BAB I
PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar
Pada awalnya wilayah Afrika Utara merupakan wilayah kekuasaan Turki Utsmani, namun paska perang salib dan dampak dari kekalahan Turki Utsmani didalam perang salib, membawa akibat hilangnya sebagian besar wilayah kekuasaannya. Wilayah Tunisia yang tadinya dibawah kekuasaan Turki Utsamani, kemudian diambil alih oleh Perancis. Begitu juga dengan Libiya yang akhirnya dikuasai oleh Italia.
Kolonialisasi yang dilakukan oleh barat terhadap wilayah-wilayah Islam merupkan ajang balas dendam barat terhadap hegemoni Turki Utsmani selama menjadi kekuatan super power di Dunia pada waktu itu. Disamping itu juga sebagai bentuk penyuplaian sumber daya alam diwilayah Islam, yang pada umumnya memiliki kekayaan minyak.
Namun di Tunisia agak sedikit berbeda, rakyat Tunisia memanfaatkan kolonialisasi Perancis untuk melakukan modernisasi diberbagai bidang, terutama dalam bidang perekonomian, yang sangat melemah pada waktu itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan Tunisia pada masa modern?
2. Bagaimana perkembangan Libiya pada masa modern?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tunisiyah pada era modern
Pada awalnya Tunisia berada dibawah hegemoni Turki Utsmani, setelah Khair al-Din merebut tahta Tunisia pada tahun 1534. Walaupun Tunisia dikuasai oleh Turki, namun Tunisia tidak mau menjadi provinsi Turki, bahkan Tunisia melakukan perlawanan-perlawanan untuk melepaskan diri dari Turki[1].
Pada pertengahan abad XIX perekonomian di Eropa semakin meningkat, sehingga Eropa menjadi kiblat bagi kebanyakan peradaban di Dunia pada waktu itu. Tunisia yang kekuatan ekonominya pada waktu itu dalam kondisi melemah, ingin melakukan modernisasi diberbagai bidang. Modernisasi yang dilakukan berada dibawah pengawasan Perancis, hingga akhirnya mereka memberikan angin segar kepada inferium Perancis untuk menguasai daerah Tunisia tersebut.
Diwilayah Ifriqiyah (al-Maghrib al-Adna) khususnya Tunisia ada perubahan dibawah rezim Ahmad Bey yang berkuasa sejak awal abad ke-18. Pemimpinnya adalah kelompok Turki dan Mamluk yang dilatih dengan cara modern. Cikal bakal tentara yang baru dibentuk, administrasi dan perpajakan diperluas, hukum-hukum baru dikeluarkan dan pemerintah berusaha untuk melakukan monopoli atas barang-barang tertentu[2]. Ahmad Bey (1837-1855) mendirikan sekolah Poli Teknik pada tahun 1838 dan mengundang ahli-ahli Eropa untuk melatih satu korp infantri baru. Pada tahun 1857 Bey (1855-1859) mengumumkan satu konstitusi yang menjamin keamanan warga Tunisia, persamaan dalam urusan perpajakan, kebebasan beragama dan pengadilan gabungan Eropa-Tunisia. Dan tidak kalah pentingnya Khairuddin telah melakukan perbaikan dalam bidang-bidang yang cukup penting.[3]Pertama Khairuddin mendirikan College Sidiqi pada tahun 1875 untuk melatih para pegawai pemerintah dan menunjuk supervisor baru untuk Masjid Zaetuna. Selanjutnya ia mendirikan kantor-kantor baru untuk urusan wakaf dan mereorganisasi pengadilan muslim, terutama untuk memenuhi tuntutan persamaan perlakuan orang-orang Eropa. Perbaikan juga meliputi pendirian percetakan untuk memproduksi buku-buku teks untuk pelajar-pelajar College Sidiqi dan memproduksi khazanah hukum Islam klasik.
Pada awalnya Perancis memang berperan sebagai pengawas dalam memodernisasi berbagai bidang yang dianggap sebagai penyebab lemahnya perekonomian di Tunisia ini. Sehinga akhirnya perancis ikut mengawasi kantor-kantor pemerintahan Tunisia pada tahun 1884. Selanjutnya pemerintahan Perancis mendirikan yudisial baru untuk orang-orang Eropa tetapi mereka tetap menjaga pengadilan syariah untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan orang-orang Tunisia. Tadinya orang-orang Eropa ingin diperlakukan sama dengan orang-orang Tunisia tapi akhirnya mereka mulai melakukan pemisahan antara orang Eropa dengan orang Tunisia.
Selanjutnya orang-orang Perancis mulai melakukan berbagai pembangunan di daerah Tunisia ini seperti, jalan, rel kereta api, pelabuhan, pertambangan dan lain-lain. Mereka yang tadinya telah menduduki Aljazair, sekarang sudah bergerak ingin menguasai Tunisia. Perancis juga melakukan intervensi dalam sistem pendidikan muslim Tunisia. Pada tahun 1898, Perancis melakukan reformasi lembaga pendidikan Masjid Zaetuna.
Dari tahun 1880-an sampai 1830-an bermunculan para peminpin Tunisia baik berlatar belakang ulama maupun birokrat. Pada umumnya mereka menerima kekuasaan Perancis di Tunisia dan berkonsentrasi pada bidang pendidikan dan budaya. Pada tahun 1888, para alumni Zaetuna mengeluarkan surat kabar mingguan Zaetuna, dan College Sadiqi mengeluarkan surat kabar mingguan al-hadira yang digunakan sebagai media untuk mengomentari tentang Eropa dan peristiwa-peristiwa Dunia, dan untuk mendiskusikan isu-isu politik ekonomi dan sastra.[4]
Para alumni itu juga mensponsori berdirinya sekolah Khalduniyyah pada tahun 1886, sehingga menyuplay pendidikan yang berbau modernisasi. Dengan adanya perkembangan seperti itu muncul berbagai partai politik seperti partai Destour pada tahun 1920 yang dipimpin oleh Abdul Azis al-Tha’alibi. Hingga pada akhirnya pada tahun 1932, Bourguiba menuntut kemerdekaan Tunisia dan menawarkan perjanjian persahabatan untuk menjamin kepentingan Perancis. Pada tahun 1934, Burguiba dan kelompoknya mengambil alih pimpinan partai dan membuat partai neo-Destour dengan materi sebagai presiden dan Bourguiba menjadi Sekretaris Jenderalnya, selanjutnya pada tahun 1938, tejadi pemberontakan terhadap pemerintahan Perancis dan Bourguiba dipenjarakan oleh pemerintah Perancis.
Akhirnya pada tahun 1955, pemerintah Perancis mengakui otonomi Tunisia. Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, pemberontakan-permberontakan yang terjadi di Tunisia yang semakin meninggkat, kedua karena tekanan diplomatis dari PBB[5], sehingga pada tahun 1956 Tunisia merdeka.
Paska kemerdekaan Tunisia pada tahun 1956, digantikan oleh rezim Bourguiba. Ia melakukan konsolidasi kekuasaan secara cepat. Berbagai macam sistem ekonomi mulai diterapkannya baik sistem ekonomi kapitalis maupun sistem ekonomi sosialis. Pada akhirnya hasil yang diperoleh nihil, karena tidak didasari dengan ideologi yang jelas dan kontrol yang cukup dari pemerintah.
Rezim Bourguiba juga mencoba mensekulerkan masyarakat Tunisia, yang pertama ia melakukan penggantian hukum Al-qur’an dalam masalah perkawinan, perceraian dan pemeliharaan anak, melarang poligami dan menggalakan emansipasi wanita. Sehingga pada waktu itu wanita mendapat kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam bidang pemerintahan, birokrasi dan lain sebagainya. Namun akhirnya ada terjadi pemberontakan-pemberontakan dari kalangan muslim yang menilai itu tidak relevan dengan ajaran Islam Arab.
B. Libiya pada era modern
Pada umumnya wilayah Afrika Utara berada dibawah kolonialisai Perancis, tetapi Libiya tidak disentuh oleh perancis karena mereka berada dibawah kolonialisasi Italia. Kolonialisasi Italia di Libiya berawal karena pendudukan Tunisia oleh Perancis pada tahun 1881, membuat pemerintahan Turki Usmani harus menggunakan Tripolitania sebagai basis untuk propaganda keagamaan yang diarahkan untuk mendorong suku-suku Tunisia melawan kolonial Perancis. Sementara pada waktu Italia siap menyerang Tripolitania pada tahun 1885, Turki Utsmani membuat kesepakatan dengan Perancis berkaitan dengan masalah pelarian-pelarian Tunisia di Tripolitania.
Pada tahun 1902, pemerintah Perancis dan Inggris memberikan keleluasaan kepada pemerintah Italia di Tripolitania. Sehingga pada tahun-tahun berikutnya pemerintahan Italia mendirikan kantor pos dan kantor-kantor pelayanan kesehatan di Tripolitania, bahkan perusahaan-perusahaan Italia didirikan disana. Disamping itu pembelian-pembelian tanah untuk perluasan lahan pertanian juga dilakukan oleh pemerintahan Italia.[6]
Pada awal september 1911, persiapan militer Italia telah selesai, sehingga pada bulan oktober tahun yang sama Italia sudah berhasil menduduki pelabuhan penting Libiya, seperti: Tubruq, Tripoli, Darna, Bangazhi, dan Khums. Dengan adanya pendudukan ini secara otomatis kekuasaan Utsmani sudah digantikan oleh Italia. Dengan demikian sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni Italia yang berkoloni di Libiya muncul gerakan sosial seperti:
1. Gerakan sanusiyyah: kerjaan Libiya
Gerakan sanusiyyah ini sebenarnya gerakan tarekat yang bertujuan untuk mempertahankan Islam dari agresi bangsa asing. Nama gerakan sanusiyyah diambil dari nama pendirinya yaitu Muhammad ibn Ali al-Sanusiyyah (1787-1859). Ia lahir di Al-Jazair tepatnya di Al-Wasita dekat Mustaghanim. Gerakan ini bertujuan untuk menyatukan umat Islam, mereka besar dibawah naungan Turki Utsmani tetapi setelah libiya diduduki oleh Italia, mereka memilih bergerak ditempat-tempat terpencil seperti Cyrenaica, agar jauh dari pengaruh Eropa dan juga tempat ini relevan untuk suatu gerakan keagamaan.
Pondok-pondok sanusiyyah menjadi pusat misi dan pendidikan agama Islam dan juga menjadi perkampungan pertanian dan perdagangan. Selama hampir sembilan dasawarsa gerakan sanusiyyah memiliki gerakan revivalis Islam yang kuat, mereka juga membangun konsolidasi dengan aliran-aliran tarekat lain.
Gerakan sanusiyyah mampu memimpin perlawanan lokal, khususnya di Cyrenaica terhadap serbuan Italia. Meskipun kepemimpinan sanusiyyah akhirnya beralih kemesir, namun penggantinya Syekh Umar al Mukhtar mampu meneruskan perjuangan melawan Italia hingga tahun 1927.[7]
Perjuangan gerakan sanusiyyah tidak berhenti sampai disitu, gerakan ini menjalin persekutuan dengan Inggris pada perang dunia II dengan tujuan agar Libiya lepas dari pengawasan Italia. Sehingga pada tahun 1951 Libiya merdeka menjadi sebuah kerajaan dan yang menjadi raja pertama adalah Idrus al-Sanusiyyah cucu dari pendiri tarekat sanusiyyah.
Raja Idrus kurang bisa menangkap aspirasi-aspirasi rakyat, terutama dari generasi muda. Ini menyebabkan dia tidak sanggup menghadapi tuntutan generasi muda yang teribas oleh perasaan nasionalisme yang sedang tumbuh dan oleh perkembangan ekonomi minyak yang begitu penomenal semenjak pemasarannya 1961. Akhirnya dia dikudeta oleh Qadzdzafi pada tahun 1969.
2. Qadzdzafi: sang revolusioner
Qadzdzafi lahir bulan juni 1942, ia adalah seorang pemikir sosial. Dia bisa memberikan ruang untuk merefleksikan berbagai model perubahan sosial ditempat lain. Dia memerintah Libiya melalui sebuah kudeta militer tak berdarah tahun 1969, terhadap pemerintahan monarki. Raja idrus lah yang telah menikmati tahta kerajaan sejak Libiya merdeka tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Paska revolusi 1969, Qadzdzafi melakukan reformasi hukum. Dia menyeru pelaksanaan hukum syari’at yang diperluas dengan Islamisasi hukum nasional hukum Libiya pada bulan oktober 1971. Peraturan-peraturan baru yang berdasarkan praktek hukum mazhab Maliki, dibuat untuk mempertahankan hukum-hukum yang ada sepanjang masih sesuai dengan prinsip-prinsip syariat, dan menggunakan hukum adat apabila dapat diterapkan.
Pada tahun 1973, Qadzdzafi mendeklarasikan tiga prinsip yang menjadi dasar sistem politik negara yaitu: persatuan arab, demokrasi kerakyatan langsung dan sosialisme Islam. Kemudian pada tahun 1977, dia mendeklarasikan bentuk negara Libiya baru yaitu Republik Rakyat Sosialis Libiya.[8]
Setelah bentuk negara Libiya berubah dari sistem kerajaan monarki menjadi negara Republik dibawah kekuasaan Qadzdzafi. Dengan antusiasme Qadzdzafi untuk membangun negara Libiya, dia bisa menjadikan Libiya menjadi sebuah negara yang disegani di dunia, karena hasil sumber daya alam minyaknya. Namun dalam perjalanannya seorang Qadzdzafi yang menolak adanya pemerintahan monarki, kemudian kepemimpinannya mengarah kepada pemerintahan yang diktator dan otoriter. Sehingga dia bisa memegang tampuk pemerintahan di Libiya selama lebih dari 30-an. Akhirnya Qadzdzafi lengser dengan revolusi berdarah secara besar-besaran yang dilakukan oleh rakyatnya sendiri, pada tahun 2011. Walaupun revolusi ini ada indikasi bahwa ada interfensi asing untuk mempropaganda rakyat Libiya agar melakukan revolusi, namun masalah pokoknya terletak pada kekecewaan rakyat Libiya terhadap kediktatoran Qadzdzafi.
BAB III
KESIMPULAN
Demikian makalah singkat ini saya tulis hingga akhirnya dapat saya simpulkan, bahwa kolonialisasi diwilayah Islam khususnya di Tunisia dan Libiya merupakan ajang balas dendam Barat terhadap hegemoni Turki Utsmani selama menjadi super power. Tunisia memanfaatkan klolnial Perancis dalam melakukan modernisasi di Tunisia, baik dalam bidang pendidikan, perekonomian dan lain-lain. Pemerintahan Libiya yang berada dibawah tangan Qadzdzafi (seseorang yang menolak sistem monarki) akhirnya berakhir dengan revolusi berdarah, karena kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan Qadzdzafi yang otoriter dan diktator.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Maryam Siti dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (LESFI, Yogyakarta: 2009).
Ø K. Hitti Philip, History Of The Arab, (PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta: 2010).
Ø Karim M. Abdul, Prof., Dr. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Pustaka Book Publhiser, Yogyakarta: 2009).
Ø Sunanto Hj. Musyrifah, Prof., Dr., Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Kencana, Jakarta : 2007).
[1]. Philip K. Hitti, History Of The Arab, (PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta: 2010). Hlm. 907
[2] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Pustaka Book Publhiser, Yogyakarta: 2009). Hlm. 350
[3] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (LESFI, Yogyakarta: 2009). Hlm 343
[4] Lbid. Hlm. 244
[5] Lbid. Hlm. 245
[6] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (LESFI, Yogyakarta: 2009). Hlm. 249
[7] Lbid. Hlm. 251
[8] Lbid. Hlm. 252