Pages

Wednesday, December 28, 2011

IFRIQIYAH DI ERA MODERN (TUNISIA DAN LIBIYA)

BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Kata Pengantar
Pada awalnya wilayah Afrika Utara merupakan wilayah kekuasaan Turki Utsmani, namun paska perang salib dan dampak dari kekalahan Turki Utsmani didalam perang salib, membawa akibat hilangnya sebagian besar wilayah kekuasaannya. Wilayah Tunisia yang tadinya dibawah kekuasaan Turki Utsamani, kemudian diambil alih oleh Perancis. Begitu juga dengan Libiya yang akhirnya dikuasai oleh Italia.
Kolonialisasi yang dilakukan oleh barat terhadap wilayah-wilayah Islam merupkan ajang balas dendam barat terhadap hegemoni Turki Utsmani  selama  menjadi kekuatan super power di Dunia pada waktu itu. Disamping itu juga sebagai bentuk penyuplaian sumber daya alam diwilayah Islam, yang pada umumnya memiliki kekayaan minyak.

Namun di Tunisia agak sedikit berbeda, rakyat Tunisia memanfaatkan kolonialisasi Perancis untuk melakukan modernisasi diberbagai bidang, terutama dalam bidang perekonomian, yang sangat melemah pada waktu itu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan Tunisia pada masa modern?
2.      Bagaimana perkembangan Libiya pada masa modern?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tunisiyah pada era modern
Pada awalnya Tunisia berada dibawah hegemoni Turki Utsmani, setelah Khair al-Din merebut tahta Tunisia pada tahun 1534. Walaupun Tunisia dikuasai oleh Turki, namun Tunisia tidak mau menjadi provinsi Turki, bahkan Tunisia melakukan perlawanan-perlawanan untuk melepaskan diri dari Turki[1].
Pada pertengahan abad XIX perekonomian di Eropa semakin meningkat, sehingga Eropa menjadi kiblat bagi kebanyakan peradaban di Dunia pada waktu itu. Tunisia yang kekuatan ekonominya pada waktu itu dalam kondisi melemah, ingin melakukan modernisasi diberbagai bidang. Modernisasi yang dilakukan berada dibawah pengawasan Perancis, hingga akhirnya mereka memberikan angin segar kepada inferium Perancis untuk menguasai daerah Tunisia tersebut.
 Diwilayah Ifriqiyah (al-Maghrib al-Adna) khususnya Tunisia ada perubahan dibawah rezim Ahmad Bey yang berkuasa sejak awal abad ke-18. Pemimpinnya adalah kelompok Turki dan Mamluk yang dilatih dengan cara modern. Cikal bakal tentara yang baru dibentuk, administrasi dan perpajakan diperluas, hukum-hukum baru dikeluarkan dan pemerintah berusaha untuk melakukan monopoli atas barang-barang tertentu[2]. Ahmad Bey (1837-1855) mendirikan sekolah Poli Teknik pada tahun 1838 dan mengundang ahli-ahli Eropa untuk melatih satu korp infantri baru.  Pada tahun 1857 Bey (1855-1859) mengumumkan satu konstitusi yang menjamin keamanan warga Tunisia, persamaan dalam urusan perpajakan, kebebasan beragama dan pengadilan gabungan Eropa-Tunisia. Dan tidak kalah pentingnya Khairuddin telah melakukan perbaikan dalam bidang-bidang yang cukup penting.[3]Pertama Khairuddin mendirikan  College Sidiqi pada tahun 1875 untuk melatih para pegawai pemerintah dan menunjuk supervisor baru untuk Masjid Zaetuna. Selanjutnya ia mendirikan kantor-kantor baru untuk urusan wakaf dan mereorganisasi pengadilan muslim, terutama untuk memenuhi tuntutan persamaan perlakuan orang-orang Eropa. Perbaikan juga meliputi pendirian percetakan untuk memproduksi buku-buku teks untuk pelajar-pelajar College Sidiqi dan memproduksi khazanah hukum Islam klasik.
Pada awalnya Perancis memang berperan sebagai pengawas dalam memodernisasi berbagai bidang yang dianggap sebagai penyebab lemahnya perekonomian di Tunisia ini. Sehinga akhirnya perancis ikut mengawasi kantor-kantor pemerintahan Tunisia pada tahun 1884. Selanjutnya pemerintahan Perancis mendirikan yudisial baru untuk orang-orang Eropa tetapi mereka tetap menjaga pengadilan syariah untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan orang-orang Tunisia. Tadinya orang-orang Eropa ingin diperlakukan sama dengan orang-orang Tunisia tapi akhirnya mereka mulai melakukan pemisahan antara orang Eropa dengan orang Tunisia.
Selanjutnya orang-orang Perancis mulai melakukan berbagai pembangunan di daerah Tunisia ini seperti, jalan, rel kereta api, pelabuhan, pertambangan dan lain-lain. Mereka yang tadinya telah menduduki Aljazair, sekarang  sudah bergerak ingin menguasai Tunisia. Perancis juga melakukan intervensi dalam sistem pendidikan muslim Tunisia. Pada tahun 1898, Perancis melakukan reformasi lembaga pendidikan Masjid Zaetuna.
Dari tahun 1880-an sampai 1830-an bermunculan para peminpin Tunisia baik berlatar belakang ulama maupun birokrat. Pada umumnya mereka menerima kekuasaan Perancis di Tunisia dan berkonsentrasi pada bidang pendidikan dan budaya. Pada tahun 1888, para alumni Zaetuna mengeluarkan surat kabar mingguan Zaetuna, dan College Sadiqi mengeluarkan surat kabar mingguan al-hadira yang digunakan sebagai media untuk mengomentari tentang Eropa dan peristiwa-peristiwa Dunia, dan untuk mendiskusikan isu-isu politik ekonomi dan sastra.[4]
Para alumni itu juga mensponsori berdirinya sekolah Khalduniyyah pada tahun 1886, sehingga menyuplay pendidikan yang berbau modernisasi. Dengan adanya perkembangan seperti itu muncul berbagai partai politik seperti partai  Destour pada tahun 1920 yang dipimpin oleh Abdul Azis al-Tha’alibi. Hingga pada akhirnya pada tahun 1932, Bourguiba menuntut kemerdekaan Tunisia dan menawarkan perjanjian persahabatan untuk menjamin kepentingan Perancis. Pada tahun 1934, Burguiba dan kelompoknya mengambil alih pimpinan partai dan membuat partai neo-Destour dengan materi sebagai presiden dan Bourguiba menjadi Sekretaris Jenderalnya, selanjutnya pada tahun 1938, tejadi pemberontakan terhadap pemerintahan Perancis dan Bourguiba dipenjarakan oleh pemerintah Perancis.
Akhirnya pada tahun 1955, pemerintah Perancis mengakui otonomi Tunisia. Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, pemberontakan-permberontakan yang terjadi di Tunisia yang semakin meninggkat, kedua karena tekanan diplomatis dari PBB[5], sehingga pada tahun 1956 Tunisia merdeka.
Paska kemerdekaan Tunisia pada tahun 1956, digantikan oleh rezim Bourguiba. Ia melakukan konsolidasi kekuasaan secara cepat. Berbagai macam sistem ekonomi mulai diterapkannya baik sistem ekonomi kapitalis maupun sistem ekonomi sosialis. Pada akhirnya hasil yang diperoleh nihil, karena tidak didasari dengan ideologi yang jelas dan kontrol yang cukup dari pemerintah.
Rezim Bourguiba juga mencoba mensekulerkan masyarakat Tunisia, yang pertama ia melakukan penggantian hukum Al-qur’an dalam masalah perkawinan, perceraian dan pemeliharaan anak, melarang poligami dan menggalakan emansipasi wanita. Sehingga pada waktu itu wanita mendapat kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam bidang pemerintahan, birokrasi dan lain sebagainya. Namun akhirnya ada terjadi pemberontakan-pemberontakan dari kalangan muslim yang menilai itu tidak relevan dengan ajaran Islam Arab.
B.     Libiya pada era modern
Pada umumnya wilayah Afrika Utara berada dibawah kolonialisai Perancis, tetapi Libiya tidak disentuh oleh perancis karena mereka berada dibawah kolonialisasi Italia. Kolonialisasi Italia di Libiya berawal karena pendudukan Tunisia oleh Perancis pada tahun 1881, membuat pemerintahan Turki Usmani harus menggunakan Tripolitania sebagai basis untuk propaganda keagamaan yang diarahkan untuk mendorong suku-suku Tunisia melawan kolonial Perancis. Sementara pada waktu Italia siap menyerang Tripolitania pada tahun 1885, Turki Utsmani membuat kesepakatan dengan Perancis berkaitan dengan masalah pelarian-pelarian Tunisia di Tripolitania.
            Pada tahun 1902, pemerintah Perancis dan Inggris memberikan keleluasaan kepada pemerintah Italia di Tripolitania. Sehingga pada tahun-tahun berikutnya pemerintahan Italia mendirikan kantor pos dan kantor-kantor pelayanan kesehatan di Tripolitania, bahkan perusahaan-perusahaan Italia didirikan disana. Disamping itu pembelian-pembelian tanah untuk perluasan lahan pertanian juga dilakukan oleh pemerintahan Italia.[6]
Pada awal september 1911, persiapan militer Italia telah selesai, sehingga pada bulan oktober tahun yang sama Italia sudah berhasil menduduki pelabuhan penting Libiya, seperti: Tubruq, Tripoli, Darna, Bangazhi, dan Khums. Dengan adanya pendudukan ini secara otomatis kekuasaan Utsmani sudah digantikan oleh Italia. Dengan demikian sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni Italia yang berkoloni di Libiya muncul gerakan sosial seperti:
1.      Gerakan sanusiyyah: kerjaan Libiya
Gerakan sanusiyyah ini sebenarnya gerakan tarekat yang bertujuan untuk mempertahankan Islam dari agresi bangsa asing. Nama gerakan sanusiyyah diambil dari nama pendirinya yaitu Muhammad ibn Ali al-Sanusiyyah (1787-1859). Ia lahir di Al-Jazair tepatnya di Al-Wasita dekat Mustaghanim. Gerakan ini bertujuan untuk menyatukan umat Islam, mereka besar dibawah naungan Turki Utsmani tetapi setelah libiya diduduki oleh Italia, mereka memilih bergerak ditempat-tempat terpencil seperti Cyrenaica, agar jauh dari pengaruh Eropa dan juga tempat ini relevan untuk suatu gerakan keagamaan.
Pondok-pondok sanusiyyah menjadi pusat misi dan pendidikan agama Islam dan juga menjadi perkampungan pertanian dan perdagangan. Selama hampir sembilan dasawarsa gerakan sanusiyyah memiliki gerakan revivalis Islam yang kuat, mereka juga membangun konsolidasi dengan aliran-aliran tarekat lain.
Gerakan sanusiyyah mampu memimpin perlawanan lokal, khususnya di Cyrenaica terhadap serbuan Italia. Meskipun kepemimpinan sanusiyyah akhirnya beralih kemesir, namun penggantinya Syekh Umar al Mukhtar mampu meneruskan perjuangan melawan Italia hingga tahun 1927.[7]
Perjuangan gerakan sanusiyyah tidak berhenti sampai disitu, gerakan ini menjalin persekutuan dengan Inggris pada perang dunia II dengan tujuan agar Libiya lepas dari pengawasan Italia. Sehingga pada tahun 1951 Libiya merdeka menjadi sebuah kerajaan dan yang menjadi raja pertama adalah Idrus al-Sanusiyyah cucu dari pendiri tarekat sanusiyyah.
Raja Idrus kurang bisa menangkap aspirasi-aspirasi rakyat, terutama dari generasi muda. Ini menyebabkan dia tidak sanggup menghadapi tuntutan generasi muda yang teribas oleh perasaan nasionalisme yang sedang tumbuh dan oleh perkembangan ekonomi minyak yang begitu penomenal semenjak pemasarannya 1961. Akhirnya dia dikudeta oleh Qadzdzafi pada tahun 1969.
2.      Qadzdzafi: sang revolusioner
Qadzdzafi lahir bulan juni 1942, ia adalah seorang pemikir sosial. Dia bisa memberikan ruang untuk merefleksikan berbagai model perubahan sosial ditempat lain. Dia memerintah Libiya melalui sebuah kudeta militer tak berdarah tahun 1969, terhadap pemerintahan monarki. Raja idrus lah yang telah menikmati tahta kerajaan sejak Libiya merdeka tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Paska revolusi 1969, Qadzdzafi melakukan reformasi hukum. Dia menyeru pelaksanaan hukum syari’at yang diperluas dengan Islamisasi hukum nasional hukum Libiya pada bulan oktober 1971. Peraturan-peraturan baru yang berdasarkan praktek hukum mazhab Maliki, dibuat untuk mempertahankan hukum-hukum yang ada sepanjang masih sesuai dengan prinsip-prinsip syariat, dan menggunakan hukum adat apabila dapat diterapkan.
Pada tahun 1973, Qadzdzafi mendeklarasikan tiga prinsip yang menjadi dasar sistem politik negara yaitu: persatuan arab, demokrasi kerakyatan langsung dan sosialisme Islam. Kemudian pada tahun 1977, dia mendeklarasikan bentuk negara Libiya baru yaitu Republik Rakyat Sosialis Libiya.[8]
Setelah bentuk negara Libiya berubah dari sistem kerajaan monarki menjadi negara Republik dibawah kekuasaan Qadzdzafi. Dengan antusiasme Qadzdzafi untuk membangun negara Libiya, dia bisa menjadikan Libiya menjadi sebuah negara yang disegani di dunia, karena hasil sumber daya alam minyaknya. Namun dalam perjalanannya seorang Qadzdzafi yang menolak adanya pemerintahan monarki, kemudian kepemimpinannya mengarah kepada pemerintahan yang diktator dan otoriter. Sehingga dia bisa memegang tampuk pemerintahan di Libiya selama lebih dari 30-an. Akhirnya Qadzdzafi lengser dengan revolusi berdarah secara besar-besaran yang dilakukan oleh rakyatnya sendiri, pada tahun 2011. Walaupun revolusi ini ada indikasi bahwa ada interfensi asing untuk mempropaganda rakyat Libiya agar melakukan revolusi, namun masalah pokoknya terletak pada kekecewaan rakyat Libiya terhadap kediktatoran Qadzdzafi.




BAB III
KESIMPULAN
Demikian makalah singkat ini saya tulis hingga akhirnya dapat saya simpulkan, bahwa kolonialisasi diwilayah Islam khususnya di Tunisia dan Libiya merupakan ajang balas dendam Barat terhadap hegemoni Turki Utsmani selama menjadi super power. Tunisia memanfaatkan klolnial Perancis dalam melakukan modernisasi di Tunisia, baik dalam bidang pendidikan, perekonomian dan lain-lain. Pemerintahan Libiya yang berada dibawah tangan Qadzdzafi (seseorang yang menolak sistem monarki) akhirnya berakhir dengan revolusi berdarah, karena kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan Qadzdzafi yang otoriter dan diktator.









DAFTAR PUSTAKA
Ø  Maryam  Siti dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (LESFI, Yogyakarta: 2009).
Ø  K. Hitti Philip, History Of The Arab, (PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta: 2010).
Ø  Karim  M. Abdul, Prof., Dr. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Pustaka Book Publhiser, Yogyakarta: 2009).
Ø  Sunanto Hj. Musyrifah, Prof., Dr., Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Kencana, Jakarta : 2007).



[1]. Philip K. Hitti, History Of The Arab, (PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta: 2010). Hlm. 907
[2] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Pustaka Book Publhiser, Yogyakarta: 2009). Hlm. 350
[3] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (LESFI, Yogyakarta: 2009). Hlm 343
[4] Lbid. Hlm. 244
[5] Lbid. Hlm. 245
[6] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (LESFI, Yogyakarta: 2009). Hlm. 249

[7] Lbid. Hlm. 251
[8] Lbid. Hlm. 252

TARBIYAH DZATIYAH DAN HALAQAH TARBAWIYAH


Pendahuluan
Dalam menjalani kehidupan ini, manusia tak lepas dari kesalahan. Semua yang mereka lakukan dalam dinamika kehidupan ini adalah untuk mencapai kebahagiaan, karena esensi kehidupan sejatinya adalah mencari kebahagiaan. Tidak ada manusia yang melakukan kesalahan dalam hidupnya demi mencapai kesengsaraan. Semua kesalahan yang dilakukan adalah proses mencari kebahagiaan, karena jalan dan metode yang  dilalui berbeda-beda. Dengan melakukan kesalahan orang bisa belajar untuk memperbaiki kesalahan tersebut (menjadi sebuah kebenaran).
Terkadang kita bisa memberikan solusi terhadap masalah orang lain, kita bisa menyampaikan tausiyah diatas mimbar, kita bisa mengajar murid-murid kita dengan baik, tapi apakah kita bisa mengajar diri kita sendiri?, apakah kita bisa mentausiyahi diri kita sendiri untuk mencapai kebenaran (untuk menuju tuhan)? Didalam ajaran agama islam telah diatur secara elegan bagaimana mendidik diri sendiri.  Metode apa saja yang harus dilakukan dalam mendidik diri sendiri.

Dalam makalah singkat ini, akan membahas cara mendidik diri sendiri(tarbiyah dzatiyah). Kalau kita tidak bisa melakukannya kita juga bisa melakukan mendidik diri sendiri dengan bantuan orang lain (halaqah tarbawiyah).

A.           Rumusan Masalah
1.        Apa pengertian tarbiyah dzatiyah?
2.        Apa saja sarana tarbiyah dzatiyah?
3.        Apa manfaat tarbiyah dzatiyah?
4.        Apa pengertian halaqah tarbawiyah?
5.        Apa saja sarana halaqah tarbawiyah?
6.        Apa manfaat halaqah tarbawiyah?

BAB II
PEMBAHASAN
A.           Tarbiyah Dzatiyah
1.        Pengertian Tarbiyah Dzatiyah
Tarbiyah dzatiyah adalah sarana yang diberikan orang muslim atau muslimah kepada dirinya, untuk membentuk kepribadian islami yang sempurna diseluruh sisinya; ilmiah, iman, akhlak, sosial dan lain sebagainya, dan naik tinggi ketingkatan tinggi kesempurnaan manusia.[1]Pengertian konkritnya adalah pembinaan atau pendidikan seseorang terhadap dirinya sendiri.
Seperti yang sudah saya tuangkan didalam pendahuluan, bahwa mendidik diri sendiri itu lebih sulit dari pada mendidik orang lain. Menanamkan konsistensi terhadap diri sendiri dalam menjalankan suatu ritual untuk proses mendidik diri sendiri ini sangat sulit. Dalam proses mendidik diri sendiri ini suatu ritual (misalnya sholat malam) harus dilakukan secara kontinyu, harus bersifat rutinitas. Nah untuk konsisten dengan suatu amalan itu yang membutuhkan waktu, tidak bisa secara instan harus step by step, secara perlahan-lahan. Dalam “buku metode menjernihkan hati” dikatakan “sikap konsisten itu terbentuk jika seseorang telah melalui kelelahan usaha (usahanya sudah maksimal), seorang yang konsisten punya sikap yang jelas dan mantap keyakinannya dan ada relevansi antara perkataan dan perbuatannya.[2]
Tarbiyah Dzatiyah ini sudah dipraktekan oleh para sahabat nabi ketika nabi masih hidup. Kalau dikorelasikan dengan kontek sekarang saya rasa sudah bearbeda dari segi konsep maupun antusiasme umat jaman sekarang. Kenapa saya mengatakan demikian? Karena saya memiliki asumsi bahwa antusiasme umat islam terhadap nilai-nilai keislaman pada masa nabi masih hidup ataupun pada masa sahabat sangat tinggi, karena mereka memeluk agama islam karena proses pencariannya, bukan secara instan atau turunan. perjuangannya untuk memeluk islam sangat berat. Berbeda dengan umat islam zaman sekarang khususnya di indonesia, mereka memeluk islam secara instan dan mayoritas warisan dari orang tuanya. Untuk itu mari kita tinjau kembali bagai mana cara mendidik diri sendir itu? Mari kita teladani metode-metode yang dilakukan oleh para sahabat agar nilai keislaman kita lebih berkualitas.
2.             Sarana Tarbiyah Dzatiyah
a.       Muhasabah
Muahsabah adalah penyucian atau pembersihan diri sebagai alat untuk mengintrospeksi dirinya sendir. Berarti dalam proses mendidik diri sendiri, yang pertama sekali kita harus melakukan introspeksi (evaluasi) terhadap diri kita sendiri. Yang paling utama kita koreksi tentunya masalah akidah, sejauh mana akidah kita? Seberapa sering kita melakukan kesyirikan, baik sirik kecil maupun syirik besar atau perbuatan-perbuatan syirik yang kita lakukan tanpa kita sadari. Kemudian tentang kewajiban-kewajiab kita, sholat, puasa zakat, mentaati orang tua, hubungan sosial kita (hablum minan nas), kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan yan pernah kita lakukan.
Kita melakukan spekulasi dengan pertanyaan-pertanya tentang apa yang telah kita lakukan selama ini, guna untuk meminimalisir, bahkan meninggalkan segala perbuatan buruk yang telah kita lakukan selama ini dan mengggantinya dengan perbuatan baik dan amalan-amalan sholeh.
b.      Taubat dari segala dosa
Taubat adalah menyesali seluruh  perbuatan dosa, baik kecil maupun besar yang telah kita lakukan dan merjanji dengan sepenuh hati untuk tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut. Dalam al-qur’an diterang bahwa taubat yang bebenar hakiki telah dilakukan oleh seorang hamba yang bernama Nasyuha, itu makanya kalau taubat yang benar-benar itu disebut taubat nasyuhah.
Taubat ini merupakan salah satu cara untuk mentarbiyah diri. Setelah kita melakukan muhasabah (introspeksi), karena kita telah menyadari bahwa betapa sering kita melakukan perbuatan dosa, maka kita menyesali perbuatan dosa yang telah kita lakukan tersebut dan berjanji sepenuh hati untuk tidak melakukannya lagi.
Allah sangat menyukai orang-orang yang bertaubat. Dalam hadits yang diriwayatka oleh Abu Al Mudhaffar As Sam’ani dikatakan bahwa “tidak ada sesuatu yang lebih baik bagi Allah dari pada seorang pemuda yang taubat.[3]
c.       Mencari ilmu dan memperluas wawasan
Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah, sebab tanpa ilmu umat islam akan buta dalam menjalani ibadah, dan ibadah yang dikerjakan tanpa ilmu maka hasilnya (pahala) akan tertolak. Bagai mana mungkin seorang muslim bisa membedakan haram, halal, wajib, sunah dan mubah tanpa menuntut ilmu. Bagaimana mentarbiyah diri sendiri tanpa ilmu?
d.      Mengerjakan amalan-amalan iman
Mengerjakan amalan-amalan iman merupaka sarana penting juga dalam mentarbiyah diri. Kita melatih diri kita sejauh mana keikhlasan kita untuk melakukan amalan-amalan iman (ibadah) kepada Allah Swt. Dengan amalan-amalan imanlah kita bisa menutupi perbuatan-perbuatan dosa yang pernah kita lakukan dahulu. Dapun amalan-amalan iman yang bisa kita lakukan yaitu memaksimalkan ibadah-ibadah wajib, membiasakan melakukan amalan-amalan sunat (sholat sunat, puasa sunat dan lain-lain) secara kontinyu, berdzikir, baca Al-qur’an dan lain-lan.
e.       Memperhatikan aspek akhlak (moral)
Biasanya orang yang religius, sudah melakukan muhasabah, sudah berilmu dan berwawasan yang luas dan rutin mengerjakan amalan-amalan iman, implementasinya dalam kehidupan sosial (hablum minan nas) biasanya ia mampu menjadi teladan bagi individu lain. Prilakunya dalam kehidupan sosial tidak akan betentangan dengan akhlak maupun moral, artinya kalau seseorang mempunyai tinggkat religiusitas yang tinggi akan terceminkan dalam prilakunya keseharian.
Sarana mentarbiyah diri dengan cara memperhatikan aspek akhlak ini, akan menuntut kita untuk tampil selalu baik, karena prilaku kita akan dibatasi oleh nilai-nilai akhlak dan moral.

3.        Manfaat Tarbiyah Dzatiyah
a.         Keridhaan Allah SWT dan Surganya
Kalau kita sudah maksimal dalam mentarbiyah diri, tentunya kita meninggalkan perbuatan-perbuatan jahat (dosa) dan menabur perbuatan-perbuatan baik. Jika ibadah-ibadah wajib sudah dilakukan secara optimal dan ibadah-ibadah sunat juga sudah menjadi rutinitas, dilakukan dengan ilmu dan penuh keikhlasan tentunya maka ganjarannya adalah Ridho dan sorganya Allah Swt.
b.      Kebahagiaan dan ketentraman
Banyak orang yang beranggapan bahwa kebahagiaan dan ketentraman itu diukur dengan harta kekayaan, istri yang cantik dan lain-lain yang bersifat materil. Namun sebernarnya kebahagiaan yang hakiki itu adalah berada dalam agama dan menjalankan nilai-nilai agama secara maksimal.
c.       Terjaga dari keburukan
Setelah kita memuhasabah diri dan melakukan taubatan nasuhah secara otomatis kita akan terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk, karena pola tingkah laku kita akan dibatasi oleh nilai-nilai religiusitas (akhlak) dan moral.
d.         Jiwa merasa aman
Setelah kita mentarbiyah diri, melakukan muhasabah, taubat, berilmu dan melakukan amalan-amalan iman tentunya jiwa kita akan merasa aman, karena kita terhidar dari perbuatan buruk, maksiat dan otomatis kita merasa tidak punya musuh. Mungkin teman-teman bisa melakukan komparasi bagaimana rasanya tidak sholat satu bulan misalnya, dengan melakukan sholat secara khusuk selama satu bulan, yang jelas diri saya pribadi merasakan bagaiman rasanya jiwa ini setelah melakukan sholat pikiran fresh dan perasaan terasa nyaman.
B.                 Halaqah Tarbawiyah
1.         Pengertian Halaqah Tarbawiyah
Halaqah secara lughawi artinya lingkaran dimana orang menghimpun diri didalamnya dengan dipandu oleh seorang murabbi bersama-sama membina diri mereka baik dari segi penambahan ilmu maupun penganmalan[4]. Berarti halaqah tarbawiyah itu adalah membina diri sendiri melalui bantuan orang lain dengan cara membuat suatu kelompok kecil, dengan tujuan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bisa memufuk spiritualitas. Kegiatan halaqah ini berbentuk pertemuan rutin minimal sekali dalam seminggu dengan agenda kegiatan antara lain:
a.         Tadarus Al- Qur’an.
b.        Pemberian materi.
c.         Internalisasi materi dalam pengamalan.
d.        Dialog permasalahan umat.
e.         Evaluasi diri atau muhasabah.
f.         Penutup.[5]
Disamping itu kita bisa melakukan amalan-amalan lain secara bersama-sama misalnya, qiyamul lail secara berjama’ah, renungan suci, buka puasa senin dan kamis bareng-bareng dan lain-lain. Pokoknya forum yang kita ciptakan itu bisa membantu kita dalam proses pembinaan akhlak.
2.      Sarana Halaqah Tarbawiyah
Sarana halaqah tarbawiyah pada dasarnya sama dengan sarana tarbiyah dzatiyah, cuman yang membedakannya adalah halaqah membutuhkan forum untuk mentarbiyah diri, artinya halaqah melibatkan orang lain dalam pembinaan akhlak dan tarbiyah dzatiyah dilakukan sendiri tanpa melibatkan orang lain.

3.      Manfaat Halaqah Tarbawiyah
a.         Tertanamnya keyakinan keimanan yang kuat kepada aqidah dan kebenaran islam.
b.        Terbentuknya akhlak al-karimah secara nyata dalam wujud perbuatan baik dalam ruang lingkup individu, keluarga dan masyarakat termasuk didalamnya dilingkungan kampus.
c.         Terciptanya ruh ukhwah islamiyah didalam kehidupan sosial.
d.        Optimalisasi amal untuk mendakwahkan keislaman khususnya melalui qadwah atau tasawuf.
e.         Terpeliharanya kepribadian dan amal dari pelagai pengaruh yang bisa merusak dan melemahkannya.
f.         Mengkoreksi dan memperbaiki berbagai bentuk kesalahan dan penyimpangan melalui tausiyah dan mau’idzah khasanah.[6]





BAB III
KESIMPULAN
Tarbiyah dzatiyah adalah cara membina atau mendidik diri sendiri, jika kita tidak bisa konsiten, disiplin dan konsekuen dengan diri sendri, kita bisa menggunakan metode halaqah tarbawiyah, yaitu membina diri sendiri dengan melibatkan orang lain. Caranya kita bisa membentuk suatu forum dengan tujuan untuk membina akhlak dan amalan-amalan keimanan.



DAFTAR PUSTAKA
·         Taufik Nasution Ahmad, Metode Menjernihkan Hati: Melenjitkan Kecerdasan Emosi dan Spiritual  Melalui Rukun Iman, PT. Almizan, Bandung: 2005.
·         Khoiri Alwan dkk, Akhlak Tasawuf,  Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, yogyakarta: 2005.
·         Mustofa. H. A., drs., Akhlak Tasawuf untuk fakultas tarbiyah komponen MKDK, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1997
·         Amir An-najar, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf Studi Komparatif Dengan Ilmu jiwa Kontemporer, Pustaka Azzam, Jakarta, 2004.




[1] Alwan Khoiri dkk, Akhlak Tasawuf,  Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, yogyakarta: 2005. Hlm. 148
[2] Ahmad Taufik Nasution, Metode Menjernihkan Hati: Melenjitkan Kecerdasan Emosi dan Spiritual  Melalui Rukun Iman, PT. Almizan, Bandung: 2005, hlm. 211
[3] Amir An-najar, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf Studi Komparatif Dengan Ilmu jiwa Kontemporer, Pustaka Azzam, Jakarta, 2004. Hlm 228
[4] Alwan Khoiri dkk, Akhlak Tasawuf,  Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, yogyakarta: 2005. Hlm. 160
[5] Lbid., hlm. 160
[6] Alwan Khoiri dkk, Akhlak Tasawuf,  Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, yogyakarta: 2005. Hlm. 161

Monday, November 14, 2011

Stilistika Al-Qura’n; Dirasah Fi Uslub Al-Qur’an

Uslub berasal dari kata salaba – yaslubu – salban yang berarti merampas, merampok dan mengupas. Kemudian terbentuk kata uslub yang berarti jalan,[1]jalan di antara pepohonan dan cara mutakallim dalam berbicara (menggunakan kalimat).[2] Jika dikatakan salaktu usluba fulanin fi kaza, maka artinya adalah aku mengikuti jalan dan mazhab fulan. Juga jika dikatakan akhazna fi asaliba minal-qaul,maka artinya aku mengambil seni-seni ucapan yang bermacam-macam.[3]
Sedangkan uslub menurut istilah adalah cara berbicara yang diambil mutakallim dalam menyusun kalimatnya dan memilih lafaz-lafaznya.[4] Dengan demikian, uslub merupakan cara yang dipilih mutakallim atau penulis di dalam menyusun lafaz-lafaz untuk mengungkapkan suatu tujuan dan makna kalamnya. Dan uslub terdiri dari tiga hal, yaitu cara, lafaz dan makna. Sedangkan dalam aspek keilmunya tentang studi ilmu uslub/gaya bahasa disebut uslubiyyah atau kita sering menyebutnya dengan istilah stilistika.

Istilah stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris. Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa.
 Dalam Tifa Penyair dan Daerahnya, Jassin merumuskan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya (1978:127). Dalam Mitos dan Komunikasi, “Strategi untuk Suatu Penyelidikan Stilistika,” Yunus merumuskan stilistika dibatasi kepada penggunaan bahasa dalam karya sastra.
Sedangkan dalam Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman ( 1993:3) berpengertian bahwa stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi lingusitik. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khaspenggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana non sastra, meneliti derivasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literatur, singkatnya stilistika meneliti sastra fungsi fuitik suatu bahasa.
Uslub dalam bahasa Indonesia disebut gaya bahasa, yaitu pemanfaatan  atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, baik itu kaitannya dengan tulisan sastra maupun tulisan kebahasan (linguistik). Demikian pula dapat didefinisikan sebagai cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam  bentuk tulis atau lisan.[5]
Dengan demikian uslub al-Qur’an (stilistika al-Quran) adalah metodenya yang eksellen dalam menyusun kalimat-kalimatnya dan pemilihan lafaz-lafaznya. Maka tidak aneh jika uslub al-Qur’an berbeda dengan uslub  kitab-kitab samawiyah lainnya. Sebagaimana juga uslub yang dipakai manusia berbeda satu sama lain sebanyak kuantitas jumlah mereka, bahkan uslub yang dipakai seorang akan berbeda  sesuai dengan tema dan dan konteksnya.
Namun demikian, uslub al-Qur’an bukanlah mufradat (kosa kata) dan susunan kalimat, akan tetapi metode yang dipakai al-Qur’an  dalam memilih mufradat dan gaya kalimatnya.[6] Oleh karena itu, uslub al-Qur’an berbeda dengan hadis, syi'ir, kalam dan buku-buku yang ada, meskipun bahasa yang digunakan sama dan mufradat (kosa kata) yang dipakai membentuk kalimatnya juga sama.
Untuk dapat mengetahui posisi uslub al-Qur’an, maka harus diketahui klasifikasi uslub yang berlaku di kalangan bangsa Arab. Secara global, uslub dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
  1. Uslub khitaby (gaya bahasa retorika)
Retorika merupakan salah satu seni yang berlaku pada bangsa Arab yang mempunyai karakteristik dengan kandungan makna yang kuat, memakai lafaz} yang serasi, argumentasi yang relevan dan kekuatan IQ oratornya. Biasanya seorang orator berbicara mengenai tema yang relevan dengan realitas kehidupan untuk membawa audiens mengikuti pemikirannya. Uslub yang indah, jelas, lugas merupakan unsur yang dominan dalam retorika untuk mempengaruhi aspek psikis audiens.[7]

2.  Uslub ‘Ilmy (gaya bahasa ilmiah)

Uslub ‘ilmy harus jauh dari aspek subyektif dan emotif penuturnya, karena eksperimen ilmiah itu obyektif dan tidak ada hubungannya dengan aspek psikis, emotif dan kondisi  orang yang melakukannya.[8] Uslub ‘ilmiah membutuhkan logika yang baik, pemikiran yang lurus serta jauh dari imajinasi dan emosi, karena sasarannya adalah pikiran dan menjelaskan fakta-fakta ilmiah.

Karakteristik uslub ‘ilmiah adalah jelas dan lugas. Namun juga harus menampakkan efek keindahan dan kekuatan penjelasan, argumentasi yang kuat, redaksi yang mudah, rasa yang brilian dalam memilih kosa kata dan informasi yang dapat dipahami dengan mudah.[9] Oleh karena itu, uslub ‘ilmiah harus tematik dan terhindar dari majaz, kinayah dan permainan kata-kata lainnya.
3. Uslub Adaby (Gaya bahasa Sastra)
Uslub adaby sangat subyektif, karena ia merupakan ungkapan  jiwa pengarangnya, pemikirannya dan emosinya. Oleh karena itu, uslub adaby sangat spesifik.[10]
Sasaran uslub adaby adalah aspek emosi bukan logika, karena uslub ini digunakan untuk memberi efek perasaan pembaca. Oleh karena itu, temanya mempunyai relevansi yang erat dengan jiwa pengarang dan mengesampingkan teori ilmiah, argumentasi logis, terminologi ilmiah dan penomoran-penomoran.
 Tidak diragukan, bahwa al-Qur’an merupakan mu’jizat yang diberikan Allah SWT  kepada Nabi Muhammad SAW yang abadi. Bahkan ia merupakan mu’jizat yang abadi yang tidak musnah oleh masa yang silih berganti, karena ia mu’jizat ‘aqly, bukan hissy dan mu’jizat ‘aqly diperuntukkan bagi umat yang mempunyai kecerdasan dan pandangan yang mendalam. Menurut Manna’ al-Qaththan, segi-segi i’jaz al-Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu al-i’jaz al-lugawy, al-i’jaz al-‘ilmy dan al-i’jaz at-tasyri‘iy. Dan al-Qur’an mempunyai uslub yang eksellen untuk ketiga bentuk i’jaz itu.  Dengan demikian al-Qur’an memuat ketiga klasifikasi uslub di atas, bahkan al-Qur’an dapat menggunakan uslub interdisiplin, yakni memberi isyarat ilmiah dengan bahasa yang indah.
Sebagai contoh adalah firman Allah SWT:
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلاِسْلاَمِ وَمَنْ يُرِدْ اَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَاَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَآءِ.[11]

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” [12]

Al-Qurtuby menyatakan, bahwa maksud Allah melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam adalah Allah meluaskan hatinya dan memberinya kekuatan untuk memeluk agama Islam serta memberikan pahala kepadanya.[13] Arti harajan (sesak lagi sempit) dalam ayat di atas menurut ibn ‘Abbas adalah tempat pohon yang sangat rapat, maka seolah-olah hati orang kafir tidak dapat tersentuh oleh hikmah, sebagaimana hewan ternak yang tidak dapat sampai ke tempat yang rapat oleh pepohonan. [14] Sedangkan az-Zujaj berpendapat, bahwa haraj adalah adyaqu ad-dayyiq (kesempitan yang paling sempit).[15] Dan kesempitan itu dipersonifikasikan dengan orang yang mendaki ke langit (ka annama yas}aadu fis-sama’).
Pada masa turunnya ayat di atas, kemajuan ilmu pengetahuan untuk menjelajah ke ruang angkasa belum dikenal. Maka tasybih dalam ayat di atas merupakan uslub tasybih yang dikaji keindahannya secara balagy. Namun al-Qur’an di samping indah bahasanya, juga sekaligus mengandung kebenaran ilmiah. ‘Abdul-H{amid Dayyab dan Ah}mad Qurquz menyatakan, bahwa ayat di atas mengandung i’jaz ilmy. Bahwa mendaki ke langit pada saat turunnya ayat  dianggap sesuatu yang khayal. Maka diartikan sebagai kalimat majazi. Namun ternyata sesuai dengan penemuan ilmu pengetahuan modern. Bahwa orang yang naik ke langit akan merasakan sesak nafas dan semakin ke atas semakin sesak hingga tidak dapat bernafas. Hal ini disebabkan dua hal, yaitu menipisnya kadar oksigen dan berkurangnya atmosfer yang menyelimuti bumi.[16]
Demikianlah, satu ayat memakai uslub yang indah untuk berorasi kepada manusia dan juga sekaligus mengandung isyarah ilmiah. Begitulah bahasa al-Qur’a>n yang berbeda dengan bahasa-bahasa yang ada. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
قُرْآنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِىْ عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ.[17]

“(Ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.”[18] 
Imam al-Qurtuby  menafsirkan  firman Allah SWT gairi zi ‘iwaj (tidak ada kebengkokan di dalamnya) dengan menyitir pendapat ad-Dahhak yang  menyatakan, bahwa maksud firman Allah itu adalah tidak kontradiktif.[19] Baik kontradiktif antar ayatnya, maupun kontradiktif dengan ilmu pengetahuan dan fakta. Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan kitab petunjuk bagi seluruh manusia  dan memberi mereka stimulan untuk berpikir, sebagaimana firman Allah SWT:  
اِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ.[20]
“Sesungguhnya Kami menjdaikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.”[21]
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang mempunyai nilai i’jaz (kemukjizatan) yang abadi dari berbagai aspeknya, baik tasyri‘iyy, lugawy maupun ‘ilmy.[22]  Dan i’jaz al-Qur’an sangat  jelas bagi semua orang hingga sekarang mengenai uslubnya, karena ia mampu mengemas ketiga aspek i’jaz (tasyri‘iyy, lugawy dan ‘ilmy) dalam waktu yang bersamaan, sehingga pada satu ayat dapat memberikan inspirasi yang berbeda bagi orang-orang yang berbeda kompetensinya, seperti pada QS al-Anam: 125 di atas. Bagi ahli sastra, maka ayat tersebut mengandung tasybih yang sangat indah, yaitu kondisi sesak yang semakin sesak yang dipersamakan dengan mendaki ke langit. Di samping itu, tekanan intonasinya memberikan nuansa rasa ritmis yang indah ketika dibaca. Bagi ahli teologi, ayat di atas memberi inspirasi, bahwa Allah-lah yang memberi petuntuk kepada hamba-Nya, maka jika seorang dikehendaki mendapat petunjuk, Dia memberikan kecenderungan kepadanya untuk dapat mudah menerima kebenaran Islam dan jika Dia menghendaki kesesatannya, maka Dia memberikan tabir di hatinya yang dapat menutupi petunjuk Islam. Dan bagi ilmuwan, ayat di atas sesuai dengan teori ilmiah modern, bahwa orang akan merasa sesak nafas dan akhirnya tidak lagi bisa bernafas ketika mendaki ke ketingian tertentu, karena menipisnya atmosfer dan oksigen dan kelangkaannya pada batas tertentu.
Jadi Uslub al-Qur’an adalah metode analisis dan pendekatan yang refrensif dalam menyusun kalimat-kalimatnya dan pemilihan lafaz-lafaznya. Uslub al-Qur’an  mempunyai karakteristik, yaitu:  sentuhan lafaz al-Qur’an melalui  keindahan intonasi al-Qur’an dan keindahan bahasa al-Qur’an, dapat diterima semua lapisan masyarakat, al-Qur’an menyentuh (diterima) akal dan perasaan, keserasian rangkaian kalimat al-Qur’an dan kekayaan seni redaksional.

Sebagian besar tulisan di ambil dari;
Mahmudi, Madh Dan Zamm  Dalam  Al-Qur’an, (Tinjauan terhadap Tujuan Madh dan Zamm dalam Al-Qur’an) Skrifsi di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta thn 2004






[1] Munawwir Abdul Fattah dan Adib Bisyri, Kamus al-Bisyri, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 335
[2] Muhammad ‘Abdul-‘Azim az-Zarqany, Mana>hilul-‘Irfan  fi ‘Ulumil-Qur’an  (Mesir: Dar al-Ihya’, t.t.), hlm. 198.
[3] Ibrahim Anis dkk., al-Mu’jam al-Wasit}, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), jilid I, hlm. 4
[4] Muhammad ‘Abdul-‘Azim az-Zarqany, Manahilul-‘Irfan…,hlm. 198.
[5]  Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 297.
[6] Ibid, hlm. 199.
[7] ‘Ali al-Jarim dan MustafaAmin, al-Balagah al-Wadihah, (Mesir: Da>r al-Maarif, t.t.), hlm. 12.
[8] Ibid., hlm 15.
[9] Ibid.
[10] ‘Ali al-Jarim dan Mustafa Amin, al-Balagah…, hlm. 152.
[11] QS al-Ana>m: 125.
[12] Mujamma Khadim al-Haramain asy-Syari>fain, al-Qur’an al-Karim wa Tarjamatu Maanihi ilal-Lugah al-Indunisiyah, (Madinah: tp.,tt.), hlm. 208.
[13] Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtuby, al-Jami’ li Ahkamil-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),  jilid  VII, hlm. 80.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hlm. 81.
[16] ‘Abdul Hamid Dayyab dan Ahmad Qurquz, Ma’at-Tibb fil-Qur’an al-Karim, (Damaskus: Mu’assasatu ‘Ulumil-Qur’an, 1982), hlm. 21.
[17] QS az-Zumar: 28.
[18] Mujamma Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm. 750.
[19] Abu‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtuby, al-Jami’… jilid XV, hlm. 251.
[20] QS az-Zukhruf : 3.
[21] Mujamma Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm. 794.
[22] Manna al-Qattan, Mabahis Fi ‘Ulumil-Qur’an, (Riyad} : Manysurah al-'Asr al-Hadis, 1972), hlm. 264.