyng the thing. Oleh karena itu, Kridalaksana (1987:52) membatasi leksem sebagai:
(1) satuan terkecil dalam leksikon;
(2) satuan yang berperan sebagai input dalam proses morfologis;
(3) bahan baku dalam proses morfologis;
(4) unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari afiks; dan
(5) bentuk yang tidak tergolong proleksem atau partikel.
9. jelaskan konsep hubungan antara tanda,  penanda,  dan  petanda menurut Charles S. Pierce?
Menurut Charles S. Pierce hubungan antara tanda,  penanda,  dan  petanda dengan tiga istilah, yakni:
      (a) icon, yang mengandung ‗similarity‘;
      (b) index, yang mengandung ‗non-cognitive relation‘; dan
      (c) symbol, yang dipakai karena ‗habits‘.
Yang berkaitan dengan masalah leksem ialah  ikon, yang dapat dideskripsikan sebagai tanda yang mempunyai kemiripan topologis antara penanda dan petandanya. Ikon ini terdiri atas beberapa bagian sebagai berikut.
(1) image, yaitu ikon yang penandanya dalam beberapa hal menyerupai pertandanya;
(2) diagram, yaitu ikon yang merupakan susunan dari penanda-penanda teratur yang masing-masing tidak
menyerupai pertandanya, tetapi yang berhubungan, di antaranya mencerminkan hubungan petandanya;
(3) metaphor, yaitu ikon yang antara penanda dan petandanya terdapat kesamaaan fungsional.Tingkatan kemiripan antara penanda dan petanda itulah yang disebut  ikonisitas, atau istilah Ullamnn motivation. Jadi, ikonisitas bersangkutan dengan kejelasan tanda24bahasa atau leksem. Jika suatu leksem jelas (transparent), dalam arti ada kesepadanan antara penanda dan petandanya, maka leksem itu tidak ikonis.
10. Jelaskan tentang konsef Dalam acuan, makna, dan lambang, serta kaitannya menurut Ladislav Zgusta?
Sebelum kita menjawab pertanyaan diatas terlebih dahulu kita harustau apa itu acuan atau refren itu apa?
Acuan atau  referen adalah sesuatu yang ditunjuk atau diacu, berupa benda dalam kenyataan, atau sesuatu yang dilambangkan dan dimaknai. Acuan merupakan unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa. Misalnya, benda yang disebut rumahadalah referen dari kata rumah.

 kaitannya dengan acuan, makna, dan lambang, Ladislav Zgusta (1971) dalam bukunya Manual of Lexicography, menjelaskan tiga istilah yang terkait, yakni designasi atau  denotasi, konotasi, dan lingkungan pemakaian.
Designasi atau  denotasi membentuk makna dasar. Kompoen ini mencakupi tiga unsur utama, yakni:
(1) leksem, sebagai wujud ekspresi yang berupa lambang bunyi, disebut juga penanda (signifiant);
(2) designatum, sebagai pengertian atau konsep benda yang dilambangkan  tadi, disebut juga petanda (signifie); dan
(3) denotatum.  sebagai acuan atau hal-hal yang langsung mengenai bendanya, objek yang diacu, berada di luar bahasa.
Konotasi ialah segala makna yang terjadi karena penambahan sebuah makna yang bersifat lain dari makna dasar. Makna konotasi dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain,
(1) pembentukan ungkapan, contohnya: makan tangan;
(2) dialek sosial, contohnya: kata anda lebih hormat dari kata engkau;
(3) dialek regional, contohnya: kata  kamu berkonotasi baik untuk orang Batak, tetapi berkonotasi  kurang sopak bagi orang Jawa;
(4) bentuk metaforis, contohnya: alap-alap (= pencuri);
(5) asosiasi, contohnya: batu (= hal-hal yang keras); dan
(6) konteks kalimat, contohnya:Dengan tembakan yang bagus dari Eri Irianto, akhirnya bola menjala. Lingkungan pemakaian atau konteks merupakan tempat pemakaian kata berserta maknanya. Kata yang sama dipakai di lingkungan yang berbeda akan memiliki makna yang berbeda pula. Misalnya,  mangkat dan  meninggal bermakna sama, tetapi berbeda pemakaiannya.

Islam dan Nasionalisme


       A.     Latar Belakang Masalah
Sebelum Negara Indonesia terbentuk pada 17 Agustus 1945, bentuk pemerintahan adalah kerajaan-kerajaan. Awal abad ke-16 bangsa Eropa seperti Belanda mulai masuk ke Indonesia dan terjadilah perubahan politik kerajaan yang berkaitan dengan perebutan hegemoni. Kontak dengan bangsa Eropa telah membawa perubahan-perubahan dalam pandangan masyarakat yaitu dengan masuknya paham-paham baru, seperti liberalisme, demokrasi, nasionalisme. Hingga sampai akhirnya Indonesia dapat menumbuhkan jiwa Nasionalisme dan bersatu untuk merdeka.


Bangsa Indonesia memiliki sejarah yang sangat dinamis. Setelah bangkitnya nasionalisme bangsa Indonesia pada abad ke – 20 dengan mulai bermunculannya gerakan-gerakan masyarakat pribumi, berjuang menentang kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan bangsa.Dan tidak dapat dipungkiri lagi, dalam seluruh dinamisasi perjuangan rakyat Indonesia, Islam memiliki peran yang dapat dikatakan sangat signifikan untuk kebangkitan Negara ini. bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan, melainkan ia merupakan simbol kesamaan nasib (ingroup) menentang penjajah asing dan penindas yang berasal dari agama lain.
Sebagai tindakan lanjut dari janji Kaisar Hirohito yang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia maka dibentuklah suatu badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan nama BPUPKI.

Dan kemudian menjadi sebuah persoalan yang unik ketika mayoritas rakyat Indonesia menganut agama Islam, tetapi fakta sejarah menunjukan negara tidak memberikan kesempatan bagi politik Islam untuk berkembang, persoalan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya rasa saling curiga antara pemikir dan aktivis politik Islam dan Negara di Indonesia. Dan akhirnya berdampak pada kesulitan – kesulitan dalam penentuan landasan penyelenggaraan Negara kedepannya.
Kesulitan ini mengingatkan muncul beberapa bulan sebelum dan sesudah kemerdekaan negara dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, dan itu bermula ketika para anggota Dokuristu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI), yang disponsori pemerintah kolonial Jepang berdebat tentang dasar ideologi-filosofis yang akan digunakan negara kita.
Pada 9 April 1945 BPUPKI resmi dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberi kemerdekaan pada Indonesia sesuai pengumuman Perdana Menteri Koiso pada 9 September 1944. Anggota BPUPKI dilantik pada 28 Mei, diketuai Radjiman Wedyodiningrat, dan antara 29 Mei sampai 1 Juni 1945 mengadakan sidang pertamanya.
Anggota BPUPKI pada mulanya berjumlah 62 orang, tapi kemudian ditambah 6 lagi menjadi 68 orang. Menurut Prawoto Mangkusasmito, dari 68 orang tersebut 15 merupakan tokoh-tokoh Islam. Diantara mereka antara lain yakni: A Sanusi (PUI), Bagus Hadikusumo, Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah), Wachid Hasjim, Masjkur (NU), Sukiman Wirosandjojo (PII sebelum perang), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (Penyadar sebelum perang), Abdul Halim (PUI). Sementara, tokoh-tokoh nasionalis antara lain: Radjiman Wedyodiningrat, Sukarno, M Hatta, Supomo, Muhamad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, Suroso, Buntaran Martoatmodjo dll [1]. Hal-hal yang dibicarakan pada sidang tersebut berkisar pada persoalan tentang bentuk negara, batas negara, dasar negara dan hal lain terkait pembentukan konstitusi bagi sebuah negara baru.
Pembicaraan tentang hal-hal itu berjalan lancar, kecuali tentang dasar negara yang berlangsung tegang dan panas. Ada dua aliran yang muncul yakni golongan Islamis yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan golongan nasionalis (yang kebanyakan anggotanya juga beragama Islam), yang menginginkan pemisahan urusan negara dan urusan Islam, pendek kata, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
Golongan nasionalis menolak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam karena melihat kenyataan bahwa non-Muslim juga ikut berjuang melawan penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Golongan ini juga menegaskan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam akan secara tidak adil memposisikan penganut agama lain (non-Muslim) sebagai warga negara kelas dua.
Kelompok yang pertama menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi sebuah negara Islam, atau Islam harus menjadi dasar ideologi negara . Sedang kelompok kedua, mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional, dimana mendasarkan argumen mereka kepada kenyataan bahwa Islam tidak memiliki pandangan yang tegas dan utuh mengenai hubungan agama dan negara. Dari sekilas perdebatan yang dialami pada masa tersebut, penyusun ingin mendalami perspektif tentang Negara dan landasannya baik dari kelompok Islam maupun nasionalis dalam bentuk makalah yang mengkaji mengenai ideologi masing – masing.
B.     Rumusan Masalah
Masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah  :
1.      Bagaimana perjuangan serta kerangka berfikir kelompok Islam dalam menentukan landasan Negara dalam konstituante?
2.      Bagaimana konstruksi berfikir kaum nasionalis dalam pergulatan menentukan landasan Negara ?
3.      Bagaimana persoalan perbedaan ideologi antara Islam dan Nasionalis di Indonesia dalam konstituante ?
C.    Maksud dan Tujuan
Maksud dan Tujuan dari disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Memahami adanya persoalan mendasar dalam pembentukan sebuah konstruksi Negara yang ideal dalam sejarah bangsa Indonesia.
2.      Memahami posisi kelompok Islam dengan ideologi yang dibawa untuk pembentukan pandangan dan landasan hukum.
3.      Memahami perspektif kaum nasionalis atas pluralisme bangsa yang ingin dituangkan dalam konstruksi yang adil untuk seluruh rakyat.
4.      Mampu memahami realitas yang rumit antara kedua golongan dalam memperdebatkan landasan terbaik bagi bangsa Indonesia.
5.      Mampu memberikan tanggapan atas fenomena yang terjadi untuk dijadikan landasan berfikir pada persoalan – persolan yang terkait dengan hal tersebut.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ideologi Islam dan Perjuangannya dalam Konstituante
Perebutan pengaruh politik antara Islam dan nasionalisme itu pada masa Jepang semakin ketat, karena Jepang memang lebih mengakomodasi dua kekuatan tersebut daripada kalangan pemimpin tradisional seperti priyayi, meskipun demikian Jepang tetap berhati-hati dalam memberikan kebebasan berpolitik kepada umat Islam Indonesia. Namun lambat laun cita-cita kelompok nasionalis mulai kelihatan semakin kuat dan cenderung mengalahkan cita-cita dari golongan Islam. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan BPUPKI.[2]
Alasan teoritis terutama dalam hubungan dengan hukum tata negara Indonesia, untuk menganggap perlunya pembahasan mengenai konsep negara adalah suatu konsep negara merupakan suatu pandangan tentang negara, hakikat dan susunannya, mempunyai pengaruh besar terhadap penafsiran aturan-aturan dasar dalam tata negara, membantu memberi pengertian yang lebih tepat pada apa yang bisa dan apa yang bisa dan apa yang telah dirumuskan secara tertulis Karena, pandangan tentang hakikat negara itulah teristimewa tentang hubungan negara dengan warganya, yang digunakan sebagai titik tolak untuk menentukan segalasesuatu yang imgin diatur (soal hak dan kewajiban misalnya ketika menyusun konstitusi sebuah negara. Kalau hukum adalah norma, termasuk hukum tata negara, maka menurut teori itu konsep negara adalah suatu pengertian yang dijadikan pola, dan dengan pola itu norma tersebut dan juga norma hukum selanjutnya akan disesuaikan.konsep negara menjadi landasan atau berfungsi sebagai norma dasar dalam sistem hukum suatu negeri. [3]
Dalam badan inilah Soekarno kemudian mencetuskan idenya tentang “Pancasila” [4]. Dalam ide tersebut pemisahan agama dan negara sudah tampak jelas, pada beberapa bagian dari idenya tersebut, ia tetap bertahan pada konsepnya tentang demokrasi dan agama, yang mengatakan bahwa bila bersifat demokratis, berarti negara dan agama harus dipisahkan dan sebaliknya bila keduannya disatukan demokrasi akan tersingkir dari kehidupan bernegara.
Dalam membahas soal nasionalisme dan ketuhanan terjadilah hubungan antagonistik yang cukup serius antara nasionalis sekuler dengan kalangan pemimpin Islam. Ketegangan itu dapat di akhiri sementara, setelah kedua pihak menerima usulan masing-masing keinginan yang bersifat ideologis dan bersyarat. Selain itu secara kualitas anggota golongan Islam di bawah dari golongan-golongan nasionalis sekuler dan priyayi jawa. BPUPKI beranggotakan 68 Orang terdiri dari 8 Orang Jepang, 15 Orang golongan Islam, 45 Orang nasionalis sekuler dan priyayi jawa. 8 orang Jepang dapat terabaikan, sebab mereka tidak terlibat dalam pembicaraan, sementara golongan priyayi berpihak kepada golongan nasionalis sekuler. Ini jelas bahwa golongan Islam berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler yang tidak berimbang jumlah suaranya untuk membahas soal dasar negara.[5]
Natsir yang mewakili partai Masyumi mengajukan Islam menjadi dasar negara. Dalam anggaran dasar Masyumi dinyatakan sebagai partai Islam yang bertujuan untuk menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia dan melaksanakan cita-cita Islam dalam bidang kenegaraan. Hingga dapat mewujudkan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan terciptanya masyarakat yang berkeadilan menurut ajaran Islam, serta memperkuat dan menyempurnakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia oleh karena itu dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam.[6]

Islam sebagai agama merupakan sebuah jalan keselamatan bagi manusia. Islam membawa nilai ke-tauhidan yang menentang penghambaan manusia kepada dzat selain Allah SWT, agar manusia mempunyai orientasi jelas dalam hidupnya yaitu sebagai Abdullah dan Khalifatullah. Oleh karena itu ajaran Islam bersifat abadi dan universal. Ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadits bukanlah sebuah ideologi. Namun ajaran Islam yang terkandung dalam kedua sumber ajaran diatas dapat ditransformasikan dan diformulasikan untuk dijadikan sebuah rumusan landasan gerakan. Rumusan tersebut bersifat eksplisit, tegas, serta mempunyai cara-cara untuk mencapainya. Rumusan tersebutlah yang disebut dengan ideologi.

Berdasarkan pandangan diatas, Natsir memiliki kesadaran dasar bahwa ajaran-ajaran Islam yang ditransformasikan dan diformulasikan dalam bentuk ideologi dapat dijadikan sebuah konsepsi dalam penerapan sistem  demokrasi. Ajaran Islam yang abadi dan universal melandasi sebuah sistem demokrasi, karena tidak ada sebuah perbedaan tujuan antara ajaran Islam dengan tujuan dari sistem demokrasi. Oleh karena itu Natsir menyimpulkan serta menegaskan bahwa demokrasi yang harus dilaksanakan ialah “theistic democracy”, yakni demokrasi yang didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan.

Dengan pengetahuan holistiknya tentang Islam, Natsir menampilkan sebuah gagasan pembaharuan dalam menempatkan hubungan Islam dengan demokrasi. Natsir berpendapat bahwa “ sejauh terkait dengan pilihan kaum muslimin, demokrasilah yang diutamakan karena Islam berkembang dalam sistem yang demokratis.”[7] Pendapat tersebut menandakan bahwa Natsir lebih mengedepankan sistem demokrasi dalam pencapaian tujuan ideologinya.
Bagi Natsir, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), "Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku." (51: 56). Bertitik tolak dari dasar ideologi ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.[8]

Untuk mengatasi perbedaan ideologis ini, BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang untuk mempelajari kedudukan Islam. Kelompok Islam diwakili oleh Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Agus Salim dan Abikusno Tjokrosujoso, sedangkan kelompok Nasionalis diwakili juga oleh empat orang, yaitu Muh. Hatta, M. Yamin, Soebarjdo dan AA Maramis. Sedangkan seorang lagi bertindak sebagai ketua dan sekaligus sebagai penengah, yaitu Soekarno.[9]
Panitia ini mencapai kompromi, yang kelak kita kenal dengan Piagam Jakarta. Ini merupakan mukaddimah pada konstitusi berdasarkan rumusan yang tampaknya disetujui semua anggotanya baik yang nasionalis maupun yang Islam. Dalam Piagam Jakarta ini, dimasukan prinsip-prinsip pancasila walaupun dengan rumusan yang berubah. Perbedaan penting adalah, pertama, urutan kelima dasar telah berubah, ketuhanan dalam konsep Soekarno diletakan dalam urutan kelima, kini menjadi yang pertama. Kedua, dalam Piagam Jakarta ini, selain ketuhanan menjadi sila pertama, juga ditambahkan tujuh kata berikut menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Namun, setelah melewati masa persidangan perubahan dari BPUPKI menjadi PPKI, akhirnya tujuh kata tersebut dirubah kembali menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” , untuk menengahi dan mencari jalan terbaik, Moh Hatta, berusaha meyakinkan wakil-wakil yang menyuarakan cita-cita Islam bahwa hanya dengan konsepsi tersebut yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat. Kemudian selanjutnya dalam hal ini Hatta berpendapat bahwa dengan perubahan tersebut, peraturan dalam rangka syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan dalam rancangan UU di DPR, yang setelah diterima DPR mengikat umat Islam Indonesia.
Peristiwa diatas menunjukan bahwa secara kuantitas keanggotaan BPUPKI umat Islam –diwakili dolongan Islam—terkalahkan oleh golongan nasionalis sekuler. Begitu pula dengan dasar negara Pancasila tanpa menambah tujuh kata yang menjamin terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam. Dalam Piagam Jakarta, ini merupakan kekalahan politik Islam. Sejak saat itulah kata Ainar Martahan Sitompul [10], hubungan antara agama dan Negara menjadi unik, dalam pengertian Indonesia bukan agama teokrasi tetapi juga bukan agama sekuler menurut sudut pandang ideologi.
Kondisi sekitar sidang BPUPKI dilukiskan oleh Dawam Rahardjo[11] , bahwa perjalanan politik Islam pada dasawarsa 50-an basis-basis politik Islam sebenarnya keropos . alasan "kekeroposan" itu kata Dawam antara lain karena konstituen politik Islam gagal memberikan dukungan yang dioperlukan bagi terwujudnya sebuah tradisi pemerintahan yang kuat dan artikulasi pemikiran dan aktivisme politik yang lebih rasional dan integratif.
Pada alasan yang kedua dari Dawam di benarkan oleh Deliar Noer, menurutnya, mereka-golongan Islam- bukan tandingan Soekarno dan kawan-kawannya dalam berargumentasi secara filsafat. Realitas ini jelas suatu penurunan yang berarti.[12]Hal ini perlu dikaitkan dengan semangat dibalik kekalahan atau kelemahan golongan Islam berdebat politis-ideologis di panggung konstitusi kenegaraan. Ini dapat ditelusuri pada suhu pollitik dan semangat perjuangan ideologis golongan Islam, yakni Islam dalam masa revolusi yang ditandai dengan terbentuknya beberapa partai Islam seperti Masyumi . Dengan demikian golongan Islam bukan "keropos" tapi "melemah" atau "terkalahkan". Kedua istilah tersebut diatas melemah dan terkalahkan mengandung perjuangan kilas balik. Artinya di balik kelemahan atau kekalahan itu mengandung semangat juang untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan Islam menuju lini ideologi kehidupan bernegara sekaligus berbangsa atas dasar syariat.
Kekalahan golongan Islam dengan dihapuskanya Piagam Jakarta membuat mereka bersatu dan inilah salah satu pencerminan komitmen solideritas berbasis nasib yang sama, yakni basis keagamaan. Komitmen inilah yang melahirkan partai politik yang dapat menjadi payung organisasi Islam saat itu. Pemikiran demikian berimplikasi terhadap konflik ideologis tentang dasar negara belum berakhir. Dan ternyata masalah ini mencuat kembali pada perdebatan konstituante pada hasil pemilu 1955.
Dalam pandangan Bachtiar, tema-tema politik Islam lebih bergulir pada tataran Ideologi dan simbol—sesuatu yang mencapai klimaksnya pada perdebatan dalam konstituante pada paruh kedua dasawarsa 50-an—ketimbang substansi.[13]
Selama hampir dari lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, tidak ada hambatan serius yang menghalangi hubungan politik antara arus utama pemimpin dan aktivis Islam dengan kelompok nasionalis. Perdebatan-perdebatan diantara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dan negara dihentikan. Mereka paling tidak untuk sementara, bersedia melupakan perbedaan ideologis diantara mereka. Dan tidak diragukan lagi pada masa itu para pendiri republik merasa bahwa mereka harus mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk kembali berkuasa.
Meskipun tidak ada benturan disana-sini, kedua kelompok diatas- Islam dan Nasionalis-mampu mengembangkan hubungan politik relatif harmonis diantara mereka. Kelompok Nasionalis dipimpin oleh Soekarno tetap memegang kemudi kepemimpinan. Sementara itu menyusul diserahkannya kekuasaan Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan mulai memperlihatkan kekuatannya yang besar dalam diskursus politik nasional. Dengan Masyumi, yang dibentuk pada November 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya. Kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar.
Untuk alasan itu maka Syahrir (pemimpin PSII) memperkirakan bahwa jika pemilihan umum diselenggarakan, maka Masyumi- yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan muslim modern (muhammadiyah) yang mempunyai basis anggota di perkotaan dan ortodoks (NU) yang jumlah anggotanya lebih besar dikalangan pedesaan- akan memperoleh 80% suara.[14]
Sejak itu konfigurasi politik Indonesia terbagi menjadi tiga Ideologi besar yang dimotori oleh partai-partai politik yang semakin bermunculan pada waktu itu. Partai-partai tersebut terbagi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kekuatan besar, yaitu; kekuatan politik dengan ideologi Islam, yang diwakili olek Masyumi (berdiri 7 November 1945), PSII (1947), PERTI dan NU (1952), sedangkan ideologi Nasionalis (sekuler) diwakili oleh PNI dan ideologi Marxis-Sosialis diwakili oleh Partai Sosialis (1945), PKI (1945), Partai Buruh Indonesia (1945) dan Persindo, serta partai-partai lainya yang dapat dikategorikan kedalam mainstream ideologis di atas.[15]
Menjelang pemilu, pertarungan ideologi pun semakin meruncing. Ideologi politik yang paling besar dan berpengaruh ketika itu adalah Islam, Nasionalis dan Komunis. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang runtuh setelah Pemberontakan Madiun tahun 1948 bangkit dengan cepat. PKI tampil lebih korporatif dan memanfaatkan pertarungan antara Islam dan Nasionalis. Kondisi politik yang penuh pertikaian elite, keadaan ekonomi yang parah, serta sektor strategis dan modal yang dikuasai asing membuat PKI cepat meraih massa. Selain itu, ketakutan kemenangan Masyumi pada pemilu 1955 itu juga membuat PKI mudah mendapat teman dari pihak Nasionalis, setidaknya dari elite yang khawatir Masyumi akan mendirikan negara Islam.
Deskripsi perjalanan historis diatas, secara tegas menunjukan bahwa suhu politik yang tertampung dalam majelis konstituante tidak dapat mendinginkan pertarungan cita-cita ideologis antara golongan Islam dengan golongan nasionalis, yang keduanya memang sudah lama bersitegang. Hal ini menunjukan bahwa sampai dengan saat itu hubungan Islam dan Negara tidak pernah bersentuhan. Lalu, jenis Islam manakah yang dapat menjamin terbinanya hubungan yang baik antara Islam dan Negara bangsa di Indonesia.
Hasil diskursus politik masa konstituante, seperti dianalisis oleh Bachtiar Effendi, menunjukan bahwa pemikiran dan praktek politik Islam masa lalu mengalami kesenjangan yang tidak terjembatani dengan ide-ide politik kalangan nasionalis. Padahal kalangan nasionalis ini sebagian terdiri dari orang-orang muslim yang taat, mereka tidak mendukung gagasan politik yang ingin menghubungkan Islam dengan negara secara formalistik dan legalistik.[16]
Tuntutan ideologis tentang perjuangan dasar negara Islam pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia hingga –paling tidak dasawarsa 1950-an, memang logis dan wajar, sebab kondisi politik membuka peluang untuk berkompetisi secara aktif baik bagi golongan Islam maupun golongan nasionalisme. Dasar utama landasan perjuangan Islam harus memahami secara formalistik dan legalistik, sebab Islam adalah agama sekaligus sistem politik. Oleh sebab itu, jika Islam dipaksakan sebagai agama yang bersifat substansialistik pada masa itu, berarti Islam hanya bersentuhan dengan nilai-nilai ajarannya saja. Padahal negara yang baru terbentuk dan masih mencari format dasar negara maka suatu keniscayaan Islam harus dipikirkan dan di praktekan dalam tataran ideologis dan simbolis.
Oleh sebab itu, tawaran Bachtiar Effendi tersebut memunculkan pemikiran baru Islam untuk menciptakan sebuah sintesa Islam dan Negara yang secara sosiologis garis keagamaan sesuai. Sejauh ini upaya-upaya tersebut dilakukan dengan cara mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan dan aktifitas politik yang dianggap sesuai dengan situasi sosial keagamaan masyarakat Indonesia.[17]
Islam sebagai agama doktrin yang bersifat holistik dalam tingkat pemahaman telah menimbulkan keragaman interpretasi. Karena itu, ketika Islam berhadapan dengan negara terutama dalam masalah yang bersifat ideologis, Islam perlu bersifat transformatif dan akomodatif. Satu sisi Islam bertindak sebagai pemersatu bangsa dan negara, dan di sisi lain Islam sebagai kekuatan utama penopang negara.
Pengalaman sejarah perjuangan Islam Indonesia -terutama pada masa konstituante- membuktikan pada kita bahwa Islam seharusnya di tempatkan pada posisi yang mendukung terhadap keberadaan negara, Islam tidak harus di pahami dan di paksakan sebagai agama sekaligus sistem politik, hubungan antagonistik antara Islam dan negara tampaknya tidak akan terwujud apabila Islam dan negara dibawah tataran ideologis-simbolistis, formalistik-legalistik dan diposisikan tidak sesuai dengan wilayah keagamaan dan wilayah kenegaraan, apalagi mengabaikan hubungan yang akomodatif. [18]
Pandangan mengenai Islam yang legalistik formalistik tampaknya memancing munculnya ketegangan–ketegangan dalam sebuah masyarakat yang secara sosial keagamaan dan kultural bersifat heterogen. Pada sisi lain apa yang disebut sebagai Islam yang substansialistik –yakni mendahulukan keadilan, kesamaan, partisipasi dan musyawarah- dapat memberi landasan yang penting bagi pengembangan sintesis yang sesuai antara Islam dan negara, dalam rangka membentuk kembali hubungan politik antara keduanya.[19]

B.     Pancasila Sebagai Tatanan Ideologi Kaum Nasionalis
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kita ideologi sendiri diciptakan oleh destutt de trascky pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideology Marxisme).[20]
Pancasila yang kita kenal sekarang adalah Pancasila versi Piagam Jakarta, dengan revisi sila pertama. Pancasila versi Bung Karno adalah seperti ini :
1.      Kebangsaan
2.      Internasionalisme atau kemanusiaan
3.      Mufakat dan demokrasi
4.      Kesejahteraan sosial
5.      Ke-Tuhanan Yang Maha Esa

Bung Karno melihat bahwa yang paling penting sebagai fondasi berbangsa adalah kita harus menjadi sebuah bangsa yang satu. Setelah itu baru menyusul kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, dan ke-Tuhanan. Dulu sewaktu masih sekolah aku sempat mempertanyakan kenapa Bung Karno menempatkan ke-Tuhanan sebagai sila terakhir. Apakah Bung Karno menganggap Tuhan tidak penting? Bung Karno melihat sila ke-Tuhanan sebagai sebuah penutup untuk melengkapi. Beliau menyadari bahwa agama-agama yang berbeda di Indonesia juga bisa membawa benih perpecahan. Sebagai penutup, sila ke-Tuhanan versi Bung Karno berarti toleransi beragama, janganlah keempat sila sebelumnya tercerai-berai hanya karena pertikaian agama. Itulah versi Bung Karno. [21]
Lain lagi dengan versi Mohammad Yamin. Beliau menempatkannya seperti ini :
1.      Peri Kebangsaan
2.      Peri Kemanusiaan
3.      Peri Ke-Tuhanan
4.      Peri Kerakyatan
5.      Keadilan Sosial

Kemudian Yamin merevisinya menjadi :
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa
2.      Rasa Persatuan Indonesia
3.      Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Mohammad Yamin menempatkan Tuhan di sila pertama. Yamin memaknai sila ke-Tuhanan berbeda dengan Bung Karno. Baginya ke-Tuhanan bukan menjadi dasar Negara melainkan pengakuan akan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Yamin juga melihat potensi sila ini sebagai pemecah bangsa. Tiap-tiap agama monoteis memiliki konsepsi Tuhan yang berbeda-beda. Belum lagi yang animis, polities apalagi ateis. Oleh karena itu di dalam pidatonya ia mengatakan bahwa ke-Tuhanan hanya mengikat bagi bangsa Indonesia, tidak mengikat bagi masing-masing pribadi. Namun tawaran ini juga memberikan masalah baru, karena kalau sila pertama tidak mengikat, begitu pula sila berikutnya, dengan demikian peri kemanusiaan juga tidak mengikat, begitu pula kebangsaan, kerakyatan dan keadilan. Ini menjadi masalah besar.
Sementara itu golongan Islam umumnya mempunyai tafsir yang lain. Kelompok ini dapat diwakili oleh pemikiran Hatta, Natsir dan Hamka. Mereka semua berpendapat bahwa sila pertama adalah fondasi bagi sila-sila lain. Karena jika seorang mengakui Tuhan Yang Maha Esa, ia juga otomatis menjadi seorang yang berperikemanusiaan, kebangsaan kerakyatan, dan tentunya juga berkeadilan sosial. Sila pertama adalah inti dari Pancasila. Golongan agama, khususnya monoteis, setelah digantinya versi Piagam Jakarta yang berbunyi ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi penganutnya, dapat menerima versi ini.
Akhirnya adalah Pancasila dari Piagam Jakarta-lah yang kita pakai sampai saat ini, minus sila Pertama :
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di sinilah akar permasalahan Pancasila, di sila pertama. Sila-sila yang lain relatif tidak bermasalah dan dapat diterima semua pihak. Persoalan ini kemudian dibawa ke Konstituante yang bertugas merumuskan sebuah undang-undang dasar yang tetap, mengingat semua undang-undang dasar sebelumnya (UUD 45, UUD RIS, UUD Sementara) adalah bersifat sementara.
Masalah perumusan dasar Negara adalah penting sebelum penyusunan konstitusi karena diperlukan pijakan filosofis bagi konstitusi: apakah ia berdasar agama, atau yang lain misalnya. Pancasila yang tercantum di UUD 1945 adalah sebuah kesepakatan sementara yang diterima dalam keadaan darurat, dimana perbedaan-perbedaan diabaikan demi kepentingan situasi. Adalah tugas Konstituante untuk menyelesaikan masalah ini, begitu besar masalah yang diemban oleh Konstituante.
Di lain pihak Konstituante adalah badan paling demokratis yang pernah ada di bumi Indonesia. Ia dibentuk oleh pemilu yang paling demokratis dalam sejarah Indonesia. Semua orang menaruh harapan besar pada Konstituante.[22]
Di dalam Konstituante terdapat pertentangan yang kuat tentang tafsir Pancasila ini. Penafsiran kelima sila lima tersebut tidak mencapai kesepakatan mengenai sila apa yang paling mendasar. Golongan agama melihat sila yang pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dan mendasari sila yang lain.
Golongan komunis, yang cukup besar waktu itu sebagai pemenang ke-4 Pemilu tentu tidak bisa menerima ini. Mereka mau mengubah sila pertama menjadi “Kebebasan Beragama”. Secara implisit sebenarnya mereka mau memasukkan tafsir bahwa bebas beragama juga berarti bebas tidak beragama, yang menjadi landasan berpikir bagi paham mereka. Ini tentu saja tidak bisa diterima oleh golongan agama, karena melihat ini sebagai pintu masuk bagi komunis untuk mengambil alih Negara ini.
Pihak nasionalis yang diwakili PNI juga memiliki pemikiran yang lain. Mereka mengikuti pemikiran Bung Karno yang menempatkan kebangsaan sebagai sila yang utama. Bung Karno jika dipaksa menyarikan Pancasila menjadi satu sila, ia menamakannya Ekasila, yaitu “Gotong Royong”. Golongan agama tentu tidak bisa menerima ini juga, karena sila utamanya menjadi bukan sila ke-Tuhanan. Perdebatan tiga golongan ini cukup untuk membuat sidang Konstituante panas.
Tokoh nasionalis lainnya seperti Supomo, Muhamad Yamin dan Muhamad Hatta, mereka berpendirian sama, bahwa negara ini didirikan atas dasar kebangsaan (integral), perikemanusiaan, peri ketuhanan, perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Supomo, (yang banyak diilhami filsafat Hegel dan Spinoza ini), negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Intinya bahwa negara harus mengabstraksikan pengayoman seluruh golongan masyarakat (manunggal).[23]

C.    Pergulatan Antara Islam dan Nasionalis dalam Konstituante
Pergerakan-pergerakan kemerdekaan Indonesia yang dimulai sejak awal abad ke-20 telah menunjukkan bipolarisasi: pergerakan nasionalis “sekuler” berdasarkan kebangsaan, dan pergerakan nasionalis “Islami” berdasarkan Islam. Kedua paham ini mewarnai Sidang Pertama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) yang berlangsung dari 29 Mei sampai 1 Juni 1945.[24]
Majelis konstituante bersidang dari bulan November 1956 sampai juni 1959, masalah-masalah yang dibicarakan, dalam majelis ini meliputi masalah –masalah bentuk Negara, bahasa, bendera, hak-hak asasi manusia, Dasar Negara dan lain-lain isu konstitusional yang relevan. Selain masalah dasar negara , di mana seluruh kekuatan partai Islam bersatu menghadapinya, majelis konstituante tidak menerima kesulitan yang berarti dalam menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, bahkan sudah mencapai 90 % dari tugas-tugas itu dirampungkan.
Di pentas politik praktis dengan segala keuntungan jangka pendeknya yang mungkin dijanjikan, partai-partai Islam mungkin saja bersatu atau lebih sering bersaing satu sama lain . politik praktis menawarkan kedudukan dan kekuasaan yang ada kalanya sangat menggiurkan. Tidak demikian halnya dengan iklim yang meliputi sidang-sidang parlemen konstituante, dalam parlemen ini, suasana panas lebih di sebabkan kesungguhan mempertahankan pendirian politik yang diyakininya, lebih-lebih sewaktu membicarakan masalah dasar Negara.
Kekuatan politik Islam dalam sidang-sidang parlemen seakan melupakan persaingan mereka dipentas politik praktis. Oleh karena itu , tanpa adanya usaha kompromi antara para pendukung dasar Pancasila dan para pendukung dasar Islam, telah dapat diduga sejak awal bahwa kemungkinan besar Konstituante tidak akan berhasil mengambil keputusan mengenai dasar negara.
Pada sidang pertama BPUPKI (29 Mei – 1 Juni 1945) dengan pembicaranya adalah Mr. Muh. Yamin, Mr. Soepomo, Drs. Moh. Hatta, dan Ir. Soekarno. Mereka semua berpidato guna membahas tentang rancangan usulan dasar negara. Menurut Soekarno dalam pidatonya, dasar bagi Indonesia merdeka adalah dasarnya suatu negara yang akan didirikan yang disebutnya philosophische gronsag, yaitu fundamen, filsafat, jiwa dan pikiran yang sedalam-dalamnya yang di atasnya akan didirikan gedung Indonesia yang merdeka.[25]

Sidang tersebut beracara tunggal, yaitu menentukan dasar negara Indonesia. Anggota Badan Penyelidik terbagi menjadi dua kelompok : yang menghendaki “negara Islam” dan menghendaki “bukan negara Islam”.  
Hubungan yang tidak harmonis terutama -tetapi tidak seluruhnya- disebabkan oleh perbedaan pandangan para pendiri republik ini (yang sebagian besar muslim) mengenai negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan.

Posisi Islam yang dikotomis dilihat dari segi pemahaman doktrin Islam dan interpretasinya baik oleh kalangan Internal (para pemikir dan aktivis Islam) ataupun kalangan elit politik nasional , merupakan titik awal akan munculnya ketegangan antara kedua golongan itu baik dari kalangan pemikir dan aktivis Islam maupun dari elit politik nasional Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas adalah apakah negara bercorak “Islam “ atau “Nasionalis”.

Konstruk kenegaraan yang pertama mengharuskan agar Islam, karena kenyataan bahwa agama itu dianut oleh sebagian besar penduduk, diakui dan diterima sebagai dasar ideologi negara. Tetapi atas pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara yang secara sosial keagamaan bersifat majemuk, maka konstruk kenegaraan kedua menghendaki agar Indonesia di dasarkan atas Pancasila sebuah ideologi yang sudah lebih mewakili semua kepentingan. Dalam konteks historis inilah dua kelompok yang saling bertentangan muncul dalam diskursus politik Indonesia : yaitu, kelompok Islam dan kelompok nasionalis.

Pada awalnya benturan antara kedua kelompok ini berlangsung disekitar masalah nasionalisme. Dalam upaya menemukan ikatan bersama untuk mencapai kemerdekaan. Soekarno secara luas mendefinisikan nasionalisme sebagai “cinta kepada tanah air, kesediaan yang tulus untuk membaktikan diri dan mengabdi kepada tanah air, serta kesediaan untuk mengenyampingkan kepentingan-kepentingan golongan yang sempit. Ditempat lain ia menulis bahwa “nasionalisme adalah keyakinan, kesadaran dikalangan rakyat, bahwa mereka bersatu dalam satu kelompok, satu bangsa.

Ketika Mohammad Natsir[26]melibatkan diri dalam perdebatan inilah maka perseteruan religio-ideologis antara kedua kelompok diatas menjadi semakin keras dan sistematis. Mereka tidak hanya terlibat dalam perdebatan religio-ideologis mengenai watak nasionalisme Indonesia, melainkan mengembangkannya ke dalam suatu tema yang lebih lebar, yaitu tentang apa yang dapat disebut sebagai Negara Indonesia merdeka dan modern yang dicita-citakan. Menurut Natsir, faham nasionalisme Soekarno bisa menjadi menjadi faham chauvinistic, ia mengkhawatirkan bergulirnya paham nasionalisme Soekarno menjadi sebuah bentuk ashabiyah baru. Yang pada akhirnya berujung kepada fanatisme.

Bagi Natsir faham nasionalisme harus mempunyai sejenis landasan teologis. Natsir juga percaya, bahwa nasionalisme Indonesia harus bercorak Islami. Dalam pandangannya, Natsir berpendapat tanpa Islam, maka nasionalisme Indonesia itu tidak ada, karena Islam pertama-tama telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia.

Namun Soekarno berpendirian bahwa Islam tidak relevan sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan (yang tercetus pada 1928). Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian yang sempit sehingga mengarah kepada chauvinisme[27], melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme. Tanpa pelembagaan Islam-pun, dalam negara sebenarnya aspirasi umat Islam bisa terwadahi melalui forum demokrasi. Di sana ada asas musyawarah untuk mufakat. Dalam forum inilah, segala aspirasi rakyat dapat disalurkan.

Adapun dua azas lagi yang terakhir menurut Sukarno yakni kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Kesejahteraan sosial dimaksudkan agar demokrasi yang dibangun bukanlah demokrasi politik semata, melainkan juga juga demokrasi yang menyangkut kesejahteraan sosial. Sedang ketuhanan merupakan upaya untuk tetap memelihara nilai luhur dan keyakinan spiritual yang dimiliki warga negara. Bagi Sukarno, Pancasila ini dapat disarikan menjadi trisila yakni: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan, yang trisila ini bahkan bisa diperas lagi menjadi ekasila yakni: gotong-royong.

Pada hari terakhir sidang tanggal 1 Juni, Sukarno sebagai anggota Badan Penyelidik mengajukan usul lima dasar negara yang dinamainya Pancasila: (1) Kebangsaan; (2) Internasionalisme; (3) Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; dan (5) Ketuhanan. Sukarno menegaskan, dengan sila Demokrasi hukum-hukum Islam dapat diundangkan melalui badan perwakilan rakyat. Ternyata pidato Sukarno yang kompromistis itu dapat meneduhkan pertentangan yang mulai menajam.

Pancasila sebagai dasar falsafah negara tidak boleh menjadi ideologi yang beku sehingga seluruh komponen bangsa terutama para intelektual muda dapat memberikan ide-ide baru dan kreatif untuk merevitalisasi Pancasila dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Setelah sidang tersebut dibentuklah panitia kecil yaitu panitia sembilan.[28] Panitia sembilan bersidang tanggal 22 Juni 1945 dan menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam Mukadimah Hukum Dasar, alinea keempat dalam rumusan dasar negara sebagai berikut:
  1. Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
  1. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Moh. Yamin mempopulerkan kesepakatan tersebut dengan nama Piagam Jakarta. Pembukaan UUD (Piagam Jakarta) ini diterima bulat oleh Badan Penyelidik dalam Sidang Kedua dari tanggal 10 sampai 16 Juli 1945 setelah melalui perdebatan sengit. Sidang Kedua itupun berhasil menyusun batang tubuh UUD. Pada sidang kedua BPUPKI tgl 10 Juli 1945 dibicarakan mengenai materi undang-undang dasar dan penjelasannya. Sidang kedua ini juga berhasil menentukan bentuk negara Indonesia yaitu Republik. Seiring berjalannya waktu, dibentuklah PPKI yang bertugas melanjutkan tugas BPUPKI.

Seiring dengan kekalahan Jepang, para pemuda mendesak agar kemerdekaan dilaksanakan secepatnya tanpa menunggu janji Jepang, akhirnya Soekarno-Hatta bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia. Sehari setelah Indonesia merdeka, PPKI mengadakan sidang pertamanya. Dalam sidang tersebut terdapat perubahan yang telah dilakukan yaitu perubahan pada sila pertama (tujuh buah kata dihilangkan dan diganti dengan kata-kata Yang Maha Esa) dan beberapa perubahan pada rancangan UUD.

Pada saat itu juga Pembukaan Undang-Undang Dasar dan pasal-pasal UUD disahkan menjadi Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia. Pada sidang tersebut juga menetapkan Ir. Soekarno dan Moh.Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Selanjutnya sidang tersebut juga membicarakan rancangan aturan peralihan. Di dalam aturan tersebut dinyatakan pembentukan KNIP yang bertugas membantu presiden.
Pada 7 Agustus 1945 terbentuklah Dokuritsu Junbi Iinkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan). Sehari sesudah proklamasi kemerdekaan, 18 Agustus 1945, mereka bersidang untuk mengesahkan UUD hasil susunan Badan Penyelidik. Berdasarkan usul seorang perwira Angkatan Laut Jepang kepada Bung Hatta (dalam buku Sekitar Proklamasi, hatta mengatakan perwira itu mengaku membawa suara umat Kristen di Indonesia Timur), ternyata sidang Panitia Persiapan itu mencoret kalimat-kalimat dalam UUD yang berisi kata-kata “Islam”, Sila Pertama Pancasila diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila kedua sampai kelima tidak mengalami perubahan. Hari itu juga UUD disahkan dan dikenal sebagai Undang Undang Dasar 1945.[29]
Akan tetapi, UUD 1945 hanya bertahan empat tahun. Pada tahun 1949 kita memakai UUD RIS (Republik Indonesia Serikat). Setahun kemudian berlaku UUD Sementara 1950. pada tahun 1955 diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR (29 September) dan anggota Konstituante (15 Desember). Konstituante bertugas menyusun UUD permanen.[30]
Dalam sidang-sidang Konstituante yang berlangsung sejak pelantikan anggotanya tanggal 10 November 1956, fraksi-fraksi Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI, AKUI, Gerpis, dan Penyaluran) memperjuangakan Islam sebagai dasar negara. Menurut mereka, Pancasila harus hidup dalam asuhan dan rawatan Islam. Jika tidak demikian, Pancasila akan ditelan komunisme. Namun, fraksi-fraksi lainnya keberatan. Sidang-sidang konstituante yang berlangsung di Gedung Merdeka, Bandung, menjadi berlarut-larut lebih dari dua tahun.[31]
Dalam masa-masa ini usaha-usaha untuk kompromi memang telah diperlihatkan sejak awal dimulainya perdebatan tentang dasar negara pada pertengahan tahun 1957, setelah semua pihak diberikan kesempatan seluas-luasnya mengemukakan argumentasi mengapa mereka mengajukan pancasila atau Islam sebagai landasan negara. Maka konstituante akhirnya membentuk panitia Perumus dasar Negara yang terdiri atas 18 orang mewakili 1957, panitia ini menyampaikan rancangan rumusan kompromi mengenai dasar Negara kepada sidang paripurna konstituante, rumusan ini antara lain mengatakan :
"Jalan kompromi (tentang dasar negara) dapat ditempuh dengan mengumpulkan segala sila (dalam pancasila) yang dapat dipertanggungjawabkan. Dapat ditetapkan, agama yang dianut oleh jumlah rakyat yang mutlak terbanyak menjadi agama resmi negara...." [32]
Mengenai dasar Negara pertama yang menjadi bahan perdebatan sengit antara pendukung dasar Islam dan dasar Pancasila. Rumusan kompromi itu mengatakan :
Negara Republik Indonesia berdasarkan atas kehendak menyusun masyarakat yang sosialistis yang ber-Tuhan Yang Maha Esa dengan pengertian bahwa akan terjaminlah keadilan sosial yang wajar dan kemakmuran yang merata dengan dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang menurut Islam, Kristen, Katolik, dan lain-lain agama yang berada di tanah air kita.
Dasar negara selanjutnya ialah : persatuan bangsa yang diwujudkan dengan sifat-sifat gotong royong, perikemanusiaan, kebangsaan, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.[33]
Tokoh-tokoh golongan Islam pada umumnya dapat menerima rumusan kompromi itu dan menganggapnya sebagai itikad baik bersama menyelesaikan masalah besar yang dihadapi oleh konstituante. Rumusan kompromi itu memang belum disahkan oleh sidang paripurna konstituante karena semua pihak bersepakat untuk menunda dahulu pembicaraan mengenai dasar negara sambil menyelesaikan materi pasal-pasal dalam batang tubuh konstitusi.
Ketika konstituante memasuki sidang tahun terakhir tanggal 24 April 1959, masih tersedia waktu sekitar delapan bulan bagi majelis untuk menyelesaikan pekerjaannya. Banyak pengamat, termasuk tokoh-tokoh partai merasa optimis dalam sisa waktu itu Konstituante akan berhasil menyelesaikan tugasnya dengan semakin banyak titik-titik temu diantara berbagai pandangan mengenai soal-soal penting dalam perumusan materi-materi konstitusi. Tetapi suatu inisiatif yang dating dari luar majelis Konstituante akhirnya membuat majelis terbelah menjadi dua kubu yang saling berlawanan. Inisiatif dari luar itu datang dari Presiden Soekarno, Dewan Menteri Pimpinan Perdana Menteri Djuanda, dan Kalangan TNI Angkatan Darat yang dipimpin oleh Mayjen A.H. Nasution. [34]
Presiden Soekarno, sejak awal tahun 1957 telah gencar mengkampanyekan gagasannya untuk menerapkan "Demokrasi Terpimpin" yang dianggapnya merupakan demokrasi timur yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa. Presiden Soekarno tampaknya kurang puas dengan perkembangan demokrasi di Indonesia kala itu, yang dinilainya bercorak liberal dan sering menimbulkan gontok-gontokan antara partai yang bersaing. Dengan bubarnya kabinet Ali II, maka Presiden Soekarno menerapkan gagasan Demokrasi Terpimpin itu.[35]Beberapa bulan kemudian Soekarno berhasil melahirkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, yang menandai berakhirnya era parlemen Konstituante.
Demikianlah akhrnya perdebatan tentang masalah dasar negara itu di selesaikan diluar Parlemen, yaitu dengan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959 dengan mengukuhkan pancasila sebagai dasar Negara bersama dengan menetapkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante, tetapi dengan konsiderasi bahwa piagam Jakarta menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Endang S. Anshori, bahwa pembubaran konstituante lebih banyak disebabkan karena koalisi antara ABRI dengan Soekarno yang merasa kepentingan politiknya terancam jika demokrasi parlementer terus menerus diterapkan. [36]
Pada tanggal 19 Februari 1959, Dewan Menteri (Kabinet) yang dipimpin Perdana Menteri Ir. H. Djuanda memutuskan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. keputusan itu diajukan ke DPR 2 Maret. Lalu pada 22 April, Presiden Sukarno di depan Sidang Konstituante memohon agar Konstituante memutuskan berlakunya kembali UUD 1945.[37]
Fraksi-fraksi Islam menyetujui dengan usul agar pada kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pembukaan dan Pasal 29 UUD 1945 ditambahkan anak kalimat (tujuh kata) “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sesuai dengan konsep asli UUD 1945. pemungutan suara mengenai usul ini berlangsung pada 29 Mei, dengan hasil 201 anggotasetuju dan 265 menolak.[38]
Kemudian pada 30 Mei, 1 Juni dan 2 Juni diadakan pemungutan suara mengenai usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tanpa penambahan yang diusulkan fraksi-fraksi Islam. Pada hari pertama 269 setuju, 199 menolak. Hari kedua 264 setuju, 204 menolak. Hari ketiga 263 setuju, 203 menolak. Baik usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 maupun usul penambahan dari fraksi-fraksi Islam, tidak diterima konstituante sebab kedua usul itu sama-sama tidak berhasil meraih dua pertiga suara anggota yang hadir (Pasal 137 UUDS 1950).[39]
Akibat kemacetan Konstituante itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit (Keputusan Presiden RI No. 150 Tahun 1959) yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam jakarta. Dekrit Presiden ini diterima secara aklamasi oleh DPR (44% anggotanya adalah fraksi-fraksi Islam termasuk Masyumi) pada tanggal 22 Juli 1959.[40]
Kekuatan hukum Dekrit 5 Juli 1959 serta hubungan UUD 1945 dengan Piagam Jakarta dipertegas dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS 1966 tanggal 5 Juli 1966. ketetapan MPR(S) itupun menegaskan bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak boleh diubah sekalipun oleh MPR hasil pemilihan umum.[41]
Ada baiknya kita menyimak pernyataan Bung Hatta tentang kejadian 18 Agustus 1945:”Pada waktu itu kami dapat menginsafi bahwa semangat Piagam jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dalam Negara Indonesia yang memakai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat dimajukan sebagai Rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia [42]. Sudah tentu yang dimaksud Bung Hatta dengan “kami” adalah anggota-anggota Panitia Persiapan yang mengesahkan UUD 1945 pada tanggal tersebut.
Bagaimanapun Piagam Jakarta tak dapat dipisahkan dari UUD 1945. jika kita berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Pancasila adalah dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, janganlah lupa bahwa Pembukaan UUD 1945 itu berasal dari Piagam jakarta. Bahkan sebenarnya yang pantas dijuluki Hari Lahir Pancasila adalah 22 Juni 1945 sebab pada hari itulah Pancasila sebagai dasar negara pertama kali dirumuskan.
Pada tahun 1975, atas anjuran Presiden Suharto, terbentuklah Panitia Pancasila terdiri dari lima orang: Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunarjo, dan A.G. Pringgodigdo (Panitia Lima). Mereka dianggap dapat memberikan pengertian sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Hasil pemikiran Panitia Lima telah dibukukan dengan judul Uraian Pancasila (Jakarta 1977). Dalam kata Pengantar buku itu, Panitia Lima menegaskan: ”Sebetulnya Panitia itu harus terdiri dari bekas Panitia Sembilan yang menandatangani perumusan Pembukaan UUD 1945 yang kemudian disebut Piagam Jakarta.[43]
Namun demikian, ditingkat praktis, realitas perjalanan bangsa menunjukkan bahwa yang terjadi justru kebalikan dari apa yang telah digariskan Pancasila. Beragam tragedi muncul bukan hanya dalam bentuk pengkhianatan sebagian orang yang ingin mengganti Pancasila dengan dasar lain, tetapi hal lain seperti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), juga laku yang beringas, tindak kekerasan, pelanggaran HAM, merusak milik negara sekalipun dengan meneriakkan Allah Akbar semuanya bertentangan dengan sila kesatu dan kedua.

Adalagi tragedi yang terjadi selama sekian dasawarsa, berupa politik negara yang sentralistik dan penyeragaman tata sistim sosial budaya local secara paksa melalui undang-undang, dan ini merupakan bentuk pengkhiatan konstitusional yang bertentangan dengan sila ketiga. Sementara itu perkembangan terakhir dalam cara kita berdemokrasi juga tampaknya semakin jauh dari roh Pancasila sila keempat Sementara prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa dikatakan telah menjadi yatim piatu sejak kita merdeka. Rakyat dari masa ke masa justru semakin tidak merasakan keadilan, tetapi penindasan. [44]

Hal di atas secara langsung sebenarnya mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia menghadapi persoalan serius, yang salah satunya adalah dalam hal penegakkan moral/etika/akhlak. Disinilah sebenarnya umat Islam seharusnya dapat memberikan sumbangannya secara maksimal. Misalnya, kaum Muslim perlu menyadari betul bahwa kesalehan seseorang tidak hanya dalam bentuk kesalehan ritual saja, tetapi juga kesalehan sosial. Tentu saja adalah ironi besar, bahwa bangsa yang mayoritas Muslim ini sering disinyalir sebagai bangsa yang berbudaya korupsi, kolusi dan nepotisme tingkat tinggi, dan juga bangsa yang masyarakatnya anarkhis karena mengedepankan cara-cara kekerasan dalam setiap penyelesaian masalah dan konflik.

Oleh karena itu, masalah sesungguhnya dalam implementasi nilai-nilai luhur Pancasila, salah satunya, adalah masalah moralitas/etika/akhlak terutama yang menyangkut ketulusan, dan itu terjadi ketika nilai-nilai dasar Pancasila hanya dijadikan retorika sosial-politik yang kosong dan menipu saja oleh sebagian masyarakat Indonesia. Jadi yang kita perlukan sesunguhnya adalah fokus terhadap hal tersebut, dan bukan malah memperdebatkannya secara teoretikal atau bahkan menggantinya dengan mengimpor ideologi baru dari negara lain.

Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa proses untuk memutuskan Pancasila sebagai dasar negara bukan main sulit perjuangannya. Hal itu juga menunjukkan betapa para founding fathers kita telah berkorban dan secara bijaksana mencari titik temu tentang ideologi yang disepakati bersama.

Sebagai eklektisitas[45]negara sekuler dan negara Islam, Pancasila tidak hanya menonjolkan spirit demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberi ruang kepada kebebasan individu dan menarik peran negara untuk mengaturnya, tetapi juga meletakkan bingkai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sesuai prinsip ke-tauhid-an dalam Islam dan kemanusiaan yang bermartabat dan berkeadilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Bangsa Indonesia memang penuh dengan dinamisasi. Mulai dari zaman penjajahan sampai zaman setelah kemerdekaan sekalipun. Dan hal itu juga terlihat dalam sidang penentuan landasan Negara kita, yakni haluan kemana Negara hendak dibawa. Majelis konstituante melakukan sidang meliputi masalah –masalah bentuk Negara, bahasa, bendera, hak-hak asasi manusia, Dasar Negara dan lain-lain isu konstitusional yang relevan. Selain masalah dasar negara , di mana seluruh kekuatan partai Islam bersatu menghadapinya, majelis konstituante tidak menerima kesulitan yang berarti dalam menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya.
Masalah Dasar Negara menjadi masalah yang krusial dalam konstituante karena hal itu merupakan sumber dari akan dibentuknya Undang – Undang serta segala peraturan perundangan yang ada di negeri ini. Permasalahan terjadi karena adanya pertentangan sengit antara pihak Islam dan Kelompok Nasionalis.
 Dengan dasar bahwa ajaran Islam bersifat abadi dan universal. Wakil Islam menyatakan bahwa ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadits bukanlah sebuah ideologi. Namun ajaran Islam yang terkandung dalam kedua sumber ajaran diatas dapat ditransformasikan dan diformulasikan untuk dijadikan sebuah rumusan landasan gerakan. Rumusan tersebut bersifat eksplisit, tegas, serta mempunyai cara-cara untuk mencapainya. Rumusan tersebutlah yang disebut dengan ideologi.

Wakil dari kaum Muslimin ingin menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia dan melaksanakan cita-cita Islam dalam bidang kenegaraan. Hingga dapat mewujudkan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan terciptanya masyarakat yang berkeadilan menurut ajaran Islam, serta memperkuat dan menyempurnakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia oleh karena itu dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam. Islam tidak dapat dipisahkan dari negara. Mereka menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam.

Sedangkan kelompok Nasionalis menyatakan bahwa Islam tidak relevan sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan. Hal itu dikarenakan kemajemukan yang ada dalam Masyarakat Indonesia. Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Intinya bahwa negara harus mengabstraksikan pengayoman seluruh golongan masyarakat, jadi bukan hanya cerminan dari satu golongan saja.

Perdebatan panjang merupakan permasalahan Pancasila, di sila pertama. Sila-sila yang lain relatif tidak bermasalah dan dapat diterima semua pihak. Sekalipun akhirnya dibentuk Panitia Sembilan yang berhasil merumuskan piagam Jakarta, akhirnya persoalan itu makin memanjang ketika tujuh buah kata dalam sila pertama [46] dihilangkan ketika kemerdekaan akan dikumandangkan.Persoalan ini kemudian dibawa ke Konstituante yang bertugas merumuskan sebuah undang-undang dasar yang tetap. Namun, tetap saja pergulatan terjadi bertahun – tahun. Sehingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden pada Juli 1959 dengan mengembalikan konstitusi NKRI pada UUD 1945.

Pancasila versi yang ada sekarang, adalah wujud kemenangan politik wakil-wakil Muslim, dan bahkan kemenangan kaum Muslim di Indonesia. Sistem yang menjamin kebaikan konstitusional bagi keseluruhan bangsa ialah sistem yang telah kita sepakati bersama, yakni pokok-pokok yang terkenal dengan Pancasila menurut semangat UUD 1945 merupakan keinginan Islam pula untuk memberikan rahmat bagi semesta alam. Pancasila (dan UUD 1945) sudah sangat Islami. Sifat Islami keduanya didasarkan pada 2 pertimbangan yakni: Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam, dan Kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan sosial-politik bersama.

B.     Saran
Dalam Negara yang penuh dengan kemajemukan ini, tidak seharusnya berlama – lama berdebat dan saling menjatuhkan masing – masing ideologi. Semua pihak harus menyadari peran dan posisinya. Saling menghargai dan mampu bersikap sesuai proporsi masing – masing merupakan cara yang baik untuk meredam perbedaan pendapat yang akan terus terjadi.

Umat Islam tidak perlu memaksakan diri untuk memasukkan syari’at Islam dalam konstitusi maupun dalam undang-undang. Karena syari’at Islam sebagai norma etika sebenarnya bisa dilaksanakan dengan maupun tanpa adanya legitimasi dari negara. Penafsiran hukum Islam yang otoriter, yang merasa bahwa tafsirannya yang paling benar disertai dengan pemaksaaan pada kelompok lain, perlu dihindari.

Dalam era demokrasi umat Islam sebaiknya belajar menerima pebedaan pendapat, tidak membatasi umat Islam yang akan melalukan ijtihad dan mengeluarkan pendapatnya dan belajar menghargai satu sama lain. Dalam era demokrasi pandangan mayoritas tentu akan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan, tapi pandangan itu tidak bisa dipaksakan begitu saja apalagi bila pandangan itu telah melanggar atau mencampuri hak hak sipil warga negara, mengandung unsur diskriminasi.





Daftar Pustaka
Gunaryo, Ahmad. 2006. Pergumulan Politik dan Hukum Islam.Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Roy, Oliver. 1996. Gagalnya Politik Islam. Jakarta : Serambi
Azis, Abdul. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta : Gema Insani Press
Suratno.  Islam dan Pancasila : Menegaskan Kembali Peran Islam di Negara Pancasila.  From : http://www.scribd.com/doc/11314976/islam-dan-pancasila/ diakses pada Minggu, 8 November 2009
Anto. Skripsi Ilmu Politik.  From : http://www.scribd.com/doc/17716296/Skripsi-Ilmu-Politik-Anto/diakses pada Minggu, 8 November 2009
Satori, Akhmad (2009), Wacana Negara Islam dalam Parlemen Konstituante : Hubungan Antagonistik Islam dan Negara di Indonesia. From : http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu, 8 November 2009
Husaini, Adian (2007), Islam dan Masa Depan Indonesia. From : http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-96138.pdf/ diakses pada Minggu, 8 November 2009
Ghaffar, Abdul (2009),Pancasila Memang Bukan Kecelakaan Sejarah.From : http://agkarim.staff.ugm.ac.id/2009/05/05/pancasila-memang-bukan-kecelakaan-sejarah/diakses pada Minggu, 8 November 2009
Nurrohman. Hukum Islam di Era Demokrasi : Tantangan dan Peluang bagi Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia. From : http://www.scribd.com/doc/13011771/Makalah-Nurrochman/ diakses pada Minggu, 8 November 2009
Buyung Nasution, Adnan. Dasar Negara Islam Tak Bisa Dipaksakan.From : http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2001/06/04/LK/mbm.20010604.LK80087.id.html / diakses pada Minggu, 8 November 2009
Asshiddiqie, Jimly. Undang - Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia : Pengantar Perubahan. From : http://www.scribd.com/doc/14554626/uasbn/ diakses pada Minggu, 8 November 2009
Djumhur Salikin, Adang (2007). Format Negara Islam dan Pancasila. From : http://www.scribd.com/doc/19341479/Negara-Islam-Pancasila/ diakses pada Minggu, 8 November 2009
Anshory, Irfan. Memahami Piagam Jakarta. From : http://klipingcliping.wordpress.com/2009/08/13/memahami-piagam-jakarta/diakses pada Minggu, 8 November 2009
_______. Pancasila. From : http://www.scribd.com/doc/16426906/PANCASILA/ diakses pada Minggu, 8 November 2009
_______. Pancasila Dalam Konteks Perjuangan Bangsa Indonesia. From : http://www.scribd.com/doc/20043251/Pancasila-Dalam-Kontek-Sejarah-Perjuangan-Bangsa-Indonesia/ diakses pada Minggu, 8 November 2009














[1]. Lihat A Syafii Maarif, 2002, Islam dan Pancasila Dasar negara, Jakarta: LP3ES, hal. 102-110. Dikutip dalam Islam dan Pancasila : Menegaskan kembali peran Islam di Negara Pancasila http://www.scribd.com/doc/11314976/islam-dan-pancasila/ diakses pada Minggu, 8 November 2009

 

[2]Berdirinya BPUPKI adalah sebuah realisasi Jepang atas kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. BPUPKI sebagai wadah membicarakan kemerdekaan bangsa Indonesia beserta perlengkapannya seperti dasar negara, kabinet dan parlemen.  
[3] Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Cet. II, (Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 1997.), h.23-24 dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009
  
[4] Ide tersebut merupakan perkembangan dari idenya dahulu tentang persatuan tiga aliran besar yaitu : Nasionalis, Islam dan Marxis, kalau dahulu ia menginginkan suatu bentuk persatuan federatif dengan ikatan yang sangat longgar, maka kini ia menetapkan asas bersama. Asas Negara yang di inginkannya tersebut ada lima; (1) Kebangsaan Nasional, (2) Internasionalisme, (3) Mufakat-atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, dan (5) Ketuhanan,
dalam Yatim, Badri,  Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999) hal.160
dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009

[5] Endang. Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949),,( Jakarta : Penerbit Gema Insani Press, 1997).h.68  dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009

[6] Dikutip dari http://www.scribd.com/doc/17716296/Skripsi-Ilmu-Politik-Anto/ diakses pada Minggu, 8 November 2009
[7] Hakim,Lukman(Ed) 100 Tahun Mohammad Natsir : Berdamai Dengan Sejarah,
(Jakarta: Republika Press) 2008, hal 135. Dalam http://www.scribd.com/doc/17716296/Skripsi-Ilmu-Politik-Anto/ diakses pada Minggu, 8 November 2009

[8] Natsir, Moh, D.P. sati Alimin (ed), Capita selecta (Jakarta: Bulan Bintang) 1955, hal
58. Dikutip dari http://www.scribd.com/doc/17716296/Skripsi-Ilmu-Politik-Anto/ diakses pada Minggu, 8 November 2009
[9] P. Van Dijk, Darul Islam, Grafitipress, Jakarta, dalam Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Ibid., hal. 162  dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009

[10]Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam politik Orde Baru (Jakarta : Gema Insani Press, 1996) h. 157  dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009
[11]Saidurrahman, Islam dan Negara di Indonesia (Wacana Pemikiran dan Hubungan Antagonistik) dalam jurnal (Analytica Islamica, Vol.2 No. 1 2000),h.130  dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009
[12]Deliar Noer juga mengatakan " boleh dikatakan di dalam semua bidang, kepemimpinan kalangan Islam tidak berarti di bandingkan dengan kalangan nasionalis yang netral Agama atau yang tidak suka melihat Islam sebagai kekuatan politik. Bahkan usaha terakhir dalam menyusun konstitusi republic Indonesia pada Agustus1945, memperlemah kedudukan mereka dengan kalangan nasionalis.lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta : Grafiti Press, 1987),h. 30-32  dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009
[13]Bachtiar Effendi, Islam dan Negara..., hal.72 dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009
  
[14]Bachtiar Effendi, Islam dan Negara..., hal.93  dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009
[15]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta : LP3ES, 1986)  h.47  dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009

[16]Endang S, Anshori, Piagam Jakarta…dalam Abdul Aziz Thaba, .ibid, h. 173  dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009
[17]Bachtiar Effendi, Islam dan Negara dalam Prisma No. 5 Thn.1995  dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009
[18]Wacana Negara Islam dalam Parlemen Konstituante : Hubungan Antagonistik Islam dan Negara di Indonesia http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009
[19]Ibid
[20] Pancasila http://www.scribd.com/doc/16426906/PANCASILA/ diakses pada Minggu 8 November 2009

[21]Ibid
[22]Ibid
[23]Nurainun Mangunsong, 2006, Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian Negara, dalam Kedaulatan Rakyat Online, edisi 24 Maret 2006. Lihat www.kedaulatan-rakyat.com  
[24]Memahami Piagam Jakarta, http://klipingcliping.wordpress.com/2009/08/13/memahami-piagam-jakarta/diakses pada Minggu, 8 November 2009
[25] Pancasila dalam konteks perjuangan bangsa Indonesia, http://www.scribd.com/doc/20043251/Pancasila-Dalam-Kontek-Sejarah-Perjuangan-Bangsa-Indonesia/ diakses pada Minggu, 8 November 2009
[26]Mohamad Natsir adalah murid dari Ahmad Hasan pendiri organisasi reformis Persis (Persatuan Islam) dengan latar belakang pendidikan barat yang cukup berarti. Lihat Bachtiar Effendi, Islam dan Negara..Ibid., hal.72 dalam http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diakses pada Minggu 8 November 2009
[27]Chauvinisme : kesetiaan atau rasa cinta kepada tanah air secara berlebih - lebihan
[28] Panitia Sembilan bertugas menyusun Pembukaan UUD, terdiri dari lima nasionalis sekuler (Sukarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Achmad Subardjo, dan Muhammad Yamin) serta empat nasionalis Islam (Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, dan Wahid Hasjim).

[29]Memahami Piagam Jakarta, http://klipingcliping.wordpress.com/2009/08/13/memahami-piagam-jakarta/diakses pada Minggu, 8 November 2009
[30]Ibid
[31]Ibid
[32] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia : Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h.74-76  dalam Wacana Negara Islam dalam Parlemen Konstituante : Hubungan Antagonistik Islam dan Negara di Indonesia http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik
[33]Ibid., h.76  
[34]Ibid. hal. 77
[35]Ibid. hal. 77
[36] Endang S, Anshori, Piagam Jakarta…dalam Abdul Aziz Thaba, .ibid, h. 173  dalam Wacana Negara Islam dalam Parlemen Konstituante : Hubungan Antagonistik Islam dan Negara di Indonesia http://www.scribd.com/doc/22391664/Hubungan-Antagonistik/diaksespada Minggu, 8 November 2009
[37] Memahami Piagam Jakarta, http://klipingcliping.wordpress.com/2009/08/13/memahami-piagam-jakarta/diakses pada Minggu, 8 November 2009
[38]Ibid
[39]Ibid
[40]Ibid
[41]Ibid
[42] Sekitar Proklamasi, Jakarta, 1969, hal.58 dalam Memahami Piagam Jakarta, http://klipingcliping.wordpress.com/2009/08/13/memahami-piagam-jakarta/diakses pada Minggu, 8 November 2009
[43] Memahami Piagam Jakarta, http://klipingcliping.wordpress.com/2009/08/13/memahami-piagam-jakarta/diakses pada Minggu, 8 November 2009
[44] A Syafii Maarif, 2006, Tragedi Pancasila, dalam harian Republika, Edisi Selasa, 30 Mei 2006. Dalam http://www.scribd.com/doc/11314976/islam-dan-pancasila/ diakses pada Minggu, 8 November 2009
 
[45]Eklektis : memiliki pendirian luas,bersifat memilih yang terbaik
[46] Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya = Ketuhanan Yang Maha Esa